Friday, January 07, 2005

Operasi KTP: Denda Rp 5 Juta dan Kurungan 5 Hari

Jakarta kembali dilanda macet setelah lalu lintas lengang lebih dari seminggu karena ditinggal warga mudik Lebaran. Sebagai imbalan, kini para pemudik yang berdatangan dari berbagai daerah menambah sesak Jakarta. Mereka membawa ratusan ribu pendatang baru untuk mengadu nasib di kota ini. Gubernur Sutiyoso yang tidak pernah bosan membatasi peledakan penduduk kembali melancarkan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK). Tidak tanggung-tanggung, para pelanggar yang terkena razia didenda Rp 5 juta. Banyak pihak meragukan keberhasilannya.

Pada masa Gubernur Ali Sadikin (1966-1977), saat penduduk baru tiga juta jiwa, ia pernah menyatakan Jakarta sebagai kota tertutup. Tapi, tidak pernah mampu menahan laju urbanisasi yang laksana air bah membanjiri Jakarta. Juga para gubernur penggantinya.

Operasi Yustisi Kependudukan memang bukan hal baru bagi Pemprov DKI. Operasi semacam ini pernah dilakukan lebih dari 160 tahun saat kota ini bernama Batavia. Ke mana pun orang bepergian harus membawa KTP yang dikeluarkan kelurahan masing-masing dengan membayar setalen atau 25 sen. Mereka yang bepergian malam hari bila lewat gardu penjagaan akan ditanyai KTP-nya, tulis Rd Arya Sastradarma, pelancong dari Solo ketika mengunjungi Batavia (1830).

Bagaimana kalau tidak bawa KTP? Untuk yang satu ini jangan coba-coba, tulisnya. Jika ketangkep bisa dibui (dipenjara) lima hari, seperti dialami Mpok Hindun yang semalaman kagak tidur dan gelisah nungguin suaminya, Bang Musa, karena tidak pulang sampai pagi di kediamannya di Kwitang setelah mengunjungi saudaranya di Kebon Sirih. Rupanya Bang Musa ketinggalan bawa KTP. Terjadilah hal yang tidak diinginkan ketika ia melewati gardu penjagaan. Keesokan harinya ia baru dibebaskan setelah Mpok Hindun mengurus ke kantor polisi sambil menyerahkan KTP suaminya.

''Kowe inlander lain kali jangan lupa yah kalo pigi bawa itu kowe punya surat penduduk,'' kata polisi yang memeriksanya. ''Iye tuan polisi,'' kata Bang Musa dan Mpok Hindun. Dikabarkan bahwa pada pertengahan abad ke-19 itu Batavia sangat aman. Orang yang bepergian malam tidak diizinkan membawa senjata sekalipun sebilah besi. Lebih-lebih jika tajam dan runcing.

Operasi Yustisi juga dilakukan pada masa pendudukan Jepang (Maret 1942-Agustus 1945). Di samping penduduk harus memiliki KTP, terhadap bangsa asing baik Eropa maupun Asia (Cina, Arab, dan India) yang sudah berusia 17 tahun dikenakan wajib daftar, sekaligus menyatakan sumpah setia kepada Balatentara Dai Nippon. Wajib daftar ini sangat memberatkan karena biayanya sangat tinggi. Untuk orang Eropa laki-laki Rp 150/orang, wanita Rp 80 orang. Orang Asia, termasuk Ciona, Arab, dan India laki-laki membayar Rp 100/orang dan wanita Rp 50/orang.

Penduduk Batavia dalam sensus 1930 lebih dari 500 ribu jiwa. Jika digabung dengan daerah sekitarnya (Meester Cornelis, Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor), mencapai 1,3 juta jiwa. Kala itu 900 ribu di antaranya etnis Betawi (mayoritas). Sampai proklamasi kemerdekaan (1945) pertumbuhan penduduk cukup lamban. Tapi, pada 1960 Jakarta berpenduduk 2,6 juta.

Kaum urban banyak berdatangan dari daerah konflik, seperti Priangan Timur (Jawa Barat)) dan sebagian pesisir Jawa Tengah serta Sulawesi Selatan akibat gangguan keamanan (DI/TII). Pada masa awal Gubernur Ali Sadikin, Jakarta mendapat julukan 'kampung besar' (the big village). Hingga sutradara Usmar Ismail membuat judul demikian menggambarkan kehidupan Kota Jakarta. Kala itu gedung bertingkat masih bisa dihitung dengan jari.

Pada masa Belanda kemajuan Batavia diimbangi Surabaya, Semarang, dan Bandung. Setelah kemerdekaan Jakarta menjadi kota segala fungsi. Berdasarkan data statistik, diperkirakan 80 persen dari total dana nasional terpusat di Jakarta. Konon pada masa Bung Karno sebagian besar uang beredar di kawasan China Town Glodok. Maklum ketika itu pusat perdagangan berada di Glodok, belum nongol pusat-pusat perbelanjaan yang kini tumbuh seperti cendawan di musim hujan.

Untuk memperebutkan kue pembangunan nasional yang terpusat di Jakarta, kaum urban pun semakin merangsek kota ini. Kini Jakarta berpenduduk tidak kurang dari 13 juta (siang hari) dan 10 juta pada malam hari. Berarti ada tiga juta penduduk dari Debotabek yang penghasilannya dari Jakarta. Karena itulah Bang Ali pernah secara keras mengkritik pemda Debotabek yang melarang Pemprov DKI ingin menjadikan sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Padahal, penduduknya ikut mengotori Jakarta.

Dengan penduduk yang terus bertambah, potret kehidupan Jakarta adalah kota yang bermasalah. Kehidupan masyarakat yang makin sesak, resah, gelisah, bahkan sering mengerikan. Tidak seperti pertengahan 1960-an. Meskipun negara dinyatakan dalam keadaan SOB, keadaan aman. Jarang terjadi kriminilitas, apalagi perampokan.

Kini masyarakat takut keluar pada malam hari membawa perhiasan dan barang berharga. Tindakan kriminilitas baik kualitas maupun kuantitas makin mengkhawatirkan. Sektor informal penuh sesak diserbu pencari nafkah. Pedagang kaki lima sudah mencapai 141 ribu orang. Karena lahan makin sedikit, mereka pun berdagang di trotoar. Bahkan, sudah banyak yang mengambil jalan umum. Itulah wajah Jakarta saat ini.

(Alwi Shahab, Wartawan Republika)

No comments: