Habib Idrus Hasyim Alatas, mengaku sudah tidak mau lagi terjun di dunia politik yang digelutinya cukup lama. ''Sekarang ini saya full bergerak dibidang pendidikan dan dakwah serta sudah tutup buku di bidang politik,'' kata ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat 55 tahun lalu. Padahal, sebelumnya ia menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Syariah DePP PPP.
Ketika diwawancarai Republika di madrasahnya di Jl Pol Tangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, ulama lulusan Kuwait dan Arab Saudi ini menyatakan, kekuatan Islam yang sebenarnya bukan hanya di parpol dan organisasi Islam. Dia justru melihat kekuatan yang sebenarnya itu ada di masjid, madrasah, dan majelis taklim. ''Mencerdaskan umat itu lebih utama,'' ujarnya.
Dan, ketiga bidang itulah kegiatan yang digelutinya saat ini. Tidak heran kalau ia hampir setiap saat dapat dijumpai di kediamannya di Pol Tangan, yang bersebelahan dengan masjid dan madrasah. ''Saya sepenuhnya kini menangani madrasah, masjid, dan majelis taklim.''
Madrasah yang memiliki ruang belajar 16 lokal (MI 5 lokal, MTs 6 lokal, dan MA 5 lokal), kini memiliki 554 murid. Terdiri dari TPA (Taman Pendidikan Alquran) 130 siswa, MI (Madrasah Ibtidaiyah) 130 siswa, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 220 siswa, dan Madrasah Aliyah (MA) 74 siswa.
Jumlah guru yang membantunya ada 54 orang, umumnya lulusan S1. Diantara mereka terdapat 9 guru yang sudah diangkat menjadi PNS Departemen Agama. Selama sebelas tahun berdirinya, MI sudah menghasilkan lulusan 786 siswa.
Madrasah yang dipimpinnya disamping sudah diakui oleh pemerintah, juga merupakan sekolah plus, karena pendidikan agama yang diberikan mempunyai porsi lebih dari sekolah umum. Sekolah ini dilengkapi dengan sarana penunjang pendidikan yang memadai, seperti laboratorium eksakta, bahasa, dan komputer.
Namun iming-iming plus itu tidak disertai biaya pendidikan yang 'plus' pula. Untuk madrasah ibtidaiyah, siswa baru hanya dikenai kewajiban sebesar Rp 460 ribu, MTs sebesar Rp 630 ribu, dan MA sebesar Rp 710 ribu.
Menyangkut biaya pendidikan, madrasah yang memulai pelajaran dari pukul 07.00 hingga 14.00 siang, punya motto: ''Fasilitas lengkap, bayaran menengah kebawah (murah).'' Kata Idrus, ini sesuai dengan motto yayasan, yaitu menghidupkan dan membesarkan masjid dan madrasah, tidak hidup dari masjid dan madrasah.
Kalau pada awal luas tanah yayasan hanya 1400 M2, kini sudah berkembang jadi 2.600 M2, yang seluruhnya sudah bersertifikat wakaf.
Olahraga dan kesenian mendapatkan perhatian khusus di Madrasah Nurussaadah. Di sini tersedia lapangan basket dan bulutangkis. Dengan tekad agar para murid dapat mengusai teknologi canggih, tiap siswa diharuskan belajar komputer. Sedangkan laboratorium bahasa Arab dimaksudkan agar para siswa menguasai bahasa tersebut. Ruang perpustakaan bukan hanya tersedia buku-buku pelajaran, tapi juga buku dan majalah ilmu pengetahuan.
Tidak heran, kalau Habib yang masih cucu ulama terkenal Habib Ali Kwitang ini, membanggakan banyak luluasan madrasahnya yang meneruskan pendidikan ke Universitas Islam Negeri, Universitas Indonesia (UI), dan perguruan tinggi ternama lainnya.
Habib Idrus yang pernah mengajar Bahasa Arab di Pusat Bahasa Hankam (1983-1999) ini mengaku, melalui madrasahnya, ia ingin mencetak kader-kader Islam yang tangguh, berwawasan luas, dan memiliki budi pekerti serta akhlak Islami.
Ketika wawancara ini berlangsung, tiba-tiba azan berbunyi dari Masjid Assaadah, pertanda waktu untuk shalat dzuhur. Habib yang berbadan agak tambun ini mengakjak Republika untuk shalat bersama dengan para siswa. Di masjid sudah menunggu ratusan siswa untuk shalat berjamaah yang diimani Habib Idrus. Mereka beramai-ramai membaca shalawat Badar, sementara para siswinya mengikuti di bagian belakang masjid.
Setelah pembacaan doa yang dipimpin Habis Idrus, seorang siswa MTs (SMP) naik ke mimbar menyampaikan kultum. Ahmad Ridho, siswa MTs (SMP) membawa kultum bertema iri hati. Dengan mengutip ayat dan hadis dalam bahasa Arab, siswa yang berusia 13 tahun ini menyatakan bahwa iri hati merupakan perbuatan tercela menurut ajaran Islam.
Di madrasah ini, tiap hari Senin hingga Kamis para siswa secara bergantian tiap habis shalat dzuhur membawakan kultum. Sedangkan pada shalat Asar, siswa-siswa TPA (Taman Pendidikan Alquran) yang masuk siang, juga diwajibkan shalat berjamaah di masjid. Sedangkan tiap Sabtu, Habib Idrus selama satu jam membuka majelis taklim di sini, membahas kitab kuning, dan tafsir Alquran.
Berkat Kepedulian Pengusaha Muda
Kisahnya di mulai tahun 1990. Sejumlah wiraswasta muda, yang rata-rata berusia 40-an tahun, pada 14 April 1990 membeli sebidang tanah seluas 1.400 M2. Bukan untuk membangun rumah, yang merupakan bisnis utama mereka ketika itu. Tapi untuk mendirikan majelis taklim dan pendidikan Islam. Tujuannya adalah untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang bertakwa, berakhlak, dan memiliki keterampilan. Tanah yang dibeli bersama-sama itu letaknya di Jl Raya Pol Tangan, Tanjung Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Hanya dalam waktu empat hari setelah pembelian tanah itu, terbentuklah sebuah yayasan bernapaskan Islam, Yayasan Assaadah, yang berarti bahagia. Setelah persiapan-persiapan yang cukup matang, sehari menjelang peringatan HUT Proklamasi ke-45, dilaksanakan perletakan batu pertama pembangunan masjid dan madrasah disaksikan warga setempat yang kebanyakan orang Betawi, tokoh masyarakat, lurah, dan camat.
Berkat kerja keras, dalam waktu delapan bulan, tepatnya tanggal 23 Juni 1991, masjid berlantai dua dan dapat menampung 750 jamaah pun usai. Yang berarti masyarakat Jl Pol Tangan dan sekitarnya, kini memiliki sebuah tempat ibadah yang cukup megah. Kemudian oleh masyarakat setempat, dan dengan restu para alim ulama Jakarta, masjid ini diresmikan oleh Walikota Jakarta Selatan, Harun Al-Rasyid, pada perayaan Maulid Nabi Muhammad.
Hampir bersamaan dengan usainya pembangunan masjid Assaadah, maka di belakangnya dan masih dalam satu atap, berdiri pula madrasah diniyah, yang pada awalnya menampung 60 orang. Kemudian, berturut-turut tiap tahun -- dimulai 1992 - berdiri madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah. Madrasah yang diberi nama Nurussaadah, bersama dengan Masjid Asasadah, bernaung dibawah Yaysan Assaadah yang diketuai Habib Idrus Hasyim Alatas.
Habib berusia 55 tahun ini, adalah lulusan Teacher Institute of Education Kuwait (1973-1978) dan College Education King Saud University Riyadh, Arab Saudi (1979 - 1983). Ia sendiri terjun langsung sebagai guru, bersama 54 orang pengajar lainnya. ''Mencerdaskan umat adalah tanggung jawab semua Muslim,'' ujar mantan politisi yang kini bangga dengan julukan barunya, Pak Guru.
(alwi shahab)
No comments:
Post a Comment