Adanya hukuman mati di Indonesia lebih dipertegas lagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan tidak bertentangan dengan UUD 45. Khususnya terhadap pelaku kejahatan narkotika, sebanyak 62 orang telah divonis hukuman mati. Belum lagi terhadap kasus terorisme dan berbagai kejahatan lainnya.
Sayangnya, banyak koruptor yang jelas-jelas menilep uang rakyat se-abrek-abrek tidak mendapat hukuman keras. Bahkan, seorang yang dituduh melakukan pembalakan hutan di Sumut divonis bebas oleh majelis hakim, sementara maling ayam dihukum berat. Hukuman mati bukan hal baru bagi Indonesia. Sejak masa kompeni empat abad lalu hukuman ini telah melayangkan banyak nyawa. Bahkan jauh sebelumnya, di masa-masa kerajaan, hukuman mati telah dilaksanakan.
Tapi, siapa yang mulai dihukum mati pada zaman VOC? Yang jelas gubernur jenderal JP Coen pernah memancung seorang calon perwira muda VOC bernama Pieter Contenhoef di alun-alun Balai Kota (Stadhuis), kini Museum Sejarah Jakarta.
Pasalnya, pemuda berusia 17 tahun itu tertangkap basah saat 'bermesrahan' dengan Sara, gadis berusia 13 tahun yang dititipkan di rumah Coen. Sara sendiri, didera dengan badan setengah telanjang di pintu masuk Balai Kota. Sara adalah puteri Jacquees Speex dari hasil kumpul kebonya dengan wanita Jepang.
Pada 29 Juli 1676 di tempat yang sama dilaksanakan hukuman terhadap empat orang pelaut karena membunuh orang Cina. Kemudian, hampir dalam waktu bersamaan enam budak belian dipatahkan tubuhnya dengan roda karena dituduh mencekik majikannya pada malam hari.
Pada masa kompeni hukuman bagi 'penjahat' memang berat. Pelaksanaan hukuman mati pada tiang gantungan, dengan pedang atau guillotine primitif, dilaksanakan di depan serambi Balai Kota pada hari-hari tertentu setiap bulan. Seorang Mestizo, putra seorang ibu pribumi dan ayah berkulit putih, digantung hanya karena mencuri. Sementara delapan pelaut dicap dengan lambang VOC yang panas dan membara, karena disersi dan pencurian.
Prajurit VOC wajib memiliki disiplin yang tinggi. Mereka yang melalaikan tugas tidak ampun lagi akan mendapatkan hukuman berat. Pernah dua tentara Belanda digantung karena selama dua malam meninggalkan pos mereka. Perzinahan, apalagi perbuatan serong, mendapat hukuman berat. Ini dialami oleh seorang wanita Belanda, istri seorang guru, dikalungi besi dan kemudian ditahan dalam penjara wanita selama 12 tahun karena beberapa kali melakukan perselingkuhan.
Kalau sekarang ini eksekusi dengan tembak sampai mati tidak akan dilakukan di muka umum, dulu saat guilletin masih berlaku, masyarakat diminta untuk mendatangi tempat eksekusi. Menyaksikan bagaimana kepala terpisah dari badan. Untung Suropati lolos dari eksekusi karena dibantu oleh Suzanna, puteri majikannya yang menaruh hati pada budak dari Bali ini. Malah Untung berhasil membunuh Kapten Tack, ketika hendak menumpas pemberontakan yang dipimpinnya.
Prasasti Kapten Tack dapat kita saksikan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I, Jakarta Pusat. Pieter Elberveld dan beberapa orang pengikutnya yang dituduh hendak melakukan pemberontakan menjelang malam tahun baru 1722 juga dieksekusi secara kejam. Badannya dirobek jadi empat bagian kemudian dilempar keluar kota untuk santapan burung. Kita juga dapat menjumpai prasastinya di Museum Prasasti.
Oey Tambahsia, yang dijuluki playboy Betawi, pada abad ke-19 juga tewas di tiang gantungan. Dia tidak pernah puas terhadap wanita, selalu mengejar wanita -- tidak peduli anak dan istri orang. Padahal, ia masih remaja. Termasuk melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita dan pesaing bisnisnya. Oey menaiki tiang gantungan dengan tenang dan wajah berseri dalam usia 31 tahun. Kepada sang algojo dia berkata: ''Dikantongku ada sejumlah uang. Ambillah asal kau tidak terlalu kejam menghukumku.''
Pada 1963, Bung Karno menandatangi hukuman mati terhadap pemimpin DI/TII Kartosuwirjo yang melakukan pemberontakan di Jawa Barat. Menurut keterangan, sebelum menandatanganinya, Bung Karno terlebih dulu shalat Magrib dan berdoa. Eksekusi itu kemudian dilakukan di Pulau Onrust (Kepulauan Seribu).
Penjahat kelas kakap yang dijatuhi hukuman mati pada masa Bung Karno adalah Kusni Kasdut. Dia merampok di tempat perhiasan emas di Museum Nasional, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ketika peristiwa kejahatan ini terjadi, Monas dengan menaranya yang menjulang sedang dibangun. Hingga ada yang secara iseng mengusulkan, penjahat kelas kakap sebaiknya dihukum dengan melemparnya dari menara Monas.
Dalam peristiwa Cikini usaha pembunuhan terhadap Bung Karno para pelakunya juga dituntut hukuman mati. Mereka adalah Saadon, Tasrif dan Yusuf Ismail. Saat ini, dalam kasus terorisme, tiga orang divonis mati, yakni Imam Samudera, Amrozi dan Ali Gufran. Sejauh ini mereka menolak untuk meminta grasi kepada presiden. Dalam kasus kejahatan narkotika, PN Tangerang perlu diacungi jempol. Merekalah yang paling getol menuntut hukuman mati terhadap bandar dan penjahat pengedar narkoba.
Dari 62 kejahatan narkoba yang di vonis mati, 21 orang divonis oleh PN Tangerang. Di antaranya enam orang wanita. Diantara mereka terdapat warganegara Nigeria, Thailand, Angola, Zimbabwe, Malawi, Pakistan dan Belanda.
(Alwi Shahab )
Monday, November 19, 2007
Ayo Kembali Bersepeda!!
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta kepada para bupati dan wali kota membuat jalur untuk sepeda sebagai alternatif transportasi para pekerja menuju kantornya. Selain bersih dan ramah lingkungan, bersepeda juga hemat secara ekonomi dan menyehatkan para pengayuhnya. Sepeda bukan barang baru di Indonesia. Bahkan sampai tahun 1950'an pernah mendominasi transportasi di Jakarta, di samping becak. Ke sekolah dan perguruan tinggi orang naik sepeda. Demikian juga para pekerja ke kantor-kantor pulang pergi bersepeda. Di tempat-tempat tersebut, termasuk bioskop dan tempat hiburan ada parkir khusus untuk sepeda. Maklum kala itu mobil dan motor yang sekarang jumlahnya seabrek-abrek belum banyak jumlahnya. Kalau pun ada milik orang-orang tajir (kaya).
Sepeda pertama muncul di Batavia -- sebutan Jakarta kala itu -- pada tahun 1890. Pada waktu itu sepeda merk 'Rover' yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Pedagang sepeda pertama seorang Belanda bernama Gruyter. Tokonya terletak di Gambir -- dekat Monas sekarang --. Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya. Pesertanya hanyalah orang Belanda dan Cina saja. Karena merekalah yang mampu membelinya. Pada tahun 1937 di Batavia tercatat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa.
Kalau saja rakyat Jakarta yang belasan juta banyak bersepeda saat ke kantor, polusi di Ibu Kota yangh sudah hampir kagak ketulungan bisa berkurang. Demikian pula dengan kemacetan lalu lintas akibat jumlah mobil dan motor yang meningkat drastis. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Fauzi menyatakan siap membuka jalur khusus bila jumlah yang bersepeda mencapai satu juta orang. Di masa kolonial Belanda membuka jalur khusus untuk sepeda.
Bersepeda, menurut Kenneth Cooper pencetus olah raga aerobik sangat menyehatkan. Menurut definisi yang dipopulerkan oleh Cooper, aerobik adalah setiap aktivitas fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah, termasuk dengan bersepeda. Sedangkan menurut Prof dr Dede Kusmana, ahli jantung dari RS Jantung Harapan Kita, dengan bersepeda secara teratur bukan hanya kebugaran jasmani yang meningkat, tapi kadar lemak darah yang jelek (kolesterol LDL, kolesterol total dan trigliserida) yang menyebabkan penyakit jantung akan menurun. Sebaliknya kadar lemak yang baik akan meningkat.
Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari tidak akan akan kena tilang. Dendanya lima gulden suatu jumlah bisa makan sederhana selama sebulan. Istilah 'damai' antara polisi dan pengendala tidak terdapat kala itu. Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor. Pemilik sepeda tiap tahun harus membayar pajak yang disebut peneng. Demikian juga delman atau sado. Warga Belanda bila bekerja ke Jakarta Kota juga naik sepeda disamping trem. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap) injak maju dengan rem kaki. Orang pribumi kaya menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi 'tik - tik - tik -.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Sepeda pertama muncul di Batavia -- sebutan Jakarta kala itu -- pada tahun 1890. Pada waktu itu sepeda merk 'Rover' yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Pedagang sepeda pertama seorang Belanda bernama Gruyter. Tokonya terletak di Gambir -- dekat Monas sekarang --. Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya. Pesertanya hanyalah orang Belanda dan Cina saja. Karena merekalah yang mampu membelinya. Pada tahun 1937 di Batavia tercatat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa.
Kalau saja rakyat Jakarta yang belasan juta banyak bersepeda saat ke kantor, polusi di Ibu Kota yangh sudah hampir kagak ketulungan bisa berkurang. Demikian pula dengan kemacetan lalu lintas akibat jumlah mobil dan motor yang meningkat drastis. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Fauzi menyatakan siap membuka jalur khusus bila jumlah yang bersepeda mencapai satu juta orang. Di masa kolonial Belanda membuka jalur khusus untuk sepeda.
Bersepeda, menurut Kenneth Cooper pencetus olah raga aerobik sangat menyehatkan. Menurut definisi yang dipopulerkan oleh Cooper, aerobik adalah setiap aktivitas fisik yang dapat memacu jantung dan peredaran darah, termasuk dengan bersepeda. Sedangkan menurut Prof dr Dede Kusmana, ahli jantung dari RS Jantung Harapan Kita, dengan bersepeda secara teratur bukan hanya kebugaran jasmani yang meningkat, tapi kadar lemak darah yang jelek (kolesterol LDL, kolesterol total dan trigliserida) yang menyebabkan penyakit jantung akan menurun. Sebaliknya kadar lemak yang baik akan meningkat.
Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari tidak akan akan kena tilang. Dendanya lima gulden suatu jumlah bisa makan sederhana selama sebulan. Istilah 'damai' antara polisi dan pengendala tidak terdapat kala itu. Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor. Pemilik sepeda tiap tahun harus membayar pajak yang disebut peneng. Demikian juga delman atau sado. Warga Belanda bila bekerja ke Jakarta Kota juga naik sepeda disamping trem. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap) injak maju dengan rem kaki. Orang pribumi kaya menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi 'tik - tik - tik -.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Pamor Arab Singapura
Ketika berada di Kampung Glam, Singapura, saya masih merasakan suasana Timur Tengah. Menjelajahi jalan-jalan berapit pohon palem di Bussorah Street, Arab Street dan Muscat Street, kita akan temukan toko-toko, kafe dan pusat jajanan, yang menjual berbagai produk, mulai dari produk khas Bali, batik pekalongan, karpet aneka warna, sampai nasi briyani dengan gulai kambingnya khas Timur Tengah.
Pada malam hari, di kawasan Kampung Glam -- termasuk Haji Lane -- kita dapat berjingkrak-jingkrak mengikuti irama zapin yang penggemarnya bukan hanya keturunan Arab, tapi juga India. Seperti juga yang sudah menjadi trend di rumah-rumah makan Timur Tengah di Jakarta, di Kampung Glam kita akan mendapati masyarakat yang tengah mengisap shisha (pipa rokok beraroma Timur Tengah).
Komunitas Muslim di Singapura, termasuk keturunan Arab, menikmati gaya hidup urban yang modern sambil tetap menjalankan kewajiban agama. Islam dianut secara luas oleh setidaknya 14 persen dari populasi total penduduk Singapura atau hampir setengah juta jiwa. Di Singapura terdapat 59 masjid -- banyak diantaranya berdiri di pusat perdagangan -- yang dirawat secara bersih, dengan tempat wudhu dan toilet seperti di hotel berbintang. Diantara masjid-masjid tersebut dibangun oleh keturunan Arab, yang menurut salah seorang di antara mereka jumlahnya di Singapura sekitar 10 ribu jiwa.
Seperti juga di Indonesia, keturunan Arab di Singapura mulai berdatangan pada abad 18 dan 19. Raffles yang membangun Temasek menjadi Singapura mewujudkan keinginannya untuk mendatangkan pedagang Arab agar turut berkecimpung di bidang bisnis. Seperti juga di Indonesia, mayoritas pionir Arab yang datang ke Singapura berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan).
Di Singapura banyak juga orang Arab Singapura yang berasal dari Indonesia, mengingat Raffles baru membangun kota singa ini pada tahun 1819 setelah berkuasa di Indonesia, terutama dari Jawa dan Sumatera. Diantara mereka yang terkenal adalah kelompok Aljunaid, Alsagoff dan Alkaff.
Ketiga klan itu merupakan pedagang kaya raya di Singapura, memiliki tanah luas dan perumahan di banyak tempat. Dalam usaha dagang mereka sampai hampir ke seluruh Nusantara. Imperium Alsagoff bahkan memiliki armada kapal sendiri (1871). Pada 1874, mereka telah memiliki empat buah kapal uap, untuk mengangkut 3.476 jamaah haji dari seluruh kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia.
Kala itu di Singapura ada banyak perwakilan syikh dari Mekkah. Malah beberapa haji yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena kehabisan biaya, oleh Alsagoff dipekerjakan di perkebunan mereka di Pulau Kukup. Alsagoff juga mempunyai rumah mewah yang diberi nama Constantinopel Estate. Karena, salah seorang keluarga Sagoff, Syed Ahmad, merupakan konsul kehormatan Turki di Singapura.
Pemerintah Hindia Belanda pernah memprotes dan menuduhnya mengeksploitir orang-orang Indonesia yang tidak punya uang setelah melakukan rukun Islam kelima dan mempekerjakan mereka sebagai kuli kontrak. Salah seorang keluarga Alsagoff, Syed Ibrahim, pernah menjadi konsul Arab Saudi di Singapura. Mereka membangun Madrasah Alsagoff, yang sampai kini masih berdiri di Singapura.
Salah satu keluarga Alsagoff lainnya, Syed Ahmad bin Muhammad, kawin dengan putri bangsawan Bugis yang kaya raya, Hajjah Fatimah. Mereka dikarunia putra bernama Muhammad yang dipanggil Nungcik. Di Kampung Glam terdapat masjid Hajjah Fatimah yang dibangun wanita keturunan Bugis itu. Pamor keturunan Arab ketika itu adalah rumah dan tanah di sepanjang Arab Street kepunyaan Syarifah Badriah, putri paling tua Syed Muhammad Alsagoff.
Di Singapura, imperium Alkaff juga mempunyai nama terhormat. Begitu juga di Jakarta. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, tepatnya di Jl Kwitang 21, di antara deretan toko buku Gunung Agung terdapat sebuah rumah besar yang sampai awal 1960-an masih ditempati keluarga Alkaff. Keluarga ini mempunyai puluhan, bahkan ratusan rumah sewa, di Kampung Kwitang. Di Singapura, Alkaff juga memiliki tanah dan rumah mewah, yang kini berubah fungsi menjadi tempat rekreasi, restoran dan pertamanan.
Pionir pertama keluarga Alkaff yang datang ke Singapura adalah Muhammad bin Abdurahman Alkaff dari Jawa. Setelah meninggal dunia, adiknya, Shaikh Alkaff, mengambil alih usahanya. Mereka bukan hanya memiliki tanah dan perumahan di Jakarta dan Singapura, tapi juga di Hadramaut. Tanah-tanah Alkaff yang luas di Singapura itu dibeli paksa oleh PM Lee Kuan Yew dengan harga sangat murah.
Sedangkan kediaman Alkaff yang mewah untuk ukuran kala itu diambil alih oleh ABRI pada saat terjadi konfrontasi RI dengan Malaysia. Karena, keluarga ini warga Singapura yang kala itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Seperti juga keluarga Aljunaid dan Alsagoff, keluarga Alkaff juga membangun Masjid Alkaff di Kampung Melayu.
Di samping madrasah Alsagoff, di Singapura juga terdapat Madrasah Aljunaid yang merupakan salah satu kebanggaan umat Islam di Singapura. Madrasah ini berdekatan dengan kawasan Muslim Kampung Glam. Lulusan madrasah ini banyak yang ditampung di Universitas Al-Azhar, Kairo. Madrasah ini memiliki 1.200 murid dari TK sampai SLTA. Di madrasah ini pemerintah Singapura yang sekuler mengizinkan para siswinya untuk berjilbab, dan prianya berkopiah hitam.
Setidaknya, Madrasah Aljunaid merupakan salah satu peninggalan ketika keturunan Arab masih menunjukkan pamornya di Singapura. Setelah perang dunia II (1942-1945) kejayaan bisnis dan ekonomi keturunan Arab dan juga India Muslim menurun di Singapura. Tapi tempat peribadatan dan pendidikan Islam masih tetap bertahan di tengah modernisasi Singapura yang sekuler.
(Alwi Shahab )
Pada malam hari, di kawasan Kampung Glam -- termasuk Haji Lane -- kita dapat berjingkrak-jingkrak mengikuti irama zapin yang penggemarnya bukan hanya keturunan Arab, tapi juga India. Seperti juga yang sudah menjadi trend di rumah-rumah makan Timur Tengah di Jakarta, di Kampung Glam kita akan mendapati masyarakat yang tengah mengisap shisha (pipa rokok beraroma Timur Tengah).
Komunitas Muslim di Singapura, termasuk keturunan Arab, menikmati gaya hidup urban yang modern sambil tetap menjalankan kewajiban agama. Islam dianut secara luas oleh setidaknya 14 persen dari populasi total penduduk Singapura atau hampir setengah juta jiwa. Di Singapura terdapat 59 masjid -- banyak diantaranya berdiri di pusat perdagangan -- yang dirawat secara bersih, dengan tempat wudhu dan toilet seperti di hotel berbintang. Diantara masjid-masjid tersebut dibangun oleh keturunan Arab, yang menurut salah seorang di antara mereka jumlahnya di Singapura sekitar 10 ribu jiwa.
Seperti juga di Indonesia, keturunan Arab di Singapura mulai berdatangan pada abad 18 dan 19. Raffles yang membangun Temasek menjadi Singapura mewujudkan keinginannya untuk mendatangkan pedagang Arab agar turut berkecimpung di bidang bisnis. Seperti juga di Indonesia, mayoritas pionir Arab yang datang ke Singapura berasal dari Hadramaut (Yaman Selatan).
Di Singapura banyak juga orang Arab Singapura yang berasal dari Indonesia, mengingat Raffles baru membangun kota singa ini pada tahun 1819 setelah berkuasa di Indonesia, terutama dari Jawa dan Sumatera. Diantara mereka yang terkenal adalah kelompok Aljunaid, Alsagoff dan Alkaff.
Ketiga klan itu merupakan pedagang kaya raya di Singapura, memiliki tanah luas dan perumahan di banyak tempat. Dalam usaha dagang mereka sampai hampir ke seluruh Nusantara. Imperium Alsagoff bahkan memiliki armada kapal sendiri (1871). Pada 1874, mereka telah memiliki empat buah kapal uap, untuk mengangkut 3.476 jamaah haji dari seluruh kepulauan Indonesia dan semenanjung Malaysia.
Kala itu di Singapura ada banyak perwakilan syikh dari Mekkah. Malah beberapa haji yang tidak bisa pulang ke Indonesia karena kehabisan biaya, oleh Alsagoff dipekerjakan di perkebunan mereka di Pulau Kukup. Alsagoff juga mempunyai rumah mewah yang diberi nama Constantinopel Estate. Karena, salah seorang keluarga Sagoff, Syed Ahmad, merupakan konsul kehormatan Turki di Singapura.
Pemerintah Hindia Belanda pernah memprotes dan menuduhnya mengeksploitir orang-orang Indonesia yang tidak punya uang setelah melakukan rukun Islam kelima dan mempekerjakan mereka sebagai kuli kontrak. Salah seorang keluarga Alsagoff, Syed Ibrahim, pernah menjadi konsul Arab Saudi di Singapura. Mereka membangun Madrasah Alsagoff, yang sampai kini masih berdiri di Singapura.
Salah satu keluarga Alsagoff lainnya, Syed Ahmad bin Muhammad, kawin dengan putri bangsawan Bugis yang kaya raya, Hajjah Fatimah. Mereka dikarunia putra bernama Muhammad yang dipanggil Nungcik. Di Kampung Glam terdapat masjid Hajjah Fatimah yang dibangun wanita keturunan Bugis itu. Pamor keturunan Arab ketika itu adalah rumah dan tanah di sepanjang Arab Street kepunyaan Syarifah Badriah, putri paling tua Syed Muhammad Alsagoff.
Di Singapura, imperium Alkaff juga mempunyai nama terhormat. Begitu juga di Jakarta. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, tepatnya di Jl Kwitang 21, di antara deretan toko buku Gunung Agung terdapat sebuah rumah besar yang sampai awal 1960-an masih ditempati keluarga Alkaff. Keluarga ini mempunyai puluhan, bahkan ratusan rumah sewa, di Kampung Kwitang. Di Singapura, Alkaff juga memiliki tanah dan rumah mewah, yang kini berubah fungsi menjadi tempat rekreasi, restoran dan pertamanan.
Pionir pertama keluarga Alkaff yang datang ke Singapura adalah Muhammad bin Abdurahman Alkaff dari Jawa. Setelah meninggal dunia, adiknya, Shaikh Alkaff, mengambil alih usahanya. Mereka bukan hanya memiliki tanah dan perumahan di Jakarta dan Singapura, tapi juga di Hadramaut. Tanah-tanah Alkaff yang luas di Singapura itu dibeli paksa oleh PM Lee Kuan Yew dengan harga sangat murah.
Sedangkan kediaman Alkaff yang mewah untuk ukuran kala itu diambil alih oleh ABRI pada saat terjadi konfrontasi RI dengan Malaysia. Karena, keluarga ini warga Singapura yang kala itu masih menjadi bagian dari Malaysia. Seperti juga keluarga Aljunaid dan Alsagoff, keluarga Alkaff juga membangun Masjid Alkaff di Kampung Melayu.
Di samping madrasah Alsagoff, di Singapura juga terdapat Madrasah Aljunaid yang merupakan salah satu kebanggaan umat Islam di Singapura. Madrasah ini berdekatan dengan kawasan Muslim Kampung Glam. Lulusan madrasah ini banyak yang ditampung di Universitas Al-Azhar, Kairo. Madrasah ini memiliki 1.200 murid dari TK sampai SLTA. Di madrasah ini pemerintah Singapura yang sekuler mengizinkan para siswinya untuk berjilbab, dan prianya berkopiah hitam.
Setidaknya, Madrasah Aljunaid merupakan salah satu peninggalan ketika keturunan Arab masih menunjukkan pamornya di Singapura. Setelah perang dunia II (1942-1945) kejayaan bisnis dan ekonomi keturunan Arab dan juga India Muslim menurun di Singapura. Tapi tempat peribadatan dan pendidikan Islam masih tetap bertahan di tengah modernisasi Singapura yang sekuler.
(Alwi Shahab )
Masjid Tua Dikepung Pusat Perbelanjaan
Masjid Al-Makmur di Jl KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, merupakan salah satu dari belasan masjid tua yang masih tersisa di Jakarta. Masjid ini dibangun pada tahun 1704 oleh para keturunan bangsawan Kerajaan Islam Mataram pimpinan KH Muhammad Asyuro.
Kini masjid yang berusia lebih tiga abad itu terkepung oleh hingar bingar pusat perdagangan Tanah Abang, salah satu pusat perdagangan terbesar di Jakarta. Di kiri kanan masjid jami ini sudah tidak ditemukan lagi perumahan penduduk karena hampir seluruh daerah sekitarnya menjadi pusat kegiatan bisnis.
Sejarah masjid yang cukup tersohor di Jakarta itu terjadi ketika Sultan Agung dua kali menyerang kota Batavia (1618 dan 1619). Sekalipun mengalami kegagalan tapi para bangsawan Mataram merupakan juru dakwah yang handal. Di antara mereka kemudian menetap di Jakarta menjadi da'i dan membangun masjid sejumlah masjid, yang masih kita dapati di beberapa tempat di Ibu Kota.
Masjid Al-Makmur seperti terlihat dalam gambar mula-mula hanya sebuah mushola berukuran 12x8 meter. Pada 1915 diperluas oleh Habib Abu Bakar Alhabsyi, salah seorang pendiri rumah yatim piatu Daarul Aitam di jalan yang sama. Luas masjid menjadi 1.142 m2 ketika Habib Abubakar memberikan tanah sebagai wakaf. Tahun 1932 masjid diperluas lagi atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib. Kemudian pada tahun 1953 diperluas hingga luasnya menjadi 2.175 m2.
Sayangnya, di depan masjid yang sangat bersejarah ini, di depannya tampak kumuh. Terutama oleh para pedagang kaki lima yang mangkal di depan masjid dan tumpah ruah ke jalan. Sementara mobil dan motor menjadikannya sebagai tempat parkir saat mereka hendak berbelanja ke pusat-pusat perdagangan Tanah Abang.
Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak malati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara pedagang kaki lima kadang-kadang dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lenbgkap sudah kesendirian Masjid Al-Makmur yang makin terus dikepung baik oleh pertokoan, pusat bisnis, dan pedagang eceran yang makin banyak mencari doku di Tanah Abang.
Tapi ketika masih ada kuburan wakaf, kini jadi rumah susun Tanah Abang, warga keturunan Arab yang meninggal dunia sebelum dimakamkan terlebih dulu jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Makmur. Para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang juga menjadikan masjid tua ini sebagai tempat shalat mereka terutama shalat dzuhur dan ashar.
Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang, mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI kini sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah telah menjadi tempat pertokoan, ekspedisi, dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah yang berdekatan dengan Proyek Pasar Tanah Abang termasuk termahal di Jakarta. Seperti ketika pembangunan jembatan Metro Tanah Abang, rumah-rumah yang tergusur mendapat ganti rugi Rp 10 juta per m2. Menurut sejumlah warga, harga tanah milik mereka saat ini harganya Rp 20 juta per meter persegi.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Kini masjid yang berusia lebih tiga abad itu terkepung oleh hingar bingar pusat perdagangan Tanah Abang, salah satu pusat perdagangan terbesar di Jakarta. Di kiri kanan masjid jami ini sudah tidak ditemukan lagi perumahan penduduk karena hampir seluruh daerah sekitarnya menjadi pusat kegiatan bisnis.
Sejarah masjid yang cukup tersohor di Jakarta itu terjadi ketika Sultan Agung dua kali menyerang kota Batavia (1618 dan 1619). Sekalipun mengalami kegagalan tapi para bangsawan Mataram merupakan juru dakwah yang handal. Di antara mereka kemudian menetap di Jakarta menjadi da'i dan membangun masjid sejumlah masjid, yang masih kita dapati di beberapa tempat di Ibu Kota.
Masjid Al-Makmur seperti terlihat dalam gambar mula-mula hanya sebuah mushola berukuran 12x8 meter. Pada 1915 diperluas oleh Habib Abu Bakar Alhabsyi, salah seorang pendiri rumah yatim piatu Daarul Aitam di jalan yang sama. Luas masjid menjadi 1.142 m2 ketika Habib Abubakar memberikan tanah sebagai wakaf. Tahun 1932 masjid diperluas lagi atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib. Kemudian pada tahun 1953 diperluas hingga luasnya menjadi 2.175 m2.
Sayangnya, di depan masjid yang sangat bersejarah ini, di depannya tampak kumuh. Terutama oleh para pedagang kaki lima yang mangkal di depan masjid dan tumpah ruah ke jalan. Sementara mobil dan motor menjadikannya sebagai tempat parkir saat mereka hendak berbelanja ke pusat-pusat perdagangan Tanah Abang.
Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al-Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak malati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara pedagang kaki lima kadang-kadang dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lenbgkap sudah kesendirian Masjid Al-Makmur yang makin terus dikepung baik oleh pertokoan, pusat bisnis, dan pedagang eceran yang makin banyak mencari doku di Tanah Abang.
Tapi ketika masih ada kuburan wakaf, kini jadi rumah susun Tanah Abang, warga keturunan Arab yang meninggal dunia sebelum dimakamkan terlebih dulu jenazahnya dishalatkan di Masjid Al-Makmur. Para pedagang dan pembeli di Pasar Tanah Abang juga menjadikan masjid tua ini sebagai tempat shalat mereka terutama shalat dzuhur dan ashar.
Makin berkembangnya bisnis di Tanah Abang, mengakibatkan Jalan KH Mas Mansyur dan sekitarnya seperti Kebon Kacang I sampai Kebon Kacang VI kini sudah berubah fungsi. Sebagian besar rumah telah menjadi tempat pertokoan, ekspedisi, dan gudang-gudang. Tidak heran kalau harga tanah yang berdekatan dengan Proyek Pasar Tanah Abang termasuk termahal di Jakarta. Seperti ketika pembangunan jembatan Metro Tanah Abang, rumah-rumah yang tergusur mendapat ganti rugi Rp 10 juta per m2. Menurut sejumlah warga, harga tanah milik mereka saat ini harganya Rp 20 juta per meter persegi.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Kisah-kisah dari Condet
Belum lama berselang, Gubernur DKI Fauzi Bowo telah meresmikan pemancangan tiang pertama pembangunan jembatan Kali Ciliwung yang menghungkan Pasar Minggu dan Condet.
Sejak jembatan itu jebol karena dilanda banjir Pebruari lalu, warga Condet yang ingin ke Pasar Minggu mengalami kesulitan. Mereka harus melalui jembatan darurat dari kayu, yang tidak bisa lagi dilalui kendaraan bermotor. Akibatnya, ratusan tukang ojek yang mangkal di kedua kawasan di Jakarta Timur itu berkurang penghasilannya.
Condet, yang gagal menjadi cagar budaya Betawi, namanya berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung yaitu Ci Ondet. Ondet, atau ondeh, atau ondeh-ondeh, adalah nama pohon semacam buni, yang buahnya biasa dimakan.
Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeek, waktu masih menjadi direktur jenderal VOC (sebelum menjadi gubernur jenderal). Riebeek dan rombongannya, pada 24 September 1709, berjalan melalui anak sungai Ci Ondet. Kala itu pusat kegiatan VOC berada di Pasar Ikan, Jakarta. Dari sini sejauh kurang lebih 15 km ia dan rombongan menyusuri sungai.
Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya -- salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Sebelum dibuang oleh Belanda pada April 1716, pangeran menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.
Keterangan ketiga, adalah resolusi pimpinan Kompeni di Batavia tertanggal 8 Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah di Condet seluas 816 morgen (52.530 ha), seharga 800 ringgit kepada Frederik Willem Freijer. Kemudian kawasan Condet menjadi bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur), atau Groeneveld.
Kawasan Condet yang gagal dijadikan cagar budaya Betawi -- meliputi tiga kelurahan, yaitu Batuampar, Kampung Tengah (dulu disebut Kampung Gedung) dan Balekambang. Ada legenda yang melekat pada nama Batuampar, sebagaimana diceritakan para orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri bernama Pangeran Geger dan Nyai Polong, yang memiliki beberapa orang anak. Salah seorang anak gadisnya diberi nama Siti Maemunah, yang kesohor ke seantero tempat karena kecantikannya. Suatu ketika Maemunah dilamar oleh Pangeran Tenggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk putranya, Pangeran Astawana.
Lamaran itu diterima dengan syarat asal dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang-senang di atas empang, dekat kali Ciliwung yang harus selesai dalam waktu semalam. Permintaan itu disanggupi, dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang pinggir Ciliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara.
Tempat jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batuampar. Sedangkan bale (balai) peristirahatan yang seolah-olah mengambang di atas air kolom itu diberi nama Balekambang.
Kelurahan Kampung Gedong (kini Kampung Tengah) dinamakan demikian karena di sana berdiri sebuah gedung peristirahatan (landhuis) tuan tanah, pemilik tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur). Gedung yang terletak di depan Rindam Jaya (dahulu halamannya sangat luas) itu oleh pemiliknya diberi nama Groeneveld, yang berarti Lapangan Hijau. Dari gedung ini mulai dari Tanjung Priok (jalan menuju Depok) sampai ke perempatan Pasar Rebo, Jalan Raya Bogor, terbentang jalan yang dulu kanan kirinya ditanami pohon asam.
Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde, asal Amersfoort (Belanda), yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan, berkat kedudukannya yang kini dikenal dengan istilah basah. Setelah peristiwa pemberontakan Cina (Oktober 1740), dia berhasil menguasai tanah-tanah kapiten Cina Ni Hu-kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis (Jatinegara) sebelah timur kali Ciliwung.
Setelah ditambah tanah-tanah partikulir lainnya yang dibelinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tandjong Oost. Tanjung Timur mengalami perkembangan pesat saat dikuasai Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan.
Villa Tanjung Timur kini sebagian dijadikan asrama Polri dan 1972 sebagian lagi terbakar merupakan tempat singgah para petinggi VOC ketika mereka melakukan perjalanan ke Buitenzorg (Bogor) dengan menggunakan kereta kuda.
Di villa itu pada 1749 berlangsung pertemuan akrab antara gubernur jenderal Baron von Imhoff dan Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah pada 1720 menjadi istri pangeran mahkota Banten dan berpengarah besar pada suaminya saat ia menjadi sultan (1733).
Menurut sejarawan Adolf Heyken, akibat ulah Syarifah para pangeran merasa tidak aman dan melarikan diri ke Batavia. Syarifah Fatimah digambarkan sebagai wanita, yang selain cantik, juga cerdas dan terdidik, hingga dapat mempengaruhi suaminya, Sultan Zainul Arifin.
Pertemuannya dengan von Imhoff di Tanjung Timur memancing kemarahan rakyat Banten hingga timbul pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750) yang bermarkas di Gunung Munara, dekat Ciseeng, Parung, Bogor. Syarifah terpaksa menyingkir dari Banten sewaktu teman dekatnya, von Imhoff, meninggal (1750). Setahun kemudian (1751) Syarifah meninggal saat menjalani pembuangan di Pulau Edam (Kepulauan Seribu).
(Alwi Shahab )
Sejak jembatan itu jebol karena dilanda banjir Pebruari lalu, warga Condet yang ingin ke Pasar Minggu mengalami kesulitan. Mereka harus melalui jembatan darurat dari kayu, yang tidak bisa lagi dilalui kendaraan bermotor. Akibatnya, ratusan tukang ojek yang mangkal di kedua kawasan di Jakarta Timur itu berkurang penghasilannya.
Condet, yang gagal menjadi cagar budaya Betawi, namanya berasal dari nama sebuah anak sungai Ci Liwung yaitu Ci Ondet. Ondet, atau ondeh, atau ondeh-ondeh, adalah nama pohon semacam buni, yang buahnya biasa dimakan.
Data tertulis pertama yang menyinggung Condet adalah catatan perjalanan Abraham van Riebeek, waktu masih menjadi direktur jenderal VOC (sebelum menjadi gubernur jenderal). Riebeek dan rombongannya, pada 24 September 1709, berjalan melalui anak sungai Ci Ondet. Kala itu pusat kegiatan VOC berada di Pasar Ikan, Jakarta. Dari sini sejauh kurang lebih 15 km ia dan rombongan menyusuri sungai.
Keterangan kedua terdapat dalam surat wasiat Pangeran Purbaya -- salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Sebelum dibuang oleh Belanda pada April 1716, pangeran menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.
Keterangan ketiga, adalah resolusi pimpinan Kompeni di Batavia tertanggal 8 Juni 1753, yaitu keputusan tentang penjualan tanah di Condet seluas 816 morgen (52.530 ha), seharga 800 ringgit kepada Frederik Willem Freijer. Kemudian kawasan Condet menjadi bagian dari tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur), atau Groeneveld.
Kawasan Condet yang gagal dijadikan cagar budaya Betawi -- meliputi tiga kelurahan, yaitu Batuampar, Kampung Tengah (dulu disebut Kampung Gedung) dan Balekambang. Ada legenda yang melekat pada nama Batuampar, sebagaimana diceritakan para orang tua di Condet kepada Ran Ramelan, penulis buku kecil berjudul Condet.
Pada jaman dulu ada sepasang suami istri bernama Pangeran Geger dan Nyai Polong, yang memiliki beberapa orang anak. Salah seorang anak gadisnya diberi nama Siti Maemunah, yang kesohor ke seantero tempat karena kecantikannya. Suatu ketika Maemunah dilamar oleh Pangeran Tenggara asal Makasar yang tinggal di sebelah timur Condet, untuk putranya, Pangeran Astawana.
Lamaran itu diterima dengan syarat asal dibangunkan sebuah rumah dan sebuah tempat bersenang-senang di atas empang, dekat kali Ciliwung yang harus selesai dalam waktu semalam. Permintaan itu disanggupi, dan terbukti, menurut sahibulhikayat, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang pinggir Ciliwung, sekaligus dihubungkan dengan jalan yang diampari batu, mulai dari tempat kediaman keluarga Pangeran Tenggara.
Tempat jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batuampar. Sedangkan bale (balai) peristirahatan yang seolah-olah mengambang di atas air kolom itu diberi nama Balekambang.
Kelurahan Kampung Gedong (kini Kampung Tengah) dinamakan demikian karena di sana berdiri sebuah gedung peristirahatan (landhuis) tuan tanah, pemilik tanah partikulir Tandjoeng Oost (Tanjung Timur). Gedung yang terletak di depan Rindam Jaya (dahulu halamannya sangat luas) itu oleh pemiliknya diberi nama Groeneveld, yang berarti Lapangan Hijau. Dari gedung ini mulai dari Tanjung Priok (jalan menuju Depok) sampai ke perempatan Pasar Rebo, Jalan Raya Bogor, terbentang jalan yang dulu kanan kirinya ditanami pohon asam.
Tuan tanah pertama dari kawasan itu adalah Pieter van de Velde, asal Amersfoort (Belanda), yang pada pertengahan abad ke-18 berhasil memupuk kekayaan, berkat kedudukannya yang kini dikenal dengan istilah basah. Setelah peristiwa pemberontakan Cina (Oktober 1740), dia berhasil menguasai tanah-tanah kapiten Cina Ni Hu-kong, yang terletak di selatan Meester Cornelis (Jatinegara) sebelah timur kali Ciliwung.
Setelah ditambah tanah-tanah partikulir lainnya yang dibelinya sekitar tahun 1750, maka terbentuklah Tanah Partikelir Tandjong Oost. Tanjung Timur mengalami perkembangan pesat saat dikuasai Daniel Cornelius Helvetius, yang berusaha menggalakkan pertanian dan peternakan.
Villa Tanjung Timur kini sebagian dijadikan asrama Polri dan 1972 sebagian lagi terbakar merupakan tempat singgah para petinggi VOC ketika mereka melakukan perjalanan ke Buitenzorg (Bogor) dengan menggunakan kereta kuda.
Di villa itu pada 1749 berlangsung pertemuan akrab antara gubernur jenderal Baron von Imhoff dan Syarifah Fatimah, wali sultan Banten. Syarifah pada 1720 menjadi istri pangeran mahkota Banten dan berpengarah besar pada suaminya saat ia menjadi sultan (1733).
Menurut sejarawan Adolf Heyken, akibat ulah Syarifah para pangeran merasa tidak aman dan melarikan diri ke Batavia. Syarifah Fatimah digambarkan sebagai wanita, yang selain cantik, juga cerdas dan terdidik, hingga dapat mempengaruhi suaminya, Sultan Zainul Arifin.
Pertemuannya dengan von Imhoff di Tanjung Timur memancing kemarahan rakyat Banten hingga timbul pemberontakan yang dipimpin Kiai Tapa (1750) yang bermarkas di Gunung Munara, dekat Ciseeng, Parung, Bogor. Syarifah terpaksa menyingkir dari Banten sewaktu teman dekatnya, von Imhoff, meninggal (1750). Setahun kemudian (1751) Syarifah meninggal saat menjalani pembuangan di Pulau Edam (Kepulauan Seribu).
(Alwi Shahab )
Gas Merubah Wajah Batavia
Pemerintah saat ini tengah menggalakkan konvensi minyak tanah ke gas (elpiji) di Jakarta yang rencananya harus terwujud paling lambat akhir tahun ini. Proyek Pemerintah Provinsi DKI dan PT Pertamina (Persero), pemakaian gas menggantikan minyak tanah dapat menghemat anggaran sekitar 40 triliun rupiah per tahun. Meski sebelumnya banyak mendapat reaksi kini sudah semakin banyak rumah tangga yang menggunakan gas. Terlihat dari banyaknya tabung gas yang dijual di toko dan warung di kampung-kampung.
Dalam foto yang diabadikan oleh fotografer Woodbury & Page pada 1872, merupakan perusahaan gas kala itu yang dikelola oleh The Nederlandsch Indische Maatschappij berlokasi di Jl Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di Jalan Gajah Madah -- dekat Krukut -- Jakarta Barat. Pembangunan pabrik gas dimulai ketika Nopember 1859 pemerintah Hindia Belanda memberikan kewenangan pada perusahaan L.J. Emhoven & Co dari Den Haag, Belanda untuk membangun penerangan gas di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), yang ketika itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Pembangunannya selesai pada 1861 dan penyaluran gas dilakukan oleh perusahaan milik Belanda: Nederlands Indies Gas Company, yang sampai kini masih berlokasi di Gang Ketapang. Sebelum energi listrik dipakai secara luas, pada waktu itu gas buatan telah banyak dimanfaatkan sebagai proses energi di tempat-tempat umum. Energi gas mulai dioperasikan pertama kali di Batavia di kediaman gubernur jenderal (kini Istana Negara) di Risjwijk (kini Jalan Veteran). Istana Negara semula merupakan perumahan pribadi milik J.A. van Braan. Kediamannya ini sangat luas hingga ke Medan Merdeka Utara (kini Istana Merdeka). Lalu dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan kediaman gubernur jenderal.
Beroperasi gas ke rumah-rumah, perkantoran dan tempat rekreasi membuat gairah kehidupan masyarakat Batavia, terutama kehidupan di malam hari. Maka bermunculanlah tempat-tempat hiburan malam di Batavia, sementara dengan munculnya kapal uap dan kemudian pembukaan Terusan Suez, makin banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Batavia.
Pelayanan gas juga ikut mendongkrak industri yang makin banyak bermunculan. Orang-orang Eropa ini banyak membangun rumah semacam bungalow dengan pekarangan luas. Gaya hidup orang Eropa digambarkan tak berbeda dengan kehidupan Eropa. Mereka menciptakan gaya hidup rekreasi yang serupa dengan di tempat asalnya.
Kembali kepada pengelolaan inudstri gas, bersamaan dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 1958, pemerintah mengambil alih usaha tersebut yang telah berlangsung selama seabad. Sampai tahun 1960'an meskipun energi listrik sudah lama nongol, tapi masih banyak rumah-rumah yang menggunakan gas. Di Jakarta pemakaian minyak tanah oleh warga satu juta liter. Hingga subsidi yang dikeluarkan untuk pemakaian minyak tanah Rp 4 triliun per tahun atau setara Rp 4 ribu per liter.
( Alwi Shahab, wartawan Republika )
Dalam foto yang diabadikan oleh fotografer Woodbury & Page pada 1872, merupakan perusahaan gas kala itu yang dikelola oleh The Nederlandsch Indische Maatschappij berlokasi di Jl Ketapang (kini Jl KH Zainul Arifin) di Jalan Gajah Madah -- dekat Krukut -- Jakarta Barat. Pembangunan pabrik gas dimulai ketika Nopember 1859 pemerintah Hindia Belanda memberikan kewenangan pada perusahaan L.J. Emhoven & Co dari Den Haag, Belanda untuk membangun penerangan gas di Batavia dan Meester Cornelis (Jatinegara), yang ketika itu masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
Pembangunannya selesai pada 1861 dan penyaluran gas dilakukan oleh perusahaan milik Belanda: Nederlands Indies Gas Company, yang sampai kini masih berlokasi di Gang Ketapang. Sebelum energi listrik dipakai secara luas, pada waktu itu gas buatan telah banyak dimanfaatkan sebagai proses energi di tempat-tempat umum. Energi gas mulai dioperasikan pertama kali di Batavia di kediaman gubernur jenderal (kini Istana Negara) di Risjwijk (kini Jalan Veteran). Istana Negara semula merupakan perumahan pribadi milik J.A. van Braan. Kediamannya ini sangat luas hingga ke Medan Merdeka Utara (kini Istana Merdeka). Lalu dibeli oleh pemerintah untuk dijadikan kediaman gubernur jenderal.
Beroperasi gas ke rumah-rumah, perkantoran dan tempat rekreasi membuat gairah kehidupan masyarakat Batavia, terutama kehidupan di malam hari. Maka bermunculanlah tempat-tempat hiburan malam di Batavia, sementara dengan munculnya kapal uap dan kemudian pembukaan Terusan Suez, makin banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Batavia.
Pelayanan gas juga ikut mendongkrak industri yang makin banyak bermunculan. Orang-orang Eropa ini banyak membangun rumah semacam bungalow dengan pekarangan luas. Gaya hidup orang Eropa digambarkan tak berbeda dengan kehidupan Eropa. Mereka menciptakan gaya hidup rekreasi yang serupa dengan di tempat asalnya.
Kembali kepada pengelolaan inudstri gas, bersamaan dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda pada 1958, pemerintah mengambil alih usaha tersebut yang telah berlangsung selama seabad. Sampai tahun 1960'an meskipun energi listrik sudah lama nongol, tapi masih banyak rumah-rumah yang menggunakan gas. Di Jakarta pemakaian minyak tanah oleh warga satu juta liter. Hingga subsidi yang dikeluarkan untuk pemakaian minyak tanah Rp 4 triliun per tahun atau setara Rp 4 ribu per liter.
( Alwi Shahab, wartawan Republika )
Thursday, November 01, 2007
Siti Rahmah... Siti Rahmah
"Siti Rahmah" adalah panggilan yang paling banyak diteriakkan para pedagang di Tanah Suci, baik di Makkah maupun Madinah, terhadap para wanita Indonesia, baik saat haji maupun umroh. ''Siti Rahmah... Siti Rahmah, harga murah, homsah (lima) real,'' kata mereka untuk menarik para pembeli wanita.
Sebutan "Siti Rahmah" untuk wanita Indonesia saat beribadah ke Tanah Suci bukan hanya muncul akhir-akhir ini. Teriakan semacam itu sudah muncul sejak lebih seabad lalu. Sejak abad ke-18 orang Betawi telah banyak yang menunaikan ibadah haji. Meskipun untuk menunaikan rukun Islam kelima itu mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal layar.
Setelah menjalankan ibadah haji, ada yang pulang dan ada yang bermukim di sana. Mereka yang bermukim menggunakan al Betawi sebagai nama keluarga. Memang merupakan kebiasaan para pemukim dari Nusantara di Makkah menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Syekh Abdul Somad al Falimbangi dari Palembang. Syekh Arsyad Al-Banjari dari Banjarmasin, Syekh Basuni Imam al Sambasi dari Sambas (Kalimantan Barat).
Pada awal abad ke-19 seorang ulama Betawi bernama Syekh Djunaid bermukim di Makkah. Ia pun memakai nama Syekh Djunaid al-Betawi. Ia amat termashur, karena dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Dia juga mengajar agama Islam di serambi masjid tersebut. Muridnya bukan hanya dari Nusantara, tapi juga umat Islam dari berbagai belahan dunia. Konon, Syekh Djunaid yang telah kesohor di Negeri Hijaz itu mempunyai istri bernama Siti Rahmah.
Diduga, itulah asal mulanya, sehingga sejak ratusan tahun lalu wanita Indonesia yang beribadah ke Tanah Suci dipanggil ''Siti Rahmah''. Panggilan ini populer hingga sekarang, meski zaman telah berubah dan para keluarga Betawi menamakan putera-puterinya dengan nama modern.
Syekh Djunaid mulai bermukim di Mekah sejak 1834. Salah seorang puterinya kawin dengan Imam Mudjitaba yang diberi gelar waliullah oleh masyarakat Islam di Tanah Suci. Orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun. Di antara muridnya adalah Guru Mansyur dari Jembatan Lima (Jakarta Barat) dan Guru Mugni dari Kuningan, dekat perumahan Pertamina. Guru Mujitaba kembali ke Betawi pada tahun 1904.
Tokoh satu angkatan dengan Syekh Djunaid adalah para mukiman Indonesia yang bukan saja terkenal di dalam negeri tapi juga di manca negara, seperti Syekh Abdul Somad al-Falimbangi. Di Makkah ia berguru pada Syekh Mohammad Saman. Ia memiliki keahlian dalam bidang tauhid dan tasawuf. Di antara banyak tulisan hasil karyanya adalah Hidayat al Salihin. Dalam salah satu bukunya ia menganjurkan agar kaum Muslim Indonesia berjihad di jalan Allah melawan penjajah Belanda. Anjuran itu tertuang dalam dua suratnya, masing-masing untuk Hamengkubuono I dan Pangeran Singasari.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) juga seorang mukiman di Arab Saudi yang terkenal, karena mengarang buku fiqih Perukunan Melayu yang menjadi pegangan selama 200 tahun. Ia seorang tokoh ilmu fiqih, tasauf dan falak. Selama di Makkah dia belajar pada Syekh Abdurahman al-Misri, seorang ulama Mesir yang mengajar di Jakarta. Al-Misri mengawini salah satu putera Syekh Djunaid al-Betawi. Dia meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Petamburan, Jakarta Barat.
Tokoh lainnya, Syekh Ahmad Ripangi (1786-1859), lahir di Kendal, Jawa Tengah, dan bermukim di Makkah selama delapan tahun. Setelah kembali ke Indonesia dia tidak mau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sering merugikan umat Islam. Akibatnya, gubernur jenderal Hindia Belanda, tanggal 9 Mei 1859, mengasingkan dam memenjarakannya di Ambon. Dia dianggap membakar semangat nasional dengan azas Islam yang membahayakan pemerintah kolonial.
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916) juga seorang mukimin terkenal di Negeri Hijaz. Dia bermukim di Makkah selama 10 tahun dan merangkap sebagai guru besar di Masjidil Haram. Dia mengarang banyak buku. Di antara muridnya adalah KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), dan H Mahmud Ismail Djambek.
Mukimin Indonesia yang paling kesohor di dunia Islam adalah Syekh Nawawi al-Banteni. Ulama besar, penulis dan pendidik dari Banten, ini masih keturunan Maulana Hasanudin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu banyaknya karya beliau di dunia Islam, hingga pemerintah Arab Saudi, Mesir dan Suriah, memberikan gelar kehormatan kepadanya Sayid Ulama Al-Hedjas, Mufti, dan Fakih.
Syeh Nawawi pergi ke Makkah dalam usia 15 tahun dan bermukim selama tiga tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram. Seperti Syekh Ahmad Nahrawi, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Di Madinah ia belajar pada Syekh Muhamad Khatib al-Hambali. Setelah tiga tahun berada di Tanara, Banten, ia kembali ke Tanah Suci dan mengajar di Masjidil Haram.
Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hapal Alquran pada usia 18 tahun. Sebagai seorang syekh ia menguasai seluruh cabang ilmu agama, seperti tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Menurut suatu sumber, ia mengarang sekitar 115 buah kitab, sedangkan sumber lain menyebut 99 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu.
Jadi, sejak ratusan tahun lalu telah banyak mukimin Indonesia di Tanah Suci yang menjadi tokoh agama, tapi tidak kurang banyaknya yang kini berperan dalam bidang pemerintahan di Arab Saudi.
(Alwi Shahab )
Sebutan "Siti Rahmah" untuk wanita Indonesia saat beribadah ke Tanah Suci bukan hanya muncul akhir-akhir ini. Teriakan semacam itu sudah muncul sejak lebih seabad lalu. Sejak abad ke-18 orang Betawi telah banyak yang menunaikan ibadah haji. Meskipun untuk menunaikan rukun Islam kelima itu mereka harus menempuh perjalanan berbulan-bulan dengan kapal layar.
Setelah menjalankan ibadah haji, ada yang pulang dan ada yang bermukim di sana. Mereka yang bermukim menggunakan al Betawi sebagai nama keluarga. Memang merupakan kebiasaan para pemukim dari Nusantara di Makkah menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Syekh Abdul Somad al Falimbangi dari Palembang. Syekh Arsyad Al-Banjari dari Banjarmasin, Syekh Basuni Imam al Sambasi dari Sambas (Kalimantan Barat).
Pada awal abad ke-19 seorang ulama Betawi bernama Syekh Djunaid bermukim di Makkah. Ia pun memakai nama Syekh Djunaid al-Betawi. Ia amat termashur, karena dipercaya menjadi Imam Masjidil Haram. Dia juga mengajar agama Islam di serambi masjid tersebut. Muridnya bukan hanya dari Nusantara, tapi juga umat Islam dari berbagai belahan dunia. Konon, Syekh Djunaid yang telah kesohor di Negeri Hijaz itu mempunyai istri bernama Siti Rahmah.
Diduga, itulah asal mulanya, sehingga sejak ratusan tahun lalu wanita Indonesia yang beribadah ke Tanah Suci dipanggil ''Siti Rahmah''. Panggilan ini populer hingga sekarang, meski zaman telah berubah dan para keluarga Betawi menamakan putera-puterinya dengan nama modern.
Syekh Djunaid mulai bermukim di Mekah sejak 1834. Salah seorang puterinya kawin dengan Imam Mudjitaba yang diberi gelar waliullah oleh masyarakat Islam di Tanah Suci. Orang Betawi berguru kepadanya ketika ia bermukim di Makkah selama 40 tahun. Di antara muridnya adalah Guru Mansyur dari Jembatan Lima (Jakarta Barat) dan Guru Mugni dari Kuningan, dekat perumahan Pertamina. Guru Mujitaba kembali ke Betawi pada tahun 1904.
Tokoh satu angkatan dengan Syekh Djunaid adalah para mukiman Indonesia yang bukan saja terkenal di dalam negeri tapi juga di manca negara, seperti Syekh Abdul Somad al-Falimbangi. Di Makkah ia berguru pada Syekh Mohammad Saman. Ia memiliki keahlian dalam bidang tauhid dan tasawuf. Di antara banyak tulisan hasil karyanya adalah Hidayat al Salihin. Dalam salah satu bukunya ia menganjurkan agar kaum Muslim Indonesia berjihad di jalan Allah melawan penjajah Belanda. Anjuran itu tertuang dalam dua suratnya, masing-masing untuk Hamengkubuono I dan Pangeran Singasari.
Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812) juga seorang mukiman di Arab Saudi yang terkenal, karena mengarang buku fiqih Perukunan Melayu yang menjadi pegangan selama 200 tahun. Ia seorang tokoh ilmu fiqih, tasauf dan falak. Selama di Makkah dia belajar pada Syekh Abdurahman al-Misri, seorang ulama Mesir yang mengajar di Jakarta. Al-Misri mengawini salah satu putera Syekh Djunaid al-Betawi. Dia meninggal di Jakarta dan dimakamkan di Petamburan, Jakarta Barat.
Tokoh lainnya, Syekh Ahmad Ripangi (1786-1859), lahir di Kendal, Jawa Tengah, dan bermukim di Makkah selama delapan tahun. Setelah kembali ke Indonesia dia tidak mau tunduk pada pemerintah kolonial Belanda yang dianggapnya sering merugikan umat Islam. Akibatnya, gubernur jenderal Hindia Belanda, tanggal 9 Mei 1859, mengasingkan dam memenjarakannya di Ambon. Dia dianggap membakar semangat nasional dengan azas Islam yang membahayakan pemerintah kolonial.
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916) juga seorang mukimin terkenal di Negeri Hijaz. Dia bermukim di Makkah selama 10 tahun dan merangkap sebagai guru besar di Masjidil Haram. Dia mengarang banyak buku. Di antara muridnya adalah KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Haji Abdul Karim Amarullah (ayah Buya Hamka), dan H Mahmud Ismail Djambek.
Mukimin Indonesia yang paling kesohor di dunia Islam adalah Syekh Nawawi al-Banteni. Ulama besar, penulis dan pendidik dari Banten, ini masih keturunan Maulana Hasanudin, pendiri Kerajaan Islam Banten. Begitu banyaknya karya beliau di dunia Islam, hingga pemerintah Arab Saudi, Mesir dan Suriah, memberikan gelar kehormatan kepadanya Sayid Ulama Al-Hedjas, Mufti, dan Fakih.
Syeh Nawawi pergi ke Makkah dalam usia 15 tahun dan bermukim selama tiga tahun. Di Makkah ia belajar pada beberapa orang syekh yang bertempat tinggal di Masjidil Haram. Seperti Syekh Ahmad Nahrawi, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Di Madinah ia belajar pada Syekh Muhamad Khatib al-Hambali. Setelah tiga tahun berada di Tanara, Banten, ia kembali ke Tanah Suci dan mengajar di Masjidil Haram.
Kelebihan Syekh Nawawi telah terlihat sejak kecil. Ia hapal Alquran pada usia 18 tahun. Sebagai seorang syekh ia menguasai seluruh cabang ilmu agama, seperti tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh dan bahasa Arab. Menurut suatu sumber, ia mengarang sekitar 115 buah kitab, sedangkan sumber lain menyebut 99 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu.
Jadi, sejak ratusan tahun lalu telah banyak mukimin Indonesia di Tanah Suci yang menjadi tokoh agama, tapi tidak kurang banyaknya yang kini berperan dalam bidang pemerintahan di Arab Saudi.
(Alwi Shahab )
Dermaga yang Menjadi Kampus IPB
Bukan saja pendatang, orang Bogor sendiri sulit menjelaskan mengapa kampung di mana berdiri Kampus IPB (Institut Pertanian Bogor) bernama dermaga, alias pelabuhan. Hingga banyak yang bertanya-tanya kalau dermaga mana lautnya? Tidaklah dapat mereka bayangkan bahwa di bawah jembatan Cihideung Udik dekat kampus IPB pada masa Pakuan Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di pelabuhan inilah arus barang dibawa dengan prau (perahu). Komoditasnya terdiri dari lada, kopi dan kapulaga. Komoditas-komoditas ini melalui kali Cihideung dibawa ke Sunda Kalapa.
Dalam gambar tampak Kampung Dermaga, Bogor yang sejak 1 September 1963 berdiri Institut Pertanian Bogor (IPB). Kampung ini letaknya di barat laut kota Buitenzorg (Bogor). Johannes Rach, seorang perwira dan juga pelukis VOC mengambil gambar kampung Dermaga pada 1772 saat mengikuti perjalanan Gubernur Jenderal Van der Parra meninjau kegiatan arus barang komoditas di Dermaga.
Gubernur Jenderal sendiri bersama istrinya dalam gambar ini tampak tengah dipayungi saat menuju Dermaga Kali Cihideung. Kala itu angkutan di dominasi melalui air (sungai). Dalam gambar tampak sepasukan tentara dengan memegang lembing berbaris siap memberi hormat kepada gubernur jenderal dan rombongan. Di belakangnya tampak sejumlah kapal layar dengan empat bendera (Belanda): merah, putih dan biru tengah merapat di kali Cihideung. Inilah yang menyebabkan kawasan ini dinamakan Dermaga sampai sekarang.
Dalam gambar goresan tangan pelukis Rach terlihat betapa sibuknya kegiatan bongkar muat di Dermaga pada abad ke-18. Terlihat sejumlah gerobak sado yang membawa dan mengangkut barang sementara di tepi sungai terlihat kantor pabean (bea cukai) dan tempat menyimpan berbagai komoditas.
Mengenai nama dermaga di kota Bogor, sampai ada yang berspekulasi bahwa dulunya mesti ada laut. Tidaklah mereka bayangkan bahwa dibawah jembatan Cihideung ketika pada masa Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di Jakarta, kali Cihideung dinamakan kali Cideng. Lalu berbelok di kali Opak, seterusnya tiba di Kali Besar. Di sini komoditas itu dilelang kepada para pembeli yang datang dari mancanegara. Begitu pentingnya dermaga ketika itu, menyebabkan gubernur jenderal sendiri mengadakan peninjauan ke pelabuhan sungai tersebut. Menurut majalah 'Kita Sama Kita', komoditas pertanian tersebut dihasilkan oleh para petani dan pedagang Tionghoa di Leuwiliang di Ciampea, Bogor.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Dalam gambar tampak Kampung Dermaga, Bogor yang sejak 1 September 1963 berdiri Institut Pertanian Bogor (IPB). Kampung ini letaknya di barat laut kota Buitenzorg (Bogor). Johannes Rach, seorang perwira dan juga pelukis VOC mengambil gambar kampung Dermaga pada 1772 saat mengikuti perjalanan Gubernur Jenderal Van der Parra meninjau kegiatan arus barang komoditas di Dermaga.
Gubernur Jenderal sendiri bersama istrinya dalam gambar ini tampak tengah dipayungi saat menuju Dermaga Kali Cihideung. Kala itu angkutan di dominasi melalui air (sungai). Dalam gambar tampak sepasukan tentara dengan memegang lembing berbaris siap memberi hormat kepada gubernur jenderal dan rombongan. Di belakangnya tampak sejumlah kapal layar dengan empat bendera (Belanda): merah, putih dan biru tengah merapat di kali Cihideung. Inilah yang menyebabkan kawasan ini dinamakan Dermaga sampai sekarang.
Dalam gambar goresan tangan pelukis Rach terlihat betapa sibuknya kegiatan bongkar muat di Dermaga pada abad ke-18. Terlihat sejumlah gerobak sado yang membawa dan mengangkut barang sementara di tepi sungai terlihat kantor pabean (bea cukai) dan tempat menyimpan berbagai komoditas.
Mengenai nama dermaga di kota Bogor, sampai ada yang berspekulasi bahwa dulunya mesti ada laut. Tidaklah mereka bayangkan bahwa dibawah jembatan Cihideung ketika pada masa Pajajaran terdapat pelabuhan penting. Di Jakarta, kali Cihideung dinamakan kali Cideng. Lalu berbelok di kali Opak, seterusnya tiba di Kali Besar. Di sini komoditas itu dilelang kepada para pembeli yang datang dari mancanegara. Begitu pentingnya dermaga ketika itu, menyebabkan gubernur jenderal sendiri mengadakan peninjauan ke pelabuhan sungai tersebut. Menurut majalah 'Kita Sama Kita', komoditas pertanian tersebut dihasilkan oleh para petani dan pedagang Tionghoa di Leuwiliang di Ciampea, Bogor.
(Alwi Shahab, wartawan Republika )
Dari Zaamdvoord ke Cibodas
Meski sebagian besar penduduk Jakarta pulang mudik, tapi sejak hari pertama Lebaran tempat-tempat hiburan tumpah ruah didatangi masyarakat. Tempat-tempat yang paling banyak didatangi warga untuk berekreasi adalah Taman Impiah Jaya Ancol, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Kebon Binatang Ragunan. Sedangkan objek wisata di luar kota yang ramai didatangi warga adalah Kebon Raya Bogor dan peranginan di kawasan Puncak.
Sampai hari ke-empat lebaran (Selasa) Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) telah didatangi lebih 500 ribu orang untuk berekreasi di tepi pantai Teluk Jakarta. Menurut Humasd TIJA, pihaknya yakin sampai akhir pekan Lebaran tempat rekreasi ini akan didatangi sekitar 1,5 juta pengunjung. Hari Sabtu dan Minggu merupakan puncak ledakan pengunjung. Untuk menyambut Lebaran tahun ini, TIJA mendatangkan Circus on Ice dari Moskow.
Dikabarkan ratusan ribu pengunjung juga telah mendatangi TMII salah satu tempat hiburan bergengsi si Jakarta. Kita boleh memuji Ibu Tien Soeharto karena idenyalah TMII dibangun tahun 1970-an. Padahal, ketika dia mengemukakan idenya untuk membangun TMII hampir tiap hari mahasiswa demo untuk menentangnya. Tapi istri Pak Harto ini tetap teguh untuk mewujudkan cita-citanya itu. TMII kini menjadi kebanggaan Indonesia dan banyak dikunjungi wisatawan asing.
Dalam ihwal rekreasi di hari-hari Lebaran, kita harus kudu tahu bahwa kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 1940-an sampai 1960-an, yang paling banyak diserbu orang saat Lebaran adalah Kebon Binatang Cikini (KBC) kini menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) tempat kediaman pelukis terkenal, dan seorang penyayang binatang.
Karena terletak di pusat kota (Cikini), untuk pergi ke KBC dulu cukup naik becak atau trem listrik. Maklum, ketika itu mobil pribadi hanya milik oirang-orang kaya. Bahkan jumlah motor yang sekarang ini sudah memadati jalan-jalan di Jakarta dulu baru ratusan. Dulu kebanyakan motor-motor besar buatan Eropa seperti Harley Davidson, BSA, Norton, dan Java. Sedangkan mobil juga dari Eropa dan AS seperti Fiat (Italia) dan Opel (Jerman), Chevrolet (AS). Pada 1950-an kendaraan ini dijadikan angkutan penumpang dan dinamakan Opelet dari kata Opel.
Dulu banyak orang yang pergi rekreasi dengan naik sepeda, yang padamasa Belanda memiliki jalur khusus. Termasuk rekreasi ke pantai Zaandvoord (orang Betawi menyebutnya sampur), sekitar 3 km dari Ancol. Di pantai yang masih belum tercemar (kini tempat galangan kapal), dan tanpa membayar sepeserpun itu, para keluarga dapat menggelar tikar untuk makan lesehan setelah berenang sepuasnya.
Dari Stasion Tanjung Priok ke Zaandvoord bisa juga naik becak. Pada tahun 1950-an dan 1960-an becak juga ikut mendominir angkutan di Jakarta. Pada akhir 1950-an, saat penduduk Ibukota belum 3 juta jiwa, jumlah becak mencapai 30 ribu buah. Jumlah ini meningkat hampir dua kali pada tahun 1970-an, ketika becak mulai dibatasi dan kemudian dilarang. Para wartawan ketika itu melakukan tugas reportase dengan naik becak atau trem listrik yang tamat riwayatnya pada tahun 1960.
Seperti juga sekarang, tempat-tempat rekreasi menyediakan hiburan bagi para pengunjungnya. Kalau sekarang ini didominasi dangdut dan akhir-akhir ini lagu-lagu pop, dulu yang populer adalah grup lawak Bing Selamet, Eddy Sud, Ateng dan Iskak keempatnya sudah meninggal dunia yang sering tampil di Kebon Binatang Cikini (KBC). Kemudian, muncul lawak S Bagio, US-US, Oslan Husein dan Alwi.
Setelah awal 1970-an Kebon Binatang dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan, di bekas KBC sempat dibangun bioskop Garden Hall. Di depannya terdapat lapangan tenis tempat latihan petenis kenamaan ketika itu: Kece Sudarsono dan Tan Liep Tjiaw.
Ketika itu, bioskop juga merupakan tempat yang ramai dikunjungi saat Lebaran. Maklum, televisi belum muncul ketika itu. Sayangnya, banyak tukang catut dan preman di bioskop-bioskokp. Kalau filmnya bagus, harga tiket di tukang catut bisa dua kali lipat harga resmi.
Tempat rekreasi di luar kota yang banyak didatangi pengunjung adalah Kebon Raya Bogor. Untuk pergi ke Bogor ketika itu biasa naik oplet masih satu jalur Bogor-Jakarta dan Jakarta-Bogor. Membangun jalan tol belum menjadi impian pemerintah ketika itu. Jalan raya Ciputat-Parung-Bogor belum diaspal. Tapi, herannya tidak terjadi kemacetan seperti sekarang.
Pergi ke Puncak kala itu nikmatnya bukan main, meskipun harus naik kendaraan dan bus tanpa AC. Dari Bogor sampai Puncak di kiri kanan jalan belum banyak vila seperti sekarang. Udara masih bersih dan hawanya jauh lebih dingin dari sekarang ini. Tidak terjadi kemacetan seperti sekarang ini -- yang membuat orang harus menghadapi stress saat pergi dan pulang dari Puncak.
Tempat rekreasi terkenal di Puncak ketika itu adalah taman raya Cibodas. Beberapa hari setelah Lebaran banyak yang mengadakan rekreasi ke Cibodas dengan menyewa truk. Bung Karno dulu sering membawa para tamu negara ke Cibodas, seperti Presiden Voroshilov dari Uni Soviet, yang sangat mengagumi taman rekreasi Cibodas. Dia bersama Bung Karno mau berlama-lama berada di daerah yang sejuk dan penuh taman itu.
(Alwi Shahab )
Sampai hari ke-empat lebaran (Selasa) Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) telah didatangi lebih 500 ribu orang untuk berekreasi di tepi pantai Teluk Jakarta. Menurut Humasd TIJA, pihaknya yakin sampai akhir pekan Lebaran tempat rekreasi ini akan didatangi sekitar 1,5 juta pengunjung. Hari Sabtu dan Minggu merupakan puncak ledakan pengunjung. Untuk menyambut Lebaran tahun ini, TIJA mendatangkan Circus on Ice dari Moskow.
Dikabarkan ratusan ribu pengunjung juga telah mendatangi TMII salah satu tempat hiburan bergengsi si Jakarta. Kita boleh memuji Ibu Tien Soeharto karena idenyalah TMII dibangun tahun 1970-an. Padahal, ketika dia mengemukakan idenya untuk membangun TMII hampir tiap hari mahasiswa demo untuk menentangnya. Tapi istri Pak Harto ini tetap teguh untuk mewujudkan cita-citanya itu. TMII kini menjadi kebanggaan Indonesia dan banyak dikunjungi wisatawan asing.
Dalam ihwal rekreasi di hari-hari Lebaran, kita harus kudu tahu bahwa kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama. Pada tahun 1940-an sampai 1960-an, yang paling banyak diserbu orang saat Lebaran adalah Kebon Binatang Cikini (KBC) kini menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM) tempat kediaman pelukis terkenal, dan seorang penyayang binatang.
Karena terletak di pusat kota (Cikini), untuk pergi ke KBC dulu cukup naik becak atau trem listrik. Maklum, ketika itu mobil pribadi hanya milik oirang-orang kaya. Bahkan jumlah motor yang sekarang ini sudah memadati jalan-jalan di Jakarta dulu baru ratusan. Dulu kebanyakan motor-motor besar buatan Eropa seperti Harley Davidson, BSA, Norton, dan Java. Sedangkan mobil juga dari Eropa dan AS seperti Fiat (Italia) dan Opel (Jerman), Chevrolet (AS). Pada 1950-an kendaraan ini dijadikan angkutan penumpang dan dinamakan Opelet dari kata Opel.
Dulu banyak orang yang pergi rekreasi dengan naik sepeda, yang padamasa Belanda memiliki jalur khusus. Termasuk rekreasi ke pantai Zaandvoord (orang Betawi menyebutnya sampur), sekitar 3 km dari Ancol. Di pantai yang masih belum tercemar (kini tempat galangan kapal), dan tanpa membayar sepeserpun itu, para keluarga dapat menggelar tikar untuk makan lesehan setelah berenang sepuasnya.
Dari Stasion Tanjung Priok ke Zaandvoord bisa juga naik becak. Pada tahun 1950-an dan 1960-an becak juga ikut mendominir angkutan di Jakarta. Pada akhir 1950-an, saat penduduk Ibukota belum 3 juta jiwa, jumlah becak mencapai 30 ribu buah. Jumlah ini meningkat hampir dua kali pada tahun 1970-an, ketika becak mulai dibatasi dan kemudian dilarang. Para wartawan ketika itu melakukan tugas reportase dengan naik becak atau trem listrik yang tamat riwayatnya pada tahun 1960.
Seperti juga sekarang, tempat-tempat rekreasi menyediakan hiburan bagi para pengunjungnya. Kalau sekarang ini didominasi dangdut dan akhir-akhir ini lagu-lagu pop, dulu yang populer adalah grup lawak Bing Selamet, Eddy Sud, Ateng dan Iskak keempatnya sudah meninggal dunia yang sering tampil di Kebon Binatang Cikini (KBC). Kemudian, muncul lawak S Bagio, US-US, Oslan Husein dan Alwi.
Setelah awal 1970-an Kebon Binatang dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan, di bekas KBC sempat dibangun bioskop Garden Hall. Di depannya terdapat lapangan tenis tempat latihan petenis kenamaan ketika itu: Kece Sudarsono dan Tan Liep Tjiaw.
Ketika itu, bioskop juga merupakan tempat yang ramai dikunjungi saat Lebaran. Maklum, televisi belum muncul ketika itu. Sayangnya, banyak tukang catut dan preman di bioskop-bioskokp. Kalau filmnya bagus, harga tiket di tukang catut bisa dua kali lipat harga resmi.
Tempat rekreasi di luar kota yang banyak didatangi pengunjung adalah Kebon Raya Bogor. Untuk pergi ke Bogor ketika itu biasa naik oplet masih satu jalur Bogor-Jakarta dan Jakarta-Bogor. Membangun jalan tol belum menjadi impian pemerintah ketika itu. Jalan raya Ciputat-Parung-Bogor belum diaspal. Tapi, herannya tidak terjadi kemacetan seperti sekarang.
Pergi ke Puncak kala itu nikmatnya bukan main, meskipun harus naik kendaraan dan bus tanpa AC. Dari Bogor sampai Puncak di kiri kanan jalan belum banyak vila seperti sekarang. Udara masih bersih dan hawanya jauh lebih dingin dari sekarang ini. Tidak terjadi kemacetan seperti sekarang ini -- yang membuat orang harus menghadapi stress saat pergi dan pulang dari Puncak.
Tempat rekreasi terkenal di Puncak ketika itu adalah taman raya Cibodas. Beberapa hari setelah Lebaran banyak yang mengadakan rekreasi ke Cibodas dengan menyewa truk. Bung Karno dulu sering membawa para tamu negara ke Cibodas, seperti Presiden Voroshilov dari Uni Soviet, yang sangat mengagumi taman rekreasi Cibodas. Dia bersama Bung Karno mau berlama-lama berada di daerah yang sejuk dan penuh taman itu.
(Alwi Shahab )
Nyai Dasima di Kampoeng Kwitang
Inilah Kampoeng Kwitang, Jakarta Pusat pada pertengahan 1876 atau sekitar 131 tahun lalu. Jakarta di zaman Betawi pada abad ke-19 merupakan 'setengah hutan'. Penghuninya belum banyak seperti sekarang yang penuh sesak dan sumpek. Di antara pepohonan yang tumbuh lebat di sekitarnya, tampak sebuah rumah keluarga Eropa. Di depannya tampak sebuah jembatan dari kayu - yang sekarang menghubungkan antara Kampung Kwitang dengan Jalan Parapatan. Di depan rumah berpagar tembok tampak sebuah lampu gas di pekarangan yang luas. Lampu gas, ketika foto ini diabadikan oleh Jacobus Anthonie Meessen, baru nongol di Batavia 1864. Pabrik gas berlokasi di Gang Ketapang -- dekat Jl Gajah Mada --, yang entah kenapa namanya diganti pada tahun 1960 menjadi Jl KH Zainul Arifin. Adanya lampu gas yang menggantikan lilin dan minyak tanah dinikmati oleh penduduk setelah dibangunnya instalasi gas di jalan-jalan raya dan perkampungan. Pabrik gas yang telah berusia satu setengah abad sampai sekarang masih berdiri di Gang Ketapang.
Jacobus Anthonie Meessen, yang banyak mengabadikan gedung-gedung di Batavia merupakan pemilik rumah di Kampung Kwitang. Dia lahir di Utrecht, Belanda, pada 6 Desember 1836 dan merantau ke Batavia 1860. Dia juga mengisi kolom foto-foto iklan di harian Sumatra Courant di Padang dan 'Java Bode'di Batavia.
Kwitang yang terkenal dengan majelis taklim tiap Ahad pagi, pernah menjadi latar belakang roman sejarah 'Nyai Dasima' versi SM Ardan, seniman dan budayawan Kwitang. Dasima adalah istri piaraan tanpa nikah tuan Edward W, seorang Inggris, yang akhirnya kawin dengan Samiun tukang sado dari Kwitang. Nyai Dasima yang berasal dari Desa Ciseeng, Parung, Bogor, akhirnya mati dibunuh oleh Bang Puase, jagoan dari Kwitang atas suruhan istri tua Samiun, Hayati. Nyai yang bahenol ini dibunuh kira-kira di dekat rumah yang terlihat di foto. Mayatnya dilemparkan ke kali (kira-kira samping toko buku Gunung Agung) dan ditemukan di dekat kediaman tuan Edward W di Pejambon, di belakang kantor Ditjen Perhubungan Laut sekarang ini.
Nyai Dasima versi G. Francis -- yang pernah menjadi redaktur surat kabar besar pada abad ke-19 -- menggambarkan selain tuan W semuanya jahat. Bahkan direkonstruksi demikian rupa sehingga mencuat citra orang Betawi yang memiliki sifat-sifat penghasut, haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, perusuh, dan masih berbagai sifat jahat lainnya. Dan semua sifat buruk itu berasal dari tradisi budaya dan agama yang dianut: Islam. JJ Rizal dalam pengantar di buku 'Nyai Dasima', mengutip pernyataan Ardan bahwa Nyai Dasima versi kolonial memperlihatkan nada anti-Muslim yang pada masanya berarti antipribumi.
Nyai Dasima, berdasarkan versi kolonial menjadi istri Samiun karena diguna-guna melalui seorang ulama Wak Lihun. Menurut Ardan, Dasima datang ke Samiun atas kesadaran sendiri ingin lepas dari orang asing. Setelah ia diingatkan hukumnya haram kawin tanpa nikah. Ulama terkemuka, HAMKA pernah berkomentar bahwa Dasima rela meninggalkan tuannya dan hidup bergelimang harta setelah diingatkan bahwa dalam Islam nikah merupakan suatu 'kemustian' dalam hubungan suami - istri.
(Alwi Shahab, Wartawan Republika )
Jacobus Anthonie Meessen, yang banyak mengabadikan gedung-gedung di Batavia merupakan pemilik rumah di Kampung Kwitang. Dia lahir di Utrecht, Belanda, pada 6 Desember 1836 dan merantau ke Batavia 1860. Dia juga mengisi kolom foto-foto iklan di harian Sumatra Courant di Padang dan 'Java Bode'di Batavia.
Kwitang yang terkenal dengan majelis taklim tiap Ahad pagi, pernah menjadi latar belakang roman sejarah 'Nyai Dasima' versi SM Ardan, seniman dan budayawan Kwitang. Dasima adalah istri piaraan tanpa nikah tuan Edward W, seorang Inggris, yang akhirnya kawin dengan Samiun tukang sado dari Kwitang. Nyai Dasima yang berasal dari Desa Ciseeng, Parung, Bogor, akhirnya mati dibunuh oleh Bang Puase, jagoan dari Kwitang atas suruhan istri tua Samiun, Hayati. Nyai yang bahenol ini dibunuh kira-kira di dekat rumah yang terlihat di foto. Mayatnya dilemparkan ke kali (kira-kira samping toko buku Gunung Agung) dan ditemukan di dekat kediaman tuan Edward W di Pejambon, di belakang kantor Ditjen Perhubungan Laut sekarang ini.
Nyai Dasima versi G. Francis -- yang pernah menjadi redaktur surat kabar besar pada abad ke-19 -- menggambarkan selain tuan W semuanya jahat. Bahkan direkonstruksi demikian rupa sehingga mencuat citra orang Betawi yang memiliki sifat-sifat penghasut, haus harta, irasional, berpikiran sempit, pencuriga, perusuh, dan masih berbagai sifat jahat lainnya. Dan semua sifat buruk itu berasal dari tradisi budaya dan agama yang dianut: Islam. JJ Rizal dalam pengantar di buku 'Nyai Dasima', mengutip pernyataan Ardan bahwa Nyai Dasima versi kolonial memperlihatkan nada anti-Muslim yang pada masanya berarti antipribumi.
Nyai Dasima, berdasarkan versi kolonial menjadi istri Samiun karena diguna-guna melalui seorang ulama Wak Lihun. Menurut Ardan, Dasima datang ke Samiun atas kesadaran sendiri ingin lepas dari orang asing. Setelah ia diingatkan hukumnya haram kawin tanpa nikah. Ulama terkemuka, HAMKA pernah berkomentar bahwa Dasima rela meninggalkan tuannya dan hidup bergelimang harta setelah diingatkan bahwa dalam Islam nikah merupakan suatu 'kemustian' dalam hubungan suami - istri.
(Alwi Shahab, Wartawan Republika )
Gelar Imam, Syekh, Habib dan Sayid
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum ‘Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji (Khawarij). Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.
Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.
Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma. Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku. Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya muncul sebutan "Ba'alawi" yang hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan "Ba'Alawi" diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji (Khawarij). Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat ‘Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq’ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan ‘Alawi.
Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da’i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.
Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma. Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai tingkat mujtahid mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba’alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama ‘Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku. Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya muncul sebutan "Ba'alawi" yang hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan "Ba'Alawi" diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Subscribe to:
Posts (Atom)