Hujan lebat selama beberapa jam pada awal Februari 1968 atau 41 tahun lalu tidak hanya menyebabkan berbagai tempat di Ibu Kota dilanda banjir, Jalan Thamrin yang merupakan jalan protokol pun digenangi air. Seperti terlihat pada foto, jalan yang menghubungkan Jakarta Pusat dengan Jakarta Selatan seolah-olah berubah menjadi sungai akibat terendam air.
Air setinggi lutut membuat jalan tidak dapat dilalui oleh kendaraan, baik mobil maupun motor. Hal ini mengakibatkan mereka yang hendak pergi ke kantor terpaksa harus berjalan kaki menerobos air setinggi lutut di tengah-tengah hujan yang masih mengguyur.Di sebelah kiri, terlihat gedung yang belum dibangun. Gedung tersebut adalah Gedung Wisma Nusantara yang dibangun sejak masa pemerintahan Bung Karno dan diselesaikan di masa Pak Harto. Kala itu. gedung berlantai 29 tersebut dianggap sebagai pencakar langit tertinggi di Asia.
Di tengah-tengah bangunan-bangunan yang belum usai, tampak Hotel Indonesia yang diresmikan pada 1960 untuk menghadapi Asia Games IV. Di depannya, tampak patung selamat datang yang kini menjadi pusat kegiatan demo. Hotel Indonesia dan Toko Serba Ada Sarinah dibangun berdasarkan pembayaran uang pampasan perang dari Jepang.
Sekitar 40 tahun lalu, Jalan Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman belum seramai sekarang. Kedua jalan ini oleh Bung Karno, dengan adanya patung selamat datang dan Tugu Monas, dimaksudkan sebagai pusat kegiatan Ibu Kota yang pada masa Belanda berpusat di Harmoni, Risywijk (Jl Juanda), dan Nordwijk (Jl Veteran) serta kawasan Gambir dan Lapangan Banteng. Thamrin dan Sudirman baru dilebarkan menghadapi Asian Games IV.
Karena Jl Thamrin dan sekitarnya menjadi langganan banjir, air sering kali menggenangi halaman Istana Merdeka sehingga Pintu Air Manggarai pun ditutup. Akibatnya, banjir beralih ke perkampungan-perkampungan sekitar. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mengendus isu tersebut kemudian memerintahkan agar Pintu Air Manggarai tetap dibuka dan tidak menjadi soal bila Istana kebanjiran.
No comments:
Post a Comment