Saturday, September 11, 2004

Ismail Marzuki, Korupsi, dan Sistem Konco

Laporan: ALWI SHAHAB, WARTAWAN REPUBLIKA

Kalau Bung pemimpin sejati
Jangan Bung hanya cari kursi
Hilangkan hatimu yang dengki
Enyahkan hawa nafsu korupsi

Bait-bait syair di atas salah satu dari lebih 200 lagu yang diciptakan oleh Ismail Marzuki. Komponis pejuang kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat (1914), meninggal dalam usia muda (44 tahun) pada 1958 atau 48 tahun lalu. Jadi, ia masih mengikuti Pemilu 1955 yang diikuti lebih dari 170 partai politik. Seperti juga pemilu sesudahnya, pemilu pertama ini berlangsung sengit. Pemilu waktu itu diramaikan dengan saling debat, saling caci-maki, dan saling menjatuhkan antarparpol. Momen tersebut telah direkam Ismail Marzuki yang oleh orang Betawi disebut 'Bang Maing' melalui lagu ciptaannya. Sebagai seniman yang lahir di tengah-tengah kampung dan dikenal antipenjajahan, Ismail melalui lagu-lagu ciptaannya sangat jeli dalam memotret kehidupan di zamannya.

Termasuk masalah korupsi. Ini menunjukkan bahwa perbuatan haram sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Bung Hatta yang dikenal sebagai pemimpin yang bersih pernah menyatakan 'korupsi sudah membudaya di Indonesia.' Kala itu surat kabar banyak mengungkap kasus korupsi di berbagai departemen dan badan usaha milik negara. Sekalipun jauh tidak sedahsyat Almarhum Muchtar Lubis pada pertengahan 1950-an melalui koran Indonesia Raya-nya, dia menyatakan, ''Jihad terhadap korupsi.'' Meskipun untuk itu ia pernah dipenjara dan korannya diberangus. Hampir dalam waktu bersamaan, seorang penulis yang mengaku bernama Rajendra membuat serial Naga Mas yang memuat serial tentang seorang patriot yang membasmi para koruptor.

Ada seorang pejabat tinggi yang ditangkap karena dituduh membawa 11 ribu dolar AS ketika hendak bepergian ke suatu negara. Dia dianggap menyalahi peraturan. Banyak juga terjadi jual-beli alokasi devisa otomatis (ADO). Sistem konco seperti sekarang juga terjadi ketika itu. Yang menikmati umumnya rekan partai dari sang menteri bidang ekonomi. Banyak juga berkeliaran apa yang dikenal 'importer aktentas' yang menjualbelikan DO (delivery order). Mereka adalah para calo yang mengaku dapat mengurus surat berharga untuk menebus barang di pelabuhan-pelabuhan. Sejumlah pengusaha di Era Orba yang menjadi konglomerat hingga kini konon dulunya melakukan jual-beli DO.

Di antaranya, untuk benang tenun dan tekstil. Kala itu ada perusahaan yang mendapat julukan Ali-Baba. Tapi, bukan Ali- Baba itu tokoh legendaris dari Irak, negeri 1001 malam yang kini tanpa rasa kemanusiaan diinvasi imperialis AS hingga babak belur dan tanpa bukti kesalahan. Istilah Ali-Baba kala itu dimaksudkan untuk perusahaan. Yang muncul adalah si Ali (pribumi), tapi sebetulnya yang jadi pemilik modalnya si Baba (tauke). Kala itu dalam keadaan ekonomi yang buruk banyak terjadi manipulasi barang, seperti semen, besi beton, dan tekstil. Karena para pedagang lebih baik menimbunnya, harga-harga dengan cepat bergerak naik.

Seperti tekstil yang kini melimpah-ruah dan menjadi salah satu penghasil devisa yang besar, sampai pertengahan 1960-an pada saat-saat menjelang Idul Fitri tidak cukup tersedia untuk rakyat. Maklum, pabrik tekstil baru terkonsentrasi di Majalaya, Solo, dan Gresik. Sementara, pabrik semen baru ada di Indarung (Sumatera Barat) dan Gresik. Pabrik baja belum muncul. Cilegon yang kini dijuluki 'kota baja' masih sebuah desa. Kala itu yang paling banyak dipakai adalah kain lurik buatan Yogya. Bahkan, lurik sampai dijadikan mode. Sementara, anak-anak muda menyenangi celana CP Drill. Tapi awas! Jangan dijadikan celana 'jengki' karena bisa terkena operasi oleh polisi. Bagian bawah celana karena tidak muat botol kecap terpaksa digunting polisi. Bung Karno melarang orang berpakaian ketat.

Bukan kepribadian bangsa Indonesia, katanya. Celana 'tropicana wool' yang kini sudah jarang muncul juga banyak terdapat ketika itu meski hanya dikota-kota besar. Maklum, bahan impor ini cukup mahal harganya. Padahal, tidak cocok dipakai di Indonesia yang beriklim tropis. Kala itu di kalangan elite pada saat-saat menghadiri resepsi menggunakan pakaian lengkap hitam-putih dengan dasi 'kupu-kupu'. Celana yang juga banyak dipakai saat itu adalah 'gabardine' dan 'sharks-skin' yang oleh masyarakat disebut 'seskin' yang kini juga sudah menghilang. Baju yang banyak dipakai pria dan wanita adalah belacu.

Sekarang ini sudah jarang untuk dijadikan pakaian. Kalaupun ada relatif harganya mahal karena modelnya jadi baju etnis dan bukan lagi baju kodian. Bahan-bahan kebutuhan pokok ketika itu juga sulit didapat. Contohnya, beras yang menjadi makanan utama bangsa Indonesia harganya terus naik. Untuk menghemat, banyak yang terpaksa harus makan bubur. Kemudian, burgur yang konon di AS untuk mekanan kuda juga menjadi makanan sehari-hari. Karena banyak yang tidak tahu cara memasak bulgur, terutama di pedesaan, yang perut yang makan menjadi mules-mules. Mereka mengira memasaknya seperti beras. Karena itu bulgur menjadi mekar di perut setelah dimakan.

No comments: