Minggu, 15 Januari 2006
Banyak yang mengajukan pertanyaan pada saya tentang asal usul nama Betawi. Sampai ada yang mengira nama Betawi berasal dari 'bau tai'. Konon ketika balatentara Mataram pada tahun 1928 dan 1929 berusaha merebut kota Batavia, pasukan VOC kala itu bertahan di benteng pertahanan Redout Maegdeln, sebuah menara dekat kastil Batavia.
Seorang sersan kompeni, Ian Mulder, dan 15 orang kawannya berusaha untuk bertahan terhadap serangan balatentara Mataram yang terus merangsek dan mendekati benteng. Pada saat-saat yang genting demikian ini, pasukan VOC yang dilengkapi sebuah meriam kecil kehabisan mesiu. Dalam suasana keputus-asahan ini, sersan VOC berteriak, "Lihat bagaimana saya mengusir musuh keparat ini."
Sang sersan mengangkat pot-pot berisi kotoran manusia dan melemparkan isinya pada pasukan Mataram. Melihat itu, timbul kembali semangat para kompeni. Mereka mengikuti jejak sang sersan. Mereka pun ramai-ramai melemparkan pot-pot berisi kotoran manusia itu. Pasukan Mataram yang merasa jijik mundur dengan rasa amat penasaran. Teriakan pun terdengar di mana-mana, "Bau tai... Bau tai!". Dari kejauhan suara itu terdengar seperti 'Betawi'.
Tentu saja perkiraan itu tak dapat diterima akal. Apalagi sampai ada yang menyatakan kotoran manusia itu digunakan sebagai peluru. Karena tai bukan zat padat yang dapat ditembakkan. Tapi perlu diketahui, sampai abad ke-18 rumah dan gedung di Batavia tidak memiliki toilet. Termasuk gedung Balaikota yang kini jadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jl Fatahillah, Jakarta Barat.
Kala itu kebiasaan penghuni kota Batavia, kalau hendak buang hajat di masukkan ke tong-tong yang tersedia di tiap rumah dan kantor. Lalu isi tong itu dilemparkan ke kali atau kanal-kanal yang disebut 'kembang jam 9 malam'. Karena pemerintah VOC mengeluarkan peraturan kotoran manusia itu baru boleh dibuang setelah jam 9 malam.
Ada juga yang menyebutkan bahwa Betawi berasal dari kata Batavia. Tapi yang jelas Gubernur Jenderal JP Coen, pendiri kota ini, mengusulkan kota yang dibangunnya bernama Niew Hoorn untuk mengenang kota kelahirannya di Belanda. Tapi, pihak pemegang saham VOV yang berpusat di Amsterdam lebih menyetujui nama Batavia. Padahal nama ini, secara tidak sengaja diberikan pada seorang prajurit yang tengah teler akibat menenggak minuman keras. Coen sangat kecewa karena usulannya ditolak, dan sampai meninggal Oktober 1929 ia menolak memakai nama Batavia. Dia menyebut kota yang didirikannya Fort Jacatra atau 'benteng Jacatra'.
Ada banyak versi tentang kematian Coen. Ada yang mengatakan ia diracun. Ada pula yang menyatakan ia tidak meninggal di kastil (benteng). Tapi dicuclik, dianiyaya serta dibunuh balatentara Mataram. Memang ia mati hanya beberapa hari setelah balatentara Islam Mataram menyerang kota Batavia.
Konon, seperti diceritakan Candrian Attahiyat dari Dinas Kebudayaan dan Permuseum DKI Jakarta, kepala Coen ditanam di tangga pertama pemakaman Imogiri, tempat peristirahatan terakhir raja-raja Mataram. Sebagai penghinaan, bila hendak ke pemakaman lebih dulu menginjak kepala Coen. Ada juga yang mengatakan Coen mati dibunuh orang Banda yang membalas dendam atas kekejamannya membunuh ribuan rakyat Banda ketika ia berada di Maluku.
Masih ada versi lain tentang misteri matinya Coen. Ia diisukan mati karena ketakutan mengingat pertemuan yang akan menyusul dengan rekan lamanya, yang saat itu jadi musuh dan calon penggantinya, yakni Jaques Spincx. Spincx adalah pedagang senior yang bekerja selama 12 tahun di kompeni. Dari hubungan kumpul kebonya dengan seorang wanita Jepang lahirlah seorang gadis jelita Saartje Spencx pada 1617. Anak itu kemudian mengikuti ayahnya ke Batavia, sedangkan istrinya tetap di Jepang. Saartje kemudian dititipkan di rumah Coen ketika ayahnya kembali ke Jepang.
Pada tahun 1629, seorang perwira muda berusia 16 tahun Pieter Contenhoeff jatuh cinta pada Saartje yang berusia 16 tahun. Dan cinta pemuda tanpan ini mendapat balasan dari si dara yang berwajah molek. Dengan menyogok beberapa budak dan pembantu rumah tangga, si perwira berhasil masuk ke ruang tidur gadis itu. Di situ walaupun di hadapan budak-budak, pasangan yang tengah dilanda asmara itu melakukan hubungan badan berkali-kali.
Jenderal Coen, yang kemudian mendengar peristiwa yang dianggapnya memalukan itu, langsung membawa keduanya ke pengadilan. Si pemuda dihukum mati di balaikota. Sedangkan Saartje disiksa dan dipermalukan di halaman tengah balaikota. Konon, bagian atas badannya dipertontonkan pada umum. Sang ayah, setelah mendengar peristiwa itu, menjadi marah besar dan bersumpah akan membalas dendam. Dalam suasana demikian itulah Coen meninggal dunia, hingga diisukan dia mati ketakutan.
Kembali ke asal muasal nama Betawi, pada tahun 1858 di Jakarta terbit surat kabar Betawi yang mempergunakan huruf Latin dan Arab bernama Pemberita Betawi. Novel-novel di abad ke-18 dan 19 lebih banyak menyebutkan nama Betawi katimbang Batavia.
Pada tahun 1870, Raden Arya Sastradarma dalam karangannya, Kawontenan Ing Nagari Betawi, menyebutkan masyarakat luas di Batavia dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu. Kebanyakan menyebut dirinya orang Slam atau orang Betawi. Laki-laki Betawi ketika itu umumnya mencukur habis rambutnya (gundul).
(Alwi Shahab )
Friday, August 25, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment