Pada 4 Maret 1942 tentara Belanda meninggalkan Batavia, takluk pada Jepang. Keesokan harinya, sesudah matahari terbenam, ibukota Hindia Belanda jatuh ke tangan pendudukan Jepang. Batavia diganti menjadi Jakarta. Aksi pertama yang dilakukan pemerintah militer Jepang guna mendapatkan simpati rakyat adalah Gerakan Tiga A: Nippon (Jepang) pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia.
Semua penduduk di daerah yang telah ditaklukkan Jepang setiap pagi wajib memberi hormat pada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan 90 derajat yang disebut — Saikerai — ke arah utara dan timur, tempat kaisar Jepang berada dan tempat matahari terbit.
“Tidak ada yang bisa menandingi matahari. Barangsiapa yang berani melawannya akan menerima nasib seperti salju yang mencair di sinar matahari,” kata mereka. Banyak ulama yang menetang keras kewajiban ini karena dianggap musyrik.
Kedatangan tentara Jepang pada awalnya disambut hangat. Apalagi negeri matahari terbit itu menjanjikan kemerdekaan dengan slogan, Asia telah dikembalikan kepada bangsa Asia. Malahan seminggu setelah menguasai Jakarta, surat kabar Tjahaja Timoer memuat berita usulan mengenai kabinet yang akan terdiri dari orang Indonesia.
Diusulkan nama-nama yang akan masuk anggota Kabinet Indonesia ini, antara lain PM Abikoesno Tjokrosoejoso, Wakil PM Ir Soekarno, Menlu Dr Soedjono, Menteri Ekonomi Drs Moh Hatta, Menteri Pendidikan Ki Hadjart Dewantara, dan Menteri Agama KH Mansyur. Tapi, keesokan harinya bagian Pers dan Dinas Propaganda Jepang menyatakan berita tersebut tidak benar.
Bagaimana keadaan kota Jakarta dan Nusantara pada masa pendudukan Jepang? Ali Satiri (79 tahun) menuturkan, “Barang-barang makanan, di mana-mana sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, itu pasti kami peroleh dari cara gelap dan jumlahnya tak banyak, hanya untuk makan sehari-dua hari saja.” Seorang camat, Soedjono Hadipranoto, mengisahkan, “semua barang yang diperlukan oleh militer Jepang diambil dan ditempeli tulisan Milik Dai Nippon.
Seorang ibu rumah tangga yang mengalami masa pendudukan Jepang menuturkan, kesulitan memperoleh beras dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari menyebabkan masyarakat dalam kota melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, sekalipun sudah dalam kondisi paling rendah.
Untuk sekadar mengganjal perut, banyak orang menjual perabotan rumah tangga, dan sebagian lain mendatangi pasar loak (barang bekas). Waktu itu pemerintah Jepang tidak mengizinkan orang di dalam rumah tangga mempunyai lebih empat kilo beras. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan dari rumah ke rumah. Kalau ketahuan melebihi ketentuan, ditangkap.
Yang paling ditakuti masyarakat adalah Kompetai (polisi rahasia Jepang). Selain itu, Jepang juga memiliki mata-mata yang diberi nama Kipas Hitam. Banyak di antara mereka adalah wanita penghibur.
HB Yassin dalam buku Di Bawah Pendudukan Jepang, menuturkan, “Bukan main kejamnya Kompetai itu. Saya pernah ditahan selama seminggu di markas mereka di Tanjung Priok. Kacamata saya dilepas. Selama pemeriksaan saya dibentak-bentak dengan kata-kata kasar. Sepeda saya dirampas dan saya mendapat penyiksaan yang menyakitkan ketika kaki dinaikkan ke atas dan kepala di bawah.”
Pada masa pendudukan Jepang hampir tiap malam lampu dimatikan, dengan alasan ada serangan musuh (Amerika). Pemadaman listrik ditandai dengan teriakan, “Kusyu-keiho!” berulang-ulang dari peronda malam. Penduduk yang ketakutan mematikan lampu dan masuk ke lubang perlindugan yang berada di halaman tiap rumah.
Saat berada di lubang perlindungan kita diwajuibkan menggigit sebuah karet bundar setebal lima Cm seperti layaknya petinju. Maksudnya, bila musuh melakukan pemboman kita harus menggigitnya keras-keras.
Akibat kelaparan, orang sudah menganggap biasa bila melihat ada yang sakit parah berada di tepi jalan menunggu sakratul maut. Para pengemis mengais sisa-sisa makanan — kalau ada — di tempat-tempat sampah. Waktu itu banyak rakyat memakai pakaian dari karung goni dan kain dari karet.
Tidak tersedianya obat-obatan dibenarkan oleh Dr Haji Ali Akbar, karena disembunyikan oleh Jepang untuk keperluan perang mereka. Banyak orang sakit di mana-mana tanpa pertolongan samasekali dari pemerintah. “Sebagai dokter muda saya tidak bisa menolong banyak penderitaan orang-orang yang tergeletak di daerah Kramat. Ya hanya sedih saja, sambil membayangkan betapa kejamnya orang-orang Jepang,” kata Dr Ali Akbar.
Kekuatan invasi Jepang di Jawa berjumlah 6-8 divisi atau 100-120 ribu orang. Selama tiga setengah tahun tanpa disertai istri dan dalam suasana perang, untuk memenuhi kebutuhan biologis, mereka memerlukan wanita. Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks selama perang dunia II.
Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya. Mereka direkrut menjadi jugun ianfu secara paksa (diambil begitu saja di jalan atau di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara.
Sampai saat ini, para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang mereka alami.
(Alwi Shahab)