Friday, January 07, 2005

Trem, Ostin, Ikarus, dan Ikan Bandeng

Pada awal 1960-an trem listrik di Jakarta tamat riwayatnya. Menurut memori yang dibuat Sudiro, wali kota Jakarta saat itu, Presiden Sukarno menganggap trem yang telah beroperasi sejak akhir abad ke-19 sudah tidak cocok lagi untuk kota besar seperti Jakarta.

Sukarno mengatakan lebih baik dibangun metro (kereta api bawah tanah) untuk Jakarta. Sebagai upaya akhir agar tidak seluruh trem dihapus, Sudiro minta agar jurusan Jatinegara-Matraman-Kramat-Senen sebagai urat nadi perdagangan bagi para pengusaha kecil tetap dipertahankan. Tapi, usulan itu ditolak Bung Karno.

Sayangnya ketika trem dihapus, sebelumnya tidak diimbangi dengan jumlah bus. Ketika itu politik kita yang 'progresif revolusioner' berpihak ke Blok Timur yang sedang berkonfrontasi dengan Blok Barat yang dijuluki Nekolim (neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme). Tidak heran bus-bus yang beroperasi di Jakarta berasal dari Eropa Timur, seperti merek Robur dan Ikarus.

Tapi, karena jumlahnya tidak banyak, opletlah yang mendominasi angkutan di Jakarta. Sampai-sampai beroperasi ke jalan-jalan protokol, di samping becak untuk jarak dekat. Waktu itu oplet (dari kata autolet) bodinya terbuat dari kayu yang dirakit di dalam negeri. Sedangkan mesinya dari mobil tahun 1940-an dan 1950-an, seperti merek Austin dan Moris Minor (Inggris) serta Fiat (Italia). Di Jakarta oplet juga disebut ostin, mengacu nama Austin, yang sisa-sisanya kini dapat dihitung dengan jari. Antaranya oplet si Mandra dalam Si Doel Anak Sekolahan.

Kalau sekarang mikrolet yang juga sejenisnya pintu masuk penumpang terletak di bagian samping, sedang oplet di bagian belakang. Naik oplet sampai 1960-an memerlukan kesabaran, di samping harus berani rebut-rebutan dan tempo-tempo sikut-sikutan. Terutama pada jam masuk kantor dan pulang kantor.

Seperti dialami si Mamat saat hendak naik oplet ke Pasar Baru. Berdiri di bawah panggangan matahari musim kering, di Matraman Raya ia sudah satu jam nungguin oplet dari arah Jatinegara yang penuh terus. Begitu sebuah oplet berhenti, si Mamat dan para calon penumpang lainnya harus saling berebutan untuk dapat tempat. Begitu pintu oplet ngablak, tidak lebih dari satu menit oplet sudah penuh terisi.

Tidak seperti sekarang ini, mikrolet yang juga sejenis oplet para sopirnya sampai ngedumel karena kekurangan penumpang dan sulitnya mendapatkan uang setoran. Bus mulai banyak di Jakarta ketika pada masa Gubernur Ali Sadikin. Ia pun membuat banyak shelter di perhentian-perhentian bus sehingga calon penumpang dapat berteduh.

Jakarta pada saat revolusi (1945-1949) banyak ditinggalkan penduduknya untuk hijrah ke Yogyakarta. Tidak heran kala itu banyak rumah kosong dan tidak ditempati. Awal 1950-an setelah penyerahan kedaulatan banyak kaum urban dari berbagai daerah ke Ibu Kota.

Seperti juga sekarang, banyak yang mendirikan rumah dan gubuk liar. Tentu saja tanpa izin. Akibatnya, pada 17 Mei 1952 dikeluarkan pengumuman yang ditandatangani Wali Kota Samsuridjal, Kepala Kejaksaan Negeri Militer Letkol R Soenaryo, Komandan Komando Markas Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR) Mayor Kosasih, dan Kepala Kepala Kepolisian Djakarta dan Sekitarnya R Ating Natakusumah. ''Mereka yang membangun bangunan liar harus membongkarnya sebulan setelah pengumuman ini. Mereka yang tidak mematuhi akan dikenakan sanksi berat.''

Kini jumlah sekolah lanjutan pertama (SLTP) di Jakarta mencapai ratusan. Pada 1952 baru terdapat 13 SMP negeri dan 20 SMP partikulir. Ada 6 SMA negeri dan 22 SMA partikulir. Sebelum 1950 hanya ada Fakultas Kedokteran dan Fakultas Hukum UI, 153 madrasah, dan dua pesantren. Cengkareng dengan bandara internasional dan puluhan perumahan real estate dulu masih persawahan. Demikian pula Klender di Jakarta Timur. Bahkan, sawah-sawah terbentang luas di utara Tanjung Priok.

Hasil sawah ini bukan saja mencukupi kebutuhan Jakarta, tapi juga dikirim ke luar daerah. Di daerah Selatan, seperti Pasar Minggu, Pasar Rebo, Kebon Jeruk, Kebayoran, Kemang, dan Mampang Prapatan hasil buahan-buahan melimpah, seperti jeruk, durian, nenas, rambutan, dan mangga. Kala itu tidak perlu impor buah seperti sekarang, yang kini buah impor mendominasi pasaran hingga ke daerah terpencil. Kala itu Pemprov DKI membangun kebun percontohan buah-buahan di Pasar Minggu.

Di Kemang dan Buncit merupakan pusat peternakan susu di Ibu Kota. Produksinya sekitar 15 ribu liter per hari dengan ratusan ekor sapi. Pada pagi dan sore hari ratusan warga Betawi dari kedua daerah ini membawa susu ke kota bersepeda. Di sepanjang pantai utara terdapat ribuan hektare empang yang menghasilkan ikan bandeng. Di Jakarta Kota ada tempat yang bernama 'Bandengan' karena pernah menjadi pusat penjualan bandeng.

Ada kebiasaan pada malam 'CAP GO MEH' atau malam ke-15 setelah tahun baru Imlek para siawce berias seelok mungkin menanti kedatangan sang pacar untuk wakuncar (waktu kunjung pacar) yang membawa sepasang ikan bandeng. Cilaka dua belas calon mantu yang kagak muncul atau datang tidak membawa ikan bandeng. Mantu macam ini dianggap tidak memberi hormat pada calon mertoku. Bisa-bisa pertunangan jadi putus dan berantakan.

(Alwi Shahab, Wartawan Republika)

No comments: