Foto akhir abad ke-19 ini terlihat trem uap sedang berhenti di terminal di depan Lapangan Balai Kota (Stadhuisplein) yang kini menjadi Gedung Museum Sejarah DKI Jakarta, Jalan Fatahillah 1, Jakarta Barat. Trem uap dengan bahan bakar batubara mulai beroperasi di Batavia pada 1881 menggantikan trem kuda yang beroperasi sejak 1869.
Trem uap kemudian digantikan oleh trem listrik pada 1899 dan berakhir awal 1960-an pada masa Wali Kota Sudiro. Jaringan perhubungan dalam dan luar kota Batavia makin berkembang dan meluas pada paruh abad ke-19, antara lain disebabkan pertumbuhan ekonomi.
Trem uap dan juga trem listrik menelusuri Balaikota, dari arah Tanah Abang - Harmoni dan berakhir di Pasar Ikan. Di samping dari Meester Cornelis (Jatinegara) - Salemba - Senen - Sawah Besar - Jl Gajah Mada - Glodok dan Pasar Ikan setelah melewati Balai Kota. Pada saat trem kuda beroperasi dilaporkan banyak binatang ini yang mati saat beroperasi akibat kelelahan menarik gerbong yang memuat puluhan orang. Seringkali saat hendak memasuki terminal Tanah Abang kuda yang untuk dua gerbong ditarik empat ekor tidak kuat menanjak di Tanah bang Bukit. Karena kuda-kuda itu menggigit besi maka masyarakat menamakannya sebagai 'zaman kuda gigit besi'. Pada abad sebelumnya karena meriam sebelum ditembakkan harus lebih dulu disundut dengan obor, maka dinamakan 'zaman meriam sundut'.
Mengenai trem uap, seorang tentara yang baru tiba di Batavia dari Belanda menulis: "Dari kejauhan terdengar bunyi lonceng trem uap, persis seperti di Belanda." Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dengan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda berseragam tapi tanpa alas kaki. Sementara kepala kondektur seorang Eropa pensiunan tentara. Trem itu memiliki kelas satu dan kelas dua dan gerbong khusus kelas tiga untuk pribumi yang membayar dengan murah. Tapi orang Eropa, Cina, dan Arab tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Menunjukkan bagaimana pemerintah Hindia Belanda melakukan sistem rasialis. "Orang-orang yang di negeri Belanda hanya berprofesi sebagai pemerah susu di Hindia mereka menganggap dirinya luar biasa," tulis tentara tersebut dalam bukunya Batavia abad ke-20. Bukan hanya trem uap, trem listrik pun berlaku juga sistem rasialis.
Ketika trem hendak digusur, Wali Kota Sudiro memohon pada Presiden Soekarno agar jaringan trem dari Jatinegara - Senen tetap dipertahankan. Tapi Bung Karno menolak dan menganggap trem tidak cocok untuk kota semacam Jakarta. Dia lebih setuju dibangun metro atau kereta api bawah tanah. Kini saat Pemprov DKI membangun busway ada yang berpendapat kenapa bukan trem saja yang dihidupkan kembali. Karena ia dapat mengangkut ratusan orang.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Sunday, April 20, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment