Wednesday, March 12, 2008

Kampung Melayu-Priok

Menaiki mikrolet dari terminal Kampung Melayu menuju stasion kereta api Tanjung Priok kita harus beberapa kali berganti kendaraan. Seorang sopir mikrolet yang dulu disebut Ostin berasal dari nama kendaraan Austin buatan Eropa mengeluh berkurangnya penumpang sejak beroperasinya bus way.

Kampung Melayu, yang telah dikenal sejak abad ke-17, dijadikan tempat pemukiman orang-orang Melayu yang berasal dari Malaka di bawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus. Dia digambarkan sebagai orang yang cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik tugas administrasi maupun di lapangan sebagai perwira.

Tapi, sayangnya Kapten Wan Abdul Bagus sangat mengabdi kepada Kompeni, dimulai sebagai juru tulis, juru bahasa, sampai ditunjuk sebagai utusan ketika kompeni menghadapi masalah di Sumatera Barat. Kapten Melayu yang pernah ikut kompeni dalam menumpas pemberontakan Mataram, Banten dan Pangeran Trunojoyo, itu meninggal pada tahun 1716 dalam usia 90 tahun.

Setelah meninggal, Wan Abdul Bagus digantikan oleh putranya, Wan Muhamad, yang kawin dengan Syarifah Mariam yang pernah membuat geger Kesultanan Banten karena berpihak pada Sultan Haji ketika ingin mengambil kekuasaan Banten dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan sekaligus bersekongkol dengan gubernur jenderal Van Imhoff.

Oleh gubernur jenderal berikutmya Syarifah diasingkan ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu hingga meninggal. Makamnya masih sering diziarahi untuk meminta nomor buntut, terutama saat Hwa-Hwe.

Mikrolet kemudian berhenti di Bukit Duri. Dulu di sini terdapat penjara wanita yang kemudian dibangun Kompleks Pertokoan dan Perumahan Bukit Duri Permai. Bukit Duri, yang masuk wilayah Meester Cornelis, dulu merupakan bagian terpisah dari Batavia dan pada 1924 dijadikan nama Kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Batavia.

Baru pada 1 Januari 1936, setelah berbentuk gemeente, Bukit Duri disatukan dengan gemeente Batavia. Perubahan nama Meester Cornelis menjadi Jatinegara dilakukan pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945).

Kemudian, mikrolet meluncur ke Matraman. Kini Pemda DKI Jakarta dibuat pusing oleh perkelahian yang entah sudah berapa kali antara warga Berland dan Pal Meriam. Padahal, antara kedua kelurahan yang saling berseberangan itu sudah dibangun pagar pemisah yang cukup tinggi dari besi.

Matraman pernah dijadikan basis oleh pasukan Sultan Agung ketika menyerang Batavia (1628-1629). Entah bagaimana kata Mataram itu oleh lidah Jakarta menjadi Matraman. Sekalipun dua kali penyerangan itu gagal karena tidak didukung logistik, para bangsawan Mataram yang kemudian tinggal di Jakarta cukup handal dalam penyiaran agama. Terbukti, banyak masjid yang mereka bangun dan hingga kini masih berdiri.

Melewati Pasar Senen, kita harus pindah ke mikrolet Senen-Kota. Di Jl Senen Raya ini dulu gubernur jenderal van den Parra membangun istana sekaligus tempat peristirahatan yang megah. Kini menjadi Rumah Sakit Pusat AD Gatot Subroto.

Jalur mikrolet Senen-Kota melewati Pasar Baru -- pasar yang ada belakangan setelah lingkungan sekitar lapangan Gambir dibuka oleh gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Daerah yang menjadi pusat pemerintahan VOC itu oleh Daendels dinamai Weltevreden (tempat yang menyenangkan).

Dari Pasar Baru, mikrolet menuju Jl Pintu Besi (kini Jl Samanhudi). Di sini terdapat pusat penjualan suku cadang terbesar di Jakarta. Namanya Musatek dan sebelumnya Percetakan Siliwangi. Gedung yang luas itu dulu milik pahlawanan nasional M Husni Thamrin. Di sinilah dia wafat pada tahun 1941. Waktu dimakamkan di TPU Tanah Abang, jumlah pelayatnya ditaksir mencapai ratusan ribu orang, padahal penduduk Jakarta kala itu baru setengah juta jiwa.

Setelah berganti mikrolet di stasion kereta api Bios, kita mendapati puluhan mikrolet yang sedang menunggu penumpang ke Priok. Stasion KA Tanjung Priok sudah belasan tahun ini tidak terurus lagi. Yang menyedihkan, banyak tuna susila tinggal dan memasak sampai ke dalam stasion.

Stasion Tanjung Priok dibangun setelah pelabuhan Tanjung Priok dibuka untuk menggantikan Pelabuhan Sunda Kalapa yang sejak dibukanya Terusan Suez (1868) tidak lagi dapat menampung armada kapal-kapal uap yang menggantikan kapal layar.

Sejak Terusan Suez dibuka, jumlah warga Barat di Nusantara terus meningkat pesat. Pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 40.000 jiwa, atau meningkat delapan kali lipat. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu dan 20 tahun kemudian jumlah orang Eropa di Nusantara mencapai 91.142 jiwa.

Tanjung Priok berperan sebagai tempat transit warga Barat yang datang ke Batavia dan sekitarnya. Mereka naik kereta api dari stasion KA Tanjung Priok. Di salah satu bagian dari stasion KA itu dulu terdapat sebuah hotel yang cukup baik bagi mereka yang tiba kemalaman. Stasion ini bukan hanya mengangkut penumpang untuk kota Jakarta dan sekitarnya, tapi juga untuk jarak jauh seperti Semarang dan Surabaya.

Dulu stasion Tanjung Priok punya jaringan hingga ke dermaga pelabuhan (1885), kemudian disempurnakan dengan membangun stasion baru pada 1886. Pada kesempatan itu juga digunakan kereta api listrik pertama di Hindia Belanda dari Meester Cornelis ke Tanjung Priok.

Stasion ini merupakan stasion monumental dengan delapan jalur. Bangunannya bertumpu pada ratusan tiang pancang yang memiliki atap penutup dari beton. Ketika stasion KA ini dibuka, seperti juga stasion dan bangunan-bangunanm besar lainnya, dilakukan selamatan untuk seluruh karyawan dengan menanam dua kepala kerbau di sisi stasion. Kabarnya, pihak PT KAI dalam waktu dekat akan mengoperasikan kembali stasion KA Tanjung Priok yang telah bertahun-tahun tidak berfungsi.

(Alwi Shahab )

No comments: