Friday, January 07, 2005

Dari Sampur ke Cilincing

Selama libur lebaran, masyarakat menyerbu berbagai tempat rekreasi di ibu kota. Yang paling banyak didatangi adalah Taman Impian Jaya Ancol (TIJA), Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Kebon Binatang Ragunan. Di samping Kebun Raya Bogor dan kawasan Puncak. Pantai Carita di Anyer, Banten, juga dipadati pengunjung. Sebagian mereka pergi berombongan dengan menyewa bus secara patungan.

Seperti juga sekarang, pada tempo dulu, tempat-tempat hiburan pada saat lebaran juga diserbu pengunjung. Hanya kala itu, Dufan di Ancol masih merupakan hutan dan rawa-rawa. Bahkan, sampai pertengahan 1950-an masih dianggap daerah angker. Banyak monyet berkeliaran, diantaranya monyet yang dijuluki si kondor. Mitos yang beredar kala itu bahwa di Ancol pada malam hari sering muncul 'si manis dari jembatan Ancol'. Hingga mobil-moobil takut melewati Ancol pada malam hari. Kalau pun ada satu dua yang lewat malam hari, mereka menyalakan lampu dan membunyikan klakson. Mohon supaya jangan diganggu 'si manis'.

Bagaimana dengan TMII? Daerah itu pun masih berupa hutan belukar dan hanya ada satu dua rumah. Ketika pada 1970, Ibu Tien Soeharto memprakarsai pembangunan TMII di lokasi ini banyak yang menentangnya. Hampir tiap hari ada demo-demo dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Maklum saat itu, keadaan ekonomi masih suram. Sedangkan, Ragunan yang merupakan salah satu tempat rekreasi favorit warga ibu kota, disebut juga sebagai tempat 'jin buang anak'. Apalagi belum ada jalan raya menuju Ragunan.

Sebelum Gubernur Ali Sadikin memindahkan kebun binatang dari Cikini (kini Taman Ismail Marzuki) ke Ragunan, daerah Pasar Minggu sampai 1950-an masih dianggap kawasan luar kota. Daerah ini masih berupa perkebunan dan menghasilkan buah-buahan. Adhie MS pada 1950-an menciptakan lagu yang liriknya berbunyi: ''Pepaya, pisang, jambu. Dibeli dari Pasar Minggu.'' Pergi ke Pasar Minggu kala itu dianggap naar boven (naik ke atas), seperti ke Puncak saat ini.

Kebun binatang di Cikini, pada hari Lebaran juga diserbu warga yang ingin menikmati hiburan sambil melihat berbagai jenis binatang. Bing Slamet, Eddy Sud, Ateng, dan Iskak dulu sering menghibur di kebun binatang ini. Kebun yang luasnya sampai RS DGI Cikini ini dulunya merupakan halaman rumah pelukis kesohor Raden Saleh Syarif Bustaman. Dikabarkan, setelah bercerai dengan istrinya yang keturunan Jerman dan mengawini putri Kraton Yogyakarta, pelukis ini banyak memberikan perhatian terhadap Islam. Ia membangun sebuah masjid yang kini menjadi Masjid Jami' Raden Saleh di Jl Raden Saleh. Karena kedekatannya terhadap Islam, Raden Saleh pernah dicurigai ikut mendukung pemberontakan kelompok Islam di Bekasi untuk menentang Belanda.

Di tahun 1950-an, Gedung Museum Nasional di Medan Merdeka Barat yang kini 'kesepian' pengunjung (lebih banyak turis asing), dulu merupakan salah satu tempat rekreasi pada akhir pekan dan selama lebaran. Bukan untuk melihat koleksinya yang dinilai paling baik di Asia, tapi untuk menonton kesenian Sunda dan kesenian Jawa yang digelar di situ.

Dulu untuk menikmati deburan ombak dan mandi di laut, bukannya pergi ke TIJA, tapi ke Zandvoord (orang Betawi menyebutnya Sampur). Saya berani bertaruh, banyak anak muda yang tidak tahu di mana Sampur. Padahal pernah menjadi tempat rekreasi paling banyak didatangi pada 1950-an. Letaknya hanya beberapa kilo meter dari stasiun kereta api Tanjung Priok. Nama Zandvoord diberikan warga Belanda untuk mengenang tempat yang sama di negerinya. Mandi, berenang, dan rekreasi ke Zandvoord tidak ditarik biaya sepeser pun.

Saya sering ke Sampur dari Kwitang yang jaraknya sekitar 15 km naik sepeda. Maklum, waktu itu kendaraan tidak banyak, hingga saya dan kawan-kawan bisa saling kebut-kebutan ke Sampur. Orang Belanda banyak membangun vila di sini. Di dekatnya terdapat Jacht Club yang didirikan orang-orang bule sebagai tempat rekreasi mereka. Setelah warga Belanda hengkang dari Indonesia, Jacht Club menjadi tempat hiburan paling bergengsi sampai 1970-an. Tiap malam Minggu, Jacht Club yang buka hingga subuh jadi tempat hiburan bagi orang-orang berduit. Berdansa dansi dengan iringan musik yang punya nama.

Saat ini mungkin tidak ada yang percaya bahwa pantai Cilincing yang kini dipenuhi sampah dan berbagai kotoran, pada 1960-an merupakan tempat rekreasi paling banyak didatangi saat lebaran. Cilincing menggantikan Sampur yang ketika itu sudah mulai kehilangan pamor. Airnya jernih dan di pantainya banyak pohon kelapa. Konon, komponis Ismail Marzuki mendapat ilham dari Cilincing ketika menciptakan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Di pantai Cilincing ketika itu banyak pedagang membuka tenda. Sementara para pengunjung menikmati pantai dengan lesehan beserta keluarga.

Pasar Ikan, Jakarta Utara, juga menjadi tempat yang dikunjungi warga saat lebaran. Tapi, mereka lebih banyak untuk berziarah ke Makam Luar Batang. Di sini terdapat makam Habib Husein Alaydrus yang hingga kini banyak diziarahi orang. Di dekatnya dulu terdapat Meriam si Jagur yang oleh masyarakat pengikut tahayul dijadikan sebagai tempat meminta jodoh dan anak. Melihat kemusyrikan yang sangat dikutuk oleh Allah, meriam peninggalan Portugis pada abad ke-17 itu dipindahkan ke Museum Nasional. Di Pasar Ikan banyak pengunjung membeli gelang dari akar bahar yang dipercaya dapat menghilangkan penyakit rematik. Pergi ke Pasar Ikan kala itu paling enak naik trem Lijn I dari Mester (Jatinegara) dan Lijn IV dari Tanah Abang. Ongkosnya hanya sepicis (10 sen). 

(Alwi Shahab)

No comments: