Pada masa Gubernur DKI Jakarta dijabat Henk Ngantung (28 Agustus 1964 -24 Juli 1965) Bung Karno membongkar rumahnya. Wartawan senior Rosihan Anwar mengatakan tak ada keterangan jelas tentang motivasi presiden pertama RI ini membongkar rumah di Jl Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56, Jakarta Pusat. Rosihan yang ketika proklamasi sudah aktif sebagai wartawan menyatakan hal ini saat ditanya wartawan sebuah stasiun televisi. Dengan dibongkar rumah tersebut, maka bangsa Indonesia kehilangan satu tempat yang paling bersejarah di negeri ini. Bung Karno kemudian menjadikannya sebagai Gedung Pola (semacam Bappenas) hingga sekarang ini. Tak heran kalau sebagian besar rakyat apalagi generasi kini tidak mengetahui bentuk rumah Bung Karno yang digunakannya bersama Bung Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan RI ke seluruh jagad pada 17 Agustus 1945.
Bung Karno tinggal di rumah yang memiliki pekarangan luas dan merupakan kawasan elit di Jakarta tersebut sejak masa pendudukan Jepang (1942). Dari putra-putrinya hanya putra sulungnya, Guntur, yang dilahirkan di tempat ini. Ketika Januari 1946 saat kota Jakarta dikepung NICA dan muncul perlawanan bersenjata dari rakyat, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur yang masih bayi hijrah ke Yogyakarta. Bung Karno dan rombongan berangkat ke Yogyakarta naik kereta api di malam hari yang dipadamkan lampunya untuk menghindari kepungan NICA yang ingin berkuasa kembali di negeri ini. Bagian belakang dari kediamannya adalah Stasiun kereta api Pegangsaan ini terletak di bagian belakang rumah Bung Karno dan masih terpakai sampai sekarang. Kita memang dapat membangun duplikat gedung proklamasi yang sama dan serupa, bahkan mungkin jauh lebih bagus dari aslinya.
Namun, nilai sejarahnya tak akan sama seperti aslinya. Tapi, demi kepentingan sejarah jauh lebih baik dibangun kembali daripada tak ada sama sekali. Karenanya sejak empat tahun lalu, Pemda DKI melalui Dinas Kebudayaan dan Permusiuman telah menjajaki pembangunan kembali rumah Bung Karno itu. Sebuah tim telah merampungkan berbagai telaah untuk membangun rumah yang serupa seperti 59 tahun lalu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Permusiuman kala itu, Nurhadi, pembangunan rumah Bung Karno kemungkinan akan dibangun sesuai aslinya. Ini dimaksudkan agar tiap generasi dapat lebih menghayati situasi saat kemerdekaan diproklamasikan. Tidak disebutkan apakah pembangunan ini akan membongkar Gedung Pola yang kini jadi Gedung Perintis Kemerdekaan berlantai lima. Mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, sejak lama ikut mendorong dibangunnya kembali rumah Bung Karno itu. Menurut Bang Ali, ketika menjadi gubernur ia sudah merencanakan hal ini. ''Bahkan saya sudah siapkan dananya.
Tapi, tidak disetujui Pak Harto yang waktu itu akan membangun patung proklamator.'' Dulu di bagian depan rumah Bung Karno ini terdapat Tugu Proklamasi yang diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Gubernur Suwiryo saat Bung Karno masih di Yogyakarta. Tugu Proklamasi yang tingginya tidak lebih dari dua meter ini pernah menjadi lambang kota Jakarta. Pada 1957 menjelang pemberlakuan demokrasi terpimpin di tempat ini diselenggarakan musyawarah nasional untuk meredam gejolak perpecahan kala itu. Gejala perpecahan ini ditandai dengan keputusan Bung Hatta untuk meletakkan jabatannya (1956) justru setelah suksesnya pemilu pertama (1955) dan pemilu konstituante pada 1956. Munas diikuti Bung Karno, Bung Hatta, tokoh-tokoh masyarakat baik militer dan sipil. Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani piagam yang melambangkan kerukunan nasional. Kemudian keduanya ke Yogyakarta bersama dan berziarah ke makam Jenderal Besar Soedirman.
Sayangnya, semua itu termasuk janji-janji dan piagam yang ditandatangi dalam munas di Gedung Proklamasi jadi sia-sia belaka. Hingga kemudian oleh pers ide kerukuman nasional itu dipelesetkan jadi keruk nasi. Dan beberapa waktu kemudian meletuslah pemberontakan PRRI/Permesta yang merupakan lembaran hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kembali tentang pembongkaran rumah Bung Karno, dalam bukunya Kenang-kenangan sebagai Kepala Daerah, Henk Ngantung menulis, ''Ide pembangunan Gedung Pola memang baik. Tapi, dengan membongkar dan mengorbankan Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 saya rasa sayang dan aneh.'' Henk memaparkan kisahnya mendatangi Bung Karno ke istana untuk meminta agar gedung bersejarah itu tidak dibongkar. Ia mengajukan pertanyaan, ''Apakah keputusan Bung Karno tidak bisa ditinjau lagi?'' Sebelumnya tak sedikit juga yang menanyakan hal itu pada Bung Karno.
Bung Karno menjawab singkat, ''Apakah kamu juga ingin memamer celana kolornya (di dalam rumah itu).'' Tak ada sedikit pun rasa ragu dan sesal dari sikap dan kata-kata Bung Karno. Agar pembicaraan tidak terputus begitu saja Henk kembali membangun suasana. ''Apakah saya boleh buat duplikat dari gedung Pegangsaan Timur 56 sebelum dibongkar?'' tanya Henk. Bung Karno menyatakan setuju. ''Baru sekarang, sementara saya mengenangkan kembali pertemuan dengan Bung Karno tentang pembuatan duplikat bisa juga diartikan, membangun kembali Gedung Pegangsaan Timur 56 itu dalam keadaan maupun ukuran yang sama, kecuali di atas tanah dan tempat yang sama karena akan dibangun Gedung Pola.''
No comments:
Post a Comment