Tahun baru Imlek telah berlangsung meriah di berbagai tempat di Indonesia. China Town -- Glodok dan Pancoran -- didominasi warna merah. Sejak angpau, parsel, kartu ucapan selamat, hiasan dinding, sampai makanan untuk keperluan liangsium (sembahyang), semua dikemas dalam warna merah yang bagi masyarakat Cina adalah lambang keberuntungan.
Keramaian semacam itu telah berlangsung sejak ratusan tahun di Indonesia -- kecuali selama 32 tahun masa Orba. Setelah Imlek disusul dengan Capgomeh atau malam ke-15 setelah tahun baru Cina. Ramainya tidak kalah dengan karnaval yang digelar di jalan-jalan di Amerika Latin.
Jumlah masyarakat keturunan Cina di Indonesia paling besar di Asia Tenggara. Lebih besar dari keturunan Cina di Malaysia yang merupakan sepertiga penduduk negeri jiran, yang berjumlah sekitar 20 juta jiwa, itu. Di luar daratan Cina, dewasa ini jumlah orang Cina di Asia mencapai 40 juta jiwa. Di Asia Tenggara, jumlah keturunan Cina terbesar ada di Indonesia.
Menurut pengamat Cina, Prof Dr James Danandjaya, para hoakiau (Cina perantau) di Asia memproduksi 600 miliar dolar AS dalam bentuk barang dan jasa di negara asal mereka. Termasuk pengusaha keturunan yang mengadakan investasi di daratan Cina. Sementara, orang Tionghoa perantau yang hidup di AS dan Kanada menyumbang 80 prosen dari penanaman modal di RR Cina. Mereka mendanai sampai terjadinya ledakan ekonomi (economic boom) yang membuat Cina menjadi pasar ketiga terbesar di dunia, setelah AS dan Jepang.
Begitu berpengaruhnya budaya Cina. Istilah kawin perak untuk perkawinan suami istri mencapai 25 tahun dan kawin emas untuk 50 tahun serta kawin berlian untuk usia perkawinan 60 tahun, pun berasal dari Cina. Memang tak selalu ada acara khusus dalam pesta perkawinan tersebut. Biasanya hanya ada jamuan makan siang atau malam, dengan bersulang anggur bersama keluarga dan para tamu.
Dalam tradisi Cina di Indonesia, terutama tempo doeloe, ada banyak sekali hari raya dan pesta rakyat. Termasuk Capgomeh pada malam ke-15 Imlek. Banyak orang dari luar kota Betawi yang sengaja datang untuk turut merayakan Capgomeh. Pada malam itu ada kebiasaan, terutama di kalangan kaum perempuan Betawi keturunan Cina, untuk begadang sambil memasang kuping untuk menangkap semua kata yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang lalu lalang di depan rumah mereka pada waktu keadaan sudah sepi.
Menurut keyakinan mereka, kata-kata yang diucapkan orang yang sedang lewat itu adalah ramalan nasib bagi yang mendengarnya. Misalnya, jika seorang perempuan mendengar orang lewat mengatakan, ''Biar dia begitu, ia itu adalah tauke.''
Menurut keyakinan, dalam waktu singkat di kemudian hari, suaminya akan menjadi pengusaha besar, walaupun pada waktu itu hanya seorang kuli toko di Pintu Kecil. Demikian tulis James Danandjaja dalam Folklor Tionghoa.
Pesta Capgomeh meriah banget dan berlangsung semalam suntuk. Tak heran kalau keesokan harinya orang malas bekerja dan memilih tidur. Bagi orang yang gemar pesta sampai kini belum ada yang mengalahkan kemeriahan malam Capgomeh, karena berlangsung selama beberapa hari dan diadakan di berbagai tempat.
Setelah Capgomeh, acara dilanjutkan dengan pesta rakyat yang disebut Caplakme (malam ke-16 Imlek). Di Jakarta berlangsung di daerah-daerah Tanah Abang, Pal Merah, dan Meester Cornelis (Jatinegara). Meskipun, tidak seramai pesta Capgomeh di kawasan Glodok dan Pancoran.
Dalam Capgomeh ada keramaian yang disebut ciakko (rebutan bendera), upacara untuk menyembayangi orang-orang yang tidak disembayangi oleh keluarganya karena terlalu miskin. Masyarakat Cina memberikan sumbangan uang dan barang serta bahan makanan. Kemudian barang-barang itu ditempatkan dalam bakul-bakul, lalu ditancapi bendera segi tiga aneka warna.
Capgomeh dimulai dari tempat beradanya topekong yang kemudian dikeluarkan dari wihara dan digotong ramai-ramai menyusuri jalan-jalan raya, diiringi orkes tanjidor yang berasal dari Portugis.
Rupanya, waktu itu, pacaran berbeda dengan sekarang. Kalau kini muda-mudi cukup saling menyapa atau kedip-kedipan, tidak demikian pada zaman baheula. Proses pacaran dimulai dengan saling melempar hwaatkweee alias kue apem dan kue tiongcuphia yang bentuknya seperti bola kecil. Kedua kue itu berisi kacang hijau yang telah dihaluskan. Menurut keyakinan orang Cina ketika itu, kedua kue tersebut menjadi simbol pengharapan. Artinya, yang mulanya kecil lama-lama menjadi besar.
Kalau dalam lempar melempar kue baik di hari Capgomeh maupun Pehcun (hari ke-100 setelah Imlek) ada kecocokan, dan muda-mudi saling naksir, proses selanjutnya bisa merembet ke perjodohan. Meskipun si gadis sudah jatuh cinta kepada si pemuda, tapi masih ada persyaratan yang harus dilalui. Si pemuda harus berkunjung kerumah calon mertoku.
Saat kunjungan pertama itu si pemuda harus membawa sepasang ikan bandeng. Lebih-lebih pada hari Capgomeh. Menurut orang Cina, cialat atau celaka dua belas bagi calon mantu yang datang (sowan) tanpa membawa sepasang ikan bandeng. Calon mantu yang begini akan dianggap tidak punya liangsim atau rasa malu. Pergi sowan ke rumah gadis pilihan tanpa membawa sepasang bandeng dianggap membuat malu calon mertua di depan tetangga.
(Alwi Shahab )
Wednesday, March 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment