Foto Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 1890-an atau lebih satu abad silam. Di kiri kanan yang dinaungi pohon asem yang rindang terdapat rumah-rumah besar dengan pekarangan luas. Di tengah-tengah terdapat gardu penjaga, sementara dua pedati -- angkutan umum ketika itu -- sedang melaju di jalan yang sudah diaspal. Dari kejauhan tampak pedagang pikulan. Pedagang yang sama juga terdapat di sebelah kiri kanan. Di depannya tampak wanita Belanda tengah berjalan memakai payung. Karena lebatnya pohon asem sebagai peneduh jalan, di dekat Kebon Sirih di zaman Belanda disebut Tamarindelaan (Jl Asem).
Dari namanya, kawasan ini dinamakan Kebon Sirih, tanaman merambat yang sampai 1960-an sangat digemari terutama oleh ibu-ibu untuk dikunyah disertai kapur, pinang, dan gambir. Istilahnya makan sirih dan bila kita bertamu ke rumah-rumah terdapat tempat sirih dan tempolong untuk membuang ludah yang bewarna merah untuk kemudian mulut digosok-gosok dengan tembakau untuk membersihkannya yang disebut nyisik. Jauh sebelumnya pria dewasa juga banyak yang nyirih seperti rokok sekarang ini. Hingga ada istilah 'uang sirih', yang kemudian digantikan 'uang rokok' untuk menyogok atau menyuap agar usahanya berhasil. Jadi suap di Indonesia sudah berjalan ratusan tahun.
Kawasan Kebon Sirih pernah dijadikan defensilijn (garis pertahanan) Gubernur Jenderal Van Den Bosh pada abad ke-19 sampai ke daerah Senen, Bungur dan Galur yang kini sudah berubah fungsi jadi jalan umum. Pada masa itu, Kebon Sirih oleh orang-orang Belanda disebut de neuwe weg achtger het Koningsplein atau 'alam baru di belakang Koningsplein (kini Monas)'. Kemudian karena di sana seorang hartawan bernama KF Holle disebut Gang Holle. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi Laan Holle walaupun resminya Sterreweg. Di sini pernah seorang Yahudi -- yang ketika itu cukup banyak di Batavia -- mendirikan sebuah hotel.
Di Jl Kebon Sirih Timur kita akan menjumpai perajin jok yang sudah turun menurun sejak kakek dan orang tua mereka. Kerajinan jok yang tampak sepi sekarang ini dulu bekerjasama dengan PT Astra sebagai anak angkat perusahaan mobil terbesar di Indonesia ini.
Di Kebon Sirih inilah Kusdi Kasdut sebelum melakukan perampokan emas di Museum Nasional, pernah membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali anak Cikini. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep oleh penjahat ini. Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Wednesday, March 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment