Sejak 1950-an hubungan RI-Belanda makin memburuk. Apalagi soalnya kalau bukan masalah Irian Barat. Kala itu, tiap penggantian kabinet salah satu programnya adalah merebut Irian Barat. Karena tidak digubris Belanda, Bung Karno menjadi sewot dan naik pitam. Ketika mencetuskan Trikora di hadapan ratusan ribu rakyat, Bung Karno memperingatkan sebelum matahari terbit pada 1 Januari 1963 Irian Barat sudah harus jadi wilayah RI.
Tapi, jauh sebelum itu ia telah menasionalisasi persahaan-perusahaan Belanda yang banyak beroperasi di Indonesia. Seperti bidang perdagangan, perminyakan, perkapalan, perkebunan, dan masih belasan perusahaan lagi. Sementara warga Belanda, termasuk para Indo, dan mereka yang dianggap berpihak pada Belanda, merasa gerah tinggal di Indonesia. Mereka pun ramai-ramai pasang kuda-kuda untuk hengkang dari negeri ini.
Kala itu, diperkirakan sekitar 300 ribu orang meninggalkan Indonesia. Tapi, tidak semua ke Belanda. Kerajaan Belanda yang kala itu dipimpin Ratu Yuliana harus menghadapi masalah pengangguran dan mengkhawatirkan terjadinya kelebihan penduduk. Di samping pula masih kuatnya diskriminasi rasial mengingat para pendatang memiliki separuh latar belakang Asia. Maka, kedatangan para migran yang membludak ini juga tak mendapat sambutan baik. Karenanya sekitar 10 ribu orang lainnya pergi ke AS dan jumlah yang sama ke Australia.
Di antara puluhan perusahaan Belanda yang dinasionalisasi, terdapat lima perusahaan besar yang mendapat julukan the big five. Kelima perusahaan ini, terutama di masa kolonial, yang mengendalikan perdagangan dan ekspor impor berbagai hasil perkebunan ke manca negara. Kelimanya adalah Jacobson van den Berg, Lindeteves, Internatio, Borsumy, dan Geo Wehry. Serentak nama-nama perusahaan ini diganti menjadi Dharma Niaga, Cipta Niaga, dan masih banyak lagi yang dimasukkan dalam kelompok BUMN.
Memang dalam menasionalisasi perusahaan asing keberanian Bung Karno patut dipuji. Demikian pula keberaniannya dalam mencaci AS. Maklum, kala itu Indonesia yang berkiblat ke Blok Timur tengah berkonfrontasi dengan Barat. Seperti saat konfrontasi dengan Malaysia pada awal 1960-an, ia menasionalisasi perusahaan Inggris dan AS. Setelah lebih dulu mengutuk mereka karena memihak Malaysia yang oleh Bung Karno dicap proyek Nekolim.
Ketika era nasionalisasi ini para pimpinan BUMN ini banyak dijabat figur dari ABRI. Sejak itu dikenal dwifungsi ABRI. Sayangnya, setelah penggantian ini, entah karena kurang pengalaman atau birokrasi dan entah apa lagi, perusahaan-perusahaan yang dulunya berjalan baik, satu persatu rontok seperti daun jatuh dari pohon. Seperti KPM (perusahaan perkapalan Belanda yang punya ratusan armada), ketika diambil alih negara dan menjadi Pelni kegiatannya jauh berkurang. Tidak seperti masa KPM yang armadanya sampai ke pelosok-pelosok Nusantara. Bahkan masih merugi terus.
Ada cerita menarik tentang toko buku dan percetakan milik Belanda, Van Dorp, yang juga diambil alih pemerintah. Gedungnya yang baru dan mengesankan, serta buku-buku yang dijualnya ketika masih dipimpin pemilik lama, sangat mengesankan. Van Dorp yang terletak di Noordwijk (kini Jl Juanda) ini termasuk salah satu toko buku terbaik di ibu kota, tulis PK Ojong dalam Kompasiana (1981).
Sekarang lewat beberapa tahun toko buku Van Dorp tidak ada lagi. Tokonya pun tidak lagi. Juga buku-bukunya tidak ada lagi. Ruangannya diambil oleh Sarinah Internasional, dan sisa toko bukunya tergeser ke suatu kamar di tingkat satu. Kecil. Sempit. Ketika saya baru-baru ini ke sana, suasananya sangat mematahkan semangat. Inilah sisa dari toko buku Van Dorp yang pernah jaya itu.
Yang memprihatinkan, seperti ditulis PK Ojong, pernah ketika ia pukul 10 pagi ke sana, ternyata toko yang dipimpin seorang ABRI ini belum dibuka. Pegawainya belum masuk. Karena mobil yang mengangkut pegawai belum datang. Baru pukul 10.30, toko dapat dibuka. Sesuatu yang belum pernah dialami toko buku itu sebelumnya. ''Belakangan ini sering begini,'' terang seorang pegawai yang kami kenal baik. Ia menarik napas panjang. Suasana di seluruh toko buku yang besar itu pun berlainan sekali. Lesu. Lamban. Tanda-tanda dari demoralisasi. Dan semua ini karena satu dua pemimpin yang lama meninggalkan negeri ini, tulis PK Ojong.
Berdekatan dengan Van Dorp, terletak di kawasan Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, sebelum dinasionalisasi terdapat Percetakan Kolff & Co. Percetakan besar dengan ratusan pekerja dan banyak menerbitkan buku bermutu ini juga mengalami nasib yang sama. Sedangkan, di Gang Sectarie (kini Jl Veteran I), samping gedung Bina Graha, terletak penerbit dan toko buku terkenal milik Belanda, Visser & Co. Setelah diambil alih toko yang membuka cabang di Hotel des Indes (sudah dibongkar) untuk komsumsi orang asing, mengalami nasib menyedihkan. Hilang tanpa ketahuan rimbanya.
Apa yang dikemukakan ini hanya sekedar contoh. Begitu gampangnya nasionalisasi dilakukan dalam suasana yang emosional. Tanpa diimbangi pengelolaan yang baik dan profesional.
(Alwi Shahab)
No comments:
Post a Comment