Sunday, November 21, 2004

Sepeda Motor, Cewek Bensin, dan Impala

Beli sepeda motor dewasa ini seperti membeli kacang goreng. Para dealer kendaraan ini sudah menggelar produknya ke kampung-kampung dan desa-desa. Dengan membayar uang muka (DP) setengah juta perak, kita sudah dapat mencicilnya. Bahkan, dealer menawarkan kredit tanpa uang muka sepeser pun asal punya surat identitas diri (KTP) dan bersedia menandatangani surat perjanjian. Pihak dealer akan menarik sepeda motor yang kita pakai apabila cicilan sebesar Rp 350 ribu hingga Rp 500 ribu per bulan tidak dibayar.

Akibat kemudahan ini, tidak mengherankan di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) yang berpenduduk tak kurang dari 20 juta terdapat jutaan unit sepeda motor. Buktinya, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat memperkirakan sepeda motor yang digunakan oleh para pemudik di Jadebotabek tahun ini mencapai 827 ribu unit atau meningkat 8-10 persen dibandingkan 2003 yang mencapai 759 ribu unit.

Pada saat tiket Lebaran harganya melangit dan harus bersusah payah antre dan berdesak-desakan, mudik naik motor menjadi pilihan. Di samping murah, pulang dengan sepeda motor juga tidak terlalu menghadapi masalah kemacetan. Makin membengkaknya sepeda motor juga makin menyita trotoar-trotoar jalan. Maklum, pengendara motor sering menggunakan trotoar saat arus lalu lintas sedang macet. Trotoar pun makin sempit karena PKL juga menyitanya. Motor makin banyak, pengojek pun meningkat. Karena persaingan ketat, pengojek pun mencari penumpang sampai ke gang-gang kecil.

Sepeda motor sampai akhir 1950-an merupakan kendaraan bergengsi setelah mobil yang jumlahnya tidak seberapa. Memiliki sepeda motor kala itu hanya bagi orang-orang berduit. Sepeda motor buatan Jepang, seperti Honda, Yamaha, dan Suzuki, apalagi buatan Cina, belum satu pun yang nongol. Sepeda motor yang banyak berlalu lalang di Kota Jakarta buatan Eropa dan Amerika. Yang terkenal sepeda motor waktu itu adalah merek Java, Norton, BMW, Hercules, dan Harley Davidson. Orang keturunan Belanda (indo) sebelum perang dunia kedua membentuk Java Motor Club.

Seperti juga sekarang, Harley Davison 700 sampai 1.200 CC dengan empat mesin tak hanya dikendarai oleh mereka yang berbadan tegap. Pada masa penjajahan juga terdapat Harley Davidson Club di Batavia. Tidak lucu kalau Harley Davidson, sepeda motor buatan Amerika ini, dikendarai oleh orang berbadan kecil. Polisi Belanda dalam operasi menggunakan sepeda motor buatan Amerika itu. Di sebelah kiri pengendara ada yang diberi boncengan. Para pelaku kriminilitas yang tertangkap setelah diborgol dibawa ke markas polisi dengan motor tersebut.

Menjelang 1960-an, skuter merupakan raja jalanan di Jakarta. Yang terkenal merek Vespa dan kemudian disusul Lambretta. Keduanya produksi Italia. Hampir bersamaan waktunya, muncul sepeda motor lebih kecil, yaitu Ducati (Italia) dan Solex (Belanda). Solex sepeda yang di bagian depannya diberi motor (mesin). Ban depannya cepat licin karena tergesek mesin.

Pada 1960-an naik Ducati atau Solex sudah bisa jual tampang di jalan-jalan Jakarta pada sore hari. Mereka yang naik sepeda motor, lebih-lebih merek BMW, gampang mendapat pacar. Pacaran naik becak atau sepeda bukan zamannya. Karenanya, tidak heran kala itu ada istilah 'cewek bensin'. Maksudnya, para gadis yang memilih pacaran dengan cowok yang memiliki sepeda motor.

Maklum, kala itu karena situasi ekonomi yang buruk pemuda, yang memiliki sepeda motor masih jarang. Padahal, harga Ducati hanya 4.000 perak. Kala itu pelajar, mahasiswa, dan para pekerja masih banyak naik sepeda. Pergi ke sekolah, universitas, bioskop, dan kantor juga dengan sepeda. Di tempat-tempat ini tersedia parkir sepeda dengan penjaganya.

Karena banyaknya sepeda pada masa Belanda, di Batavia tersedia jalur khusus untuk kendaraan roda dua ini. Pada masa sebelum PD II, sepeda yang terkenal dan merupakan kegemaran orang indo adalah merek Batavus dan Fongers. Yang belakangan ini sepeda door trap selalu berputar ke depan dengan rem kaki.

Para pribumi ber-doku lebih menyukai sepeda Raleigh dilengkapi aksesori. Sepeda ini bila digenjot berbunyi tik, tik, tik. Kala itu banyak terlihat di jalan-jalan orang Belanda dengan memakai jas tutup putih dan celana putih dengan capio putih. Karena jalan belum tercemar polusi, warga Belanda ini pada sore hari jalan-jalan dengan sepeda setelah bekerja di kantor pada pagi hari.

Roda empat yang banyak diminati kala itu adalah mobil jeep. Di samping jip merek Willis, kendaraan roda empat yang hilir-mudik di Jakarta, antara lain Chevrolet, Cadillac, Ford, Dodge, dan Chrysler. Semuanya buatan Amerika. Salah satu produk Chevrolet yang terkenal adalah Impala. Hingga pada 1960-an ada lagu mengenai mobil mewah ini.

Mobil-mobil Eropa VW Kodok dan Mercy buatan Jerman. Fiat, buatan Italia, yang paling banyak terdapat di Jakarta sebelum PD II. Morris merek mobil terkenal dari Inggris. Ketika terjadi pembantaian massal terhadap kaum Muslimin di Libia oleh pasukan kolonialis Italia terhadap para pengikut pejuang Omar Mukhtar pada 1930-an, umat Islam di Jakarta memboikot mobil-mobil Fiat. Konon, banyak yang dibakar massa setelah mereka melalui masjid-masjid menyerukan jihad untuk membantu saudaranya di Libia.

Jadi, mobil dan sepeda motor yang kini didominasi produk dari Jepang memang belum muncul ketika itu. Produk-produk Jepang ini baru nongol awal tahun 1970-an.

2 comments:

Anonymous said...

Ajiib, ente punya selera softoh yang bagus....
Ente jamah dari mana ...?

ada dimana-mana said...

Kalo saya mending beli cash (dengan cara "puasa" dulu), tapi cari yang bekas. dengan pertimbangan sebagai berikut : kalo beli baru dari dealer dengan merk2 sepeda motor Jepang (Honda, Yamaha atau Suzuki) berarti saya ikut memberi beasiswa alias sekolah gratis buat anak2 Jepang mulai dari SD sampai SMA. coba dipikir dengan anak2 Indonesia brapa anak yang putus sekolah??? andai sepeda motore jelek pengen bagus ya dibawa ke bengkel cat di spray ulang sampai kinyis2, akhirnya anak si tukang cat bisa sekolah lagi. dengan sistem kredit, itu berarti kita punya beban hutang artinya kredit itu sama dengan hutang. ingat Amerika krisis itu karena banyak penduduknya yang berhutang kepada perusahaan2 yang katanya bonafide??? mending bersabar dulu alias gak punya apa2 daripada kenapa-napa? tanya kenapa? "hidup itu kebutuhan bukan keinginan"