Tuesday, March 24, 2009

Ngibing di Malam Cap Go Meh

Masyarakat Tionghoa memiliki hari raya cukup banyak. Setelah tahun baru Imlek dengan hidangan khas kue keranjang atawa kue cina, pada malam ke-15 ditutup dengan pesta Cap Go Meh.

Masih ada hari raya Cengbeng di mana orang-orang membersihkan makam orangtuanya sebagai tanda bakti pada leluhur. Kemudian disusul dengan Pehcun (hari keseratus setelah Imlek). Pada hari itu makanan khas adalah bahcang sekaligus disusul dengan pesta perahu (dragon boat) di kali Ciliwung dan kali Cisadane (Tangerang). Masih ada hari raya Tong Ciu dengan makanan khas kue bulan. Ditutup dengan hari raya Tang Ce yang jatuh pada bulan-bulan menjelang Imlek.

Yang paling meriah di tempo doeloe pesta Cap Go Meh penutup tahun baru Imlek. Sejak sore para siauce (gadis) berdandan semenor mungkin. Menanti sang pacar untuk datang sowan pada calon mertua sambil mempersembahkan sepasang ikan bandeng. Muka mertua akan cemberut seperti ‘dompet tanggung bulan’ bila calon mantu tidak membawa ikan bandeng. Menantu begini dianggap tidak punya hormat pada mertua.

Di malam Cap Go Meh semua orang Betawi keturunan Tionghoa berpakaian indah-indah. Lalu naik trem menuju Glodok dan Pancoran untuk menonton keramaian atau langsung terjun ngibing (kini berjoget) di jalan-jalan. Keramaian kala itu tidak kalah meriahnya dengan fiesta yang diadakan tiap tahun di Brasil.

Orang yang turut ngibing, biasanya memakai kostum ala bintang film Hollywood. Seperti Douglas Fairbank, bintang terkenal tahun 1930-an dan ‘40-an dalam perannya sebagai Zorro dalam film Mark of Zorro.

Ada juga yang menyaru sebagai seorang wanita gembrot lengkap dengan konde sebesar mangkuk sayur, tulis Prof Dr James Dananjaja (75 tahun), dalam Folklor Tionghoa. Wajahnya dibedak tebal-tebal, pipinya diberi tahi lalat (tompel) sebesar uang sen Hindia Belanda. Mulutnya disumpel dengan tembakau sisik.

Kwee Tek Hoay dalam karangan berjudul Nonton Capgome yang diterbitkan 1930, menuturkan, Tidak ada pesta Capgome di Java yang melebihkan ramenya dari Batavia. Bukan saja sebab Batavia ada kota yang paling besar, keramaiannya tak ada bandingannya di lain-lain tempat di Buitenzorg (Bogor), Sukabumi, Cianjur, dan Bandung. Di sepanjang jalanan ada penuh dengan rumah makan yang buka sampai pagi pada malam Capgome.

Tempo doeloe, semua perayaan pada malam tanggal 15 menurut almanak Tionghoa, dipusatkan di Glodok-Pancoran. Sementara malam tanggal 16 dilanjutkan di Tanah Abang, Pal Merah, dan Meester Cornelis (Jatinegara).

Pada pesta rakyat ini, semua jenis pertunjukan rakyat Betawi ditampilkan. Seperti wayang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju kurung aneka warna. Musik pengiringnya adalah gambang kromong. Komedi bangsawan, stambul, dan wayang simpe juga ikut memeriahkan. Selain cerita-cerita Tionghoa kuno, wayang ini juga mempertunjukkan kisah 1001 malam.

Para orangtua yang anak gadisnya menonton Cap Go Meh, memesan kepada mereka agar waspada terhadap tangan-tangan jahil berupa pemuda-pemuda iseng. Apalagi di antara mereka banyak yang teler karena menenggak minuman yang diharamkan. Pesta rakyat di jalanan berlangsung hingga dini hari. Karena begadang semalam suntuk, keesokan harinya banyak yang malas bekerja. Bahkan bagi orang yang yang gemar pesta, Cap Go Meh belum usai karena masih dilanjutkan lagi dengan pesta rakyat yang disebut Cap Lak Meh di daerah-daerah Tanah Abang, Pal Merah, Senen, dan Meester Cornelis pada malam keenam belas. Namun, tidak seramai di Glodok-Pancoran.

Seperti juga sekarang saat pesta dangdutan, malam Cap Go Meh juga kerap dinodai keributan. Terutama saat-saat keluarnya naga Tionghoa yang disebut liong-liong, barongsai, dan cungge. Para pemain barongsai adalah para anggota perkumpulan pencak silat (kuntau atau kungfu). Adakalanya bila rombongan dari perkumpulan yang bersaing bertemu, terjadilah perang tanding yang seru, hingga harus dipisahkan oleh polisi.

Menurut Prof James Dananjaja, cungge adalah semacam tandu-tandu berhias, berisikan anak-anak kecil yang mengenakan kostum tokoh-tokoh mitologi atau legendaris Tiongkok kuno, seperti Sie Jin Kui dan Koan Kong. Kala itu, barongsai selain berpawai di jalan raya, juga mengunjungi rumah-rumah orang kaya dan opsir Tionghoa untuk ngamen. Mereka memperoleh angpau cukup besar.

Cungge juga disponsori para hartawan. Ketika itu di depan toko-toko tertentu dipasang rencengan petasan besar-besar, digantungkan di atas tiang-tiang tinggi, yang pada ujungnya diikat angpau berisi uang berjumlah banyak. Hadiah ini khusus diperuntukkan bagi rombongan barongsai yang pandai berakrobat, hingga dapat memanjat tiang tinggi yang digantungi petasan yang terbakar.

Selain di kota, barongsai juga mendatangi perkampungan. Banyak keluarga berharap rumahnya didatangi binatang mitologi suci itu karena menurut keyakinan, rumah yang disinggahi barongsai dapat bersih dari pengaruh arwah roh jahat yang mendatangkan penyakit atau kesialan bagi penghuninya. Tidak heran pemilik rumah akan membuka pintu pekarangannya lebar-lebar menyambut sang barongsai.


(Alwi Shahab)

No comments: