Kepolisian RI saat ini bener-bener dalam sorotan. Begitu banyak kritik pedas dilontarkan masyarakat kepada institusi tersebut. Lebih-lebih sejak peristiwa kekerasan di Tempat Pembungan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Kabupaten Bogor, pekan lalu. Bukan hanya itu. Ada berita lain yang bisa membuat merah muka aparat kepolisian, yakni pengakuan Rois, alias Irwan Darmawan, anak buah Azahari yang berhasil dibekuk pekan lalu. Menurut ceritanya, Azahari itu tokoh teroris yang sedang diuber-uber dan diudak-udak aparat keamanan. Dia pernah beberapa kali tertangkap Polisi Lalu Lintas (Polantas) karena melanggar lalu lintas. Termasuk kendaraannya pernah ditahan di Kuningan beberapa saat setelah pemboman Kedubes Australia.
Pernyataan anak buah Azahari ini mengusik sebuah harian Ibu Kota untuk membuat karikatur. Di tengah uang Rp 10 ribu terdapat gambar Azahari. Dengan kata-kata pantesan Azahari lolos terus. Kapolri Jenderal Pol Dai Bachtiar menyatakan, Rais memang bercerita panjang lebar soal Azahari yang berkali-kali kendaraannya ditilang. Namun, dia lolos karena memberi uang pada anggota Polantas. Agar peristiwa memalukan ini tidak terulang, para petugas Polantas wajib mengantongi foto Dr Azahari dan Noordin M Top. Tentu tujuannya agar polisi hafal wajah mereka bila tertangkap di jalan.
Tapi, entah kalau keduanya saat ditangkap tengah menyamar. Maklum, 'denda damai' alias pungli dan entah apalagi namanya sudah bukan rahasia umum di negeri ini. Sudah terjadi puluhan tahun dan sering dilakukan secara terang-terangan. Tidak mengherankan bila aparat Polantas dan DLLAJ saat merazia kendaraan banyak yang mengaitkan kegiatan mereka dengan pungli.
Pada 1950-an ketika semangat nasionalisme masih tinggi dan rakyat sama-sama susah belum begitu dikenal pungli di jalan-jalan. Polantas tiap saat, baik pagi, petang, maupun malam berjaga-jaga di perempatan jalan. Kala itu belum ada lampu lalu lintas seperti sekarang. Polisi Lalu Lintas berdiri di perempatan jalan raya. Mereka memutar-mutar tanda lalu lintas dari besi setinggi kurang lebih dua setengah meter.
Tanda lalu lintas itu bercat hijau berbunyi: 'JALAN'. Warna merah bertuliskan: 'STOP'. Sungguh kasihan nasib Polantas ketika itu. Kalau terik matahari kepanasan dan saat hujan basah kuyup. Baru pada 1960-an dikenal istilah priit ji-go. Maksudnya, kalau kendaraan salah jalan kena tilang polisi dapat diajak 'denda damai' dengan membayar 25 perak atau ji-go.
Pada masa Demokrasi Terpimpin itu inflasi kelewat tinggi dan harga-harga melonjak drastis. Ji-go yang sebelumnya bisa membeli lima liter beras nilainya turun drastis. Kemudian, dikenal istilah priiit seceng (Rp 1.000). Saat ini untuk 'denda damai' kita harus mengeluarkan uang ce-ban (Rp 10 ribu) untuk sepeda motor dan no-ban atau Rp 20 ribu untuk mobil. Bahkan, kadang-kadang no-ban-go alias Rp 25 ribu.
Bagi para pengendara cing-cai atau denda damai lebih baik daripada kena tilang. Mengurusnya berbelit-belit dan memakan waktu di pengadilan. Biayanya pun bisa mencapai go-ban (Rp 50 ribu). Ada cerita menarik tentang tata kehidupan masyarakat Kota Batavia serta jalannya peraturan kepolisian pada akhir abad ke-19. Saat itu kota tersebut banyak didatangi para pendatang dari Eropa dengan dibukanya Terusan Suez, Pelabuhan Tanjung Priok, mulai banyaknya kendaraan bermotor, termasuk kereta api, trem uap, dan kemudian trem listrik.
Peraturan kepolisian dijalankan dengan keras dan cermat. Semua perkara dan persoalan diselesaikan dengan cepat dan tidak memungut biaya satu sen pun. Tidak dikenal istilah pungli, uang semir, atau uang rokok. Pengendara kendaraan dengan tertib memenuhi peraturan lalu lintas. Mereka tidak ada yang berani berhenti di tempat terlarang. Para sopir dengan tertib mengendarai kendaraan dan hampir tidak ada yang ugal-ugalan seperti sekarang.
Rumah-rumah penduduk diatur dengan rapi, berjejer berderet-deret menghadap ke jalan. Tidak seperti sekarang ini, kala itu sampah tidak menjadi persoalan bagi gementee (Pemda Batavia). Tidak ada yang membuang sampah sembarangan. Peraturan kepolisian begitu keras. Berjudi adalah salah satu perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi berat. Hingga tidak perlu Front Pembela Islam (FPI) menggeladah tempat-tempat perjudian dan hiburan. Perbuatan zina juga terlarang. Pejabat yang paling ditakuti penduduk Batavia adalah Tuan Schaut atau sekaut, kata orang Betawi. ''Itu tuan macannya di negeri Betawi,'' kata mereka.
Di seluruh Karesidenan Batavia terdapat delapan schaut (semacam kapolres sekarang ini). Di dalam kota empat schaut dan di luar kota empat schaut. Masing-masing di Meester Cornelis (Jatinegara), Bekasi, Mauk, dan Curuk. Dua nama terakhir berada di Tangerang. Salah seorang di antaranya mengepalai penduduk Selam (sebutan Islam oleh penduduk kala itu) dan seolah-olah menjadi momok.
( Alwi Shahab, wartawan Republika)
No comments:
Post a Comment