Saturday, September 11, 2004

Tanpa Busana di Ciliwung

Laporan: ALWI SHAHAB, WARTAWAN REPUBLIKA

Bang Yos memiliki program 'menata dan menormalisasi' 13 sungai besar di Jakarta. Program ini untuk mengendalikan dan menjinakkan banjir yang hampir tiap tahun membuat malapetaka besar di Jakarta.

Semua juga tahu, banyak hunian di bantaran sungai. Mereka para pendatang yang terus merangsek dan mengalir ke Ibu Kota. Tidak heran sungai berubah fungsi menjadi selokan besar. Sudah tidak ada satu ikan pun yang muncul seperti tahun 1950-an. Yang tersisa tinggal kecebong, jentrik nyamuk, sampah, dan kotoran yang dibuang tanpa mengenal malu dan adab.

Pernah seorang kakek mengajak cucunya ke sebuah kampung tempat ia dibesarkan. Kepada sang cucu ia mengatakan, di Kali Ciliwung inilah ketika kecil ia berenang, menyelam, dan terjun tiap hari. Tentu saja si cucu yang berusia belasan tahun jadi melongo. Ia tidak dapat membayangkan Ciliwung pada tahun 1950-an airnya agak jernih, lebar, dan dalam.

Pada pagi hari di sepanjang Jl Pasar Baru, Jl Gajah Mada, dan Jl Hayam Wuruk hingga ke kawasan Glodok ratusan ibu dan bapak mencuci pakaian, mandi, dan memenuhi keperluan hajat lainnya. Kala itu di kampung-kampung banyak yang berprofesi sebagai penatuWaktu itu belum ada sabun colek seperti sekarang. Saat itu hanya berbentuk sabun batangan yang terkenal dengan 'saboen tjap tangan'.

Sebelum disetrika, baju diberi tajin supaya agak kaku. Dalam sebuah buku mantan petugas kompeni menceritakan kesan-kesannya tentang Batavia pada awal abad ke-20, termasuk Ciliwung sebagai tempat mandi umum. Di Kanal Risywik-Noordwijk (kini Jl Veteran depan Istana dan Jl Juanda) kami melihat sesuatu yang tidak mengikuti kesopanan, yaitu tempat mandi laki-laki dan perempuan yang berada di samping jalan umum.

Mereka berendam di air yang berwarna kecokelakan. Para pria yang berusia 8- 16 tahun telanjang bulat bermain di air dan teriak-teriak. Sementara, ibu-ibu dan para gadis agak lebih sopan. Bukan lagi di awal abad ke-20, pada 1950-an di sekitar Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk masih dapat dijumpai mereka yang mandi 'berbugil ria'.

Beberapa pengunjung asing di Batavia pada abad ke-19 mengungkapkan bahwa kala itu justru wanita Belanda yang mandi di Ciliwung dan sejumlah kanal sodetannya tanpa busana. Pihak gemeente (kota praja) mengeluarkan larangan kepada orang-orang Eropa, khususnya bagi para wanitanya, agar tidak mandi di sungai atau kanal tanpa busana. Alasannya, perbuatan tersebut sangat tercela bagi pribumi.

Belanda juga sangat memerhatikan kebersihan sungai-sungai dalam upaya mencegah banjir. Untuk itu, para anggota Dewan Kota Batavia mempersiapkan kerbau-kerbau dengan kelompok-kelompok kuli serta sampan-sampan yang meluncur tiap hari untuk membersihkan Ciliwung dan kanal-kanal dari sampah dan bangkai binatang. Salah satu tugas rutin yang harus dikerjakan penduduk dua kali seminggu di bawah pimpinan kepala wijk (lurah) adalah pemeriksaan dan perbaikan saluran got dari rumah-rumah, terutama yang mengarah ke jalan besar.

Pada 1921 di Batavia terdapat 15 mobil pengangkut sampah. Selain dipakai untuk membantu memudahkan membersihkan kota, mobil itu juga beroperasi hingga ke kampung-kampung. Untuk kampung yang tidak dapat dilalui truk, dipergunakan gerobak.

Pada akhir abad ke-18 sudah dibuka permakaman umum di Tanah Abang I (yang dulu bernama Kerhoff Laan), Jakarta Pusat, yang kini menjadi Museum Taman Prasasti. Ahad lalu di museum ini digelar Prosesi Pemakaman Batavia 1820: Sebuah Rekonstruksi Sejarah. Di tempat inilah para pejabat Belanda yang kala itu tinggal di kawasan Jakarta Kota dimakamkan.

Karena letaknya jauh dari pusat kota, jenazah yang akan dimakamkan diangkut dengan perahu melalui Kali Krukut (di Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruki). Setelah jenazah sampai sungai di depan Jl Tanah Abang I, kemudian diangkut dengan kereta ke tempat permakaman yang jaraknya sekitar 200-an meter. Sekarang ini kita sering menyaksikan iring-iringan jenazah dengan menggunakan mobil, tapi kala itu jenazah dan iringan pengantar menggunakan perahu.

Museum Taman Prasasti yang juga dikenal dengan sebutan Kebon Jahe Kober merupakan lahan peninggalan Belanda. Lahan ini dihibahkan oleh WF Helvetus Van Riemsdijk, putra Gubernur Jenderal Jaremias Van Riemsdijk, pada tahun 1795. Secara khusus diperuntukkan bagi warga Belanda dan keturunannya serta warga Eropa lainnya.

Induk bangunannya dibangun dengan gaya Doria pada 1844. Di lokasi ini juga ditemukan berbagai nisan yang diberi tanda HK yang berarti nisan-nisan ini merupakan pindahan dari gereja lama di Kota (kini Museum Tekstil) yang sudah dibongkar. Setelah kemerdekaan, lahan permakaman ini masih digunakan bagi mereka yang beragama Nasrani. Sejak 1975 lahan permakaman ditutup karena tidak ada lagi lahan yang dapat digunakan dan kemudian oleh Bang Ali ditetapkan sebagai Museum Prasasti.

No comments: