Sunday, August 22, 2004

Kampung Kwitang, 11 Mei 1921. Di sebuah rumah yang sebagian dindingnya terbuat dari papan lahir seorang bayi mungil. Bang Marzuki yang tengah menantikan kelahiran putranya ini memberinya nama Ismail. Di rumah petak (kini Jl Kembang IV/97, Kwitang) inilah Ismail dibesarkan. Tapi,
Ismail tak lama mendapatkan kasih sayang ibunya karena meninggal ketika ia baru berusia tiga bulan. Ismail benar-benar menjadi tumpuan kasih sayang ayahnya. Karena dari ketiga kakaknya hanya Hamidah yang hidup. Kedua kakaknya, Yusuf dan Yakub, meninggal saat dilahirkan.

Ismail yang kemudian mendapat nama sapaan Bang Maing ini tumbuh menjadi sosok cerdas dengan bakat musikal yang kental. Lagu-lagu ciptaannya tak lekang digerus masa dan dikagumi hingga ke manca negara. Namanya kemudian diabadikan sebagai sebuah tempat para seniman, pemikir, dan
penikmat seni budaya mengekpresikan dirinya, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini, Jakarta Pusat. Ismail memang tumbuh dan hidup tak jauh dari Cikini. Menurut salah seorang kerabatnya di Kwitang, keadaan rumah Ismail yang kini ditempati seorang Cina) kini sudah jauh berbeda. Dulu
di depannya terdapat teras tempat Ismail bermain musik dan mencipta lagu. Rumah itu terletak sekitar 40 meter dari Masjid Kwitang.

Di samping masjid itu dulunya terdapat sebuah madrasah Unwanul Falah yang dipimpinan Habib Ali Alhabsji. Di tempat ini Ismail kecil mengaji petang hari setelah pagi harinya sekolah di HIS (SD zaman Belanda) Idenburg di kawasan Menteng. Pengaruh pendidikan agama ini tidak saja menyebabkan Ismail dapat menguasai Alquran dengan baik, tapi juga punya budi pekerti dan akhlak yang baik pula. Ayahnya yang taat pada agama dan hampir tak lepas dari tasbih semula tak berkenan Ismail jadi anak wayang (sebutan negatif saat itu pada orang yang aktif berkesenian).

Tapi, ia tak dapat membendung hasrat Ismail yang gila musik. Sejak kecil anak ini sudah keranjingan lagu dan sanggup berjam-jam mendengarkan gramophone yang oleh orang Betawi disebut mesin ngomong. Akibatnya, pada usia 17 tahun dan masih bersekolah di MULO (SMP) Ismail sudah mampu mengarang lagu Sarinah (1931). Pengalamannya sebagai santri Habib Ali Kwitang banyak mempengaruhi pola pikirnya. Ia menjadi sosok Islam moderat dengan istiqomah menggali dan mengamalkan Islam serta sekaligus mendalami seni. Dari nilai-nilai keagamaan dan nasionalisme yang diperolehnya tak pernah membuatnya absen ikut berjuang untuk negeri tercinta ini. Ini dapat kita resapi dalam lagu karyanya seperti Gugur Bunga, Indonesia Tanah Pusaka, dan masih banyak lagi. Tidak hanya sebagai pencipta lagu, Ismail pun mahir memainkan sejumlah alat musik.

Kemampuannya dalam menyanyi pun tak diragukan. ini dibuktikannya ketika menjadi penyanyi belakang layar untuk film Terang Bulan. Dalam film yang diproduksi tahun 1930-an ini, Bang Maing menyanyi untuk aktor Rd Mochtar. Terang Bulan, seperti dikemukakan seniman dan pimpinan Sinemateks Indonesia, SM Ardan, merupakan film yang sukses kala itu. Selama hidupnya yang
singkat meninggal 1958 dalam usia 44 tahun Ismail telah menciptakan tidak kurang 200 lagu. Ada pula yang menyebutkan 300-an lagu dalam berbagai jenis irama. Ia meninggalkan seorang istri, Eulis Zuraidah (meninggal 2002), mojang Priangan yang dinikahinya pada 1941.

Dan seorang anak angkat, Rachmi Aziah. Rayuan Pulau Kelapa, lagu yang diciptakan Ismail pada 1944, dikagumi bukan saja di dalam negeri, tapi mancanegara. Karena keindahan lagu ini lantas Bung Karno memberikan pengahargaan Piagam Wijayakusuma kepadanya. Karena kiprahnya sebagai seniman dan budayawan besar yang ikut menggelorakan perjuangan bangsa melalui lagu-lagu perjuangan, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pada 7 Juli 2004 lalu telah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk mengusulkan Ismail Marzuki sebagai Pahlawan Nasional. Para anggotanya Dr H Atje Mulyadi, Rusdi Saleh, Prof. Dr. Budyatna, Ebet Kadarusman, Krim Biantaro dan Alwi Shahab.

Selain menuntut agar Ismail Marzuki diberi penghargaan gelar Pahlawan Nasional, menjelang Hari Pahlawan Nasional 10 Nopember 2004, LKB juga menuntut agar Jalan Parapatan antara jembatan Kwitang sampai tugu Betawi, dikiri kanannya diberi nama Jl Ismail Marzuki juga. Mereka
mengusulkan pula agar di ujung taman Jl Kwitang Raya dekat Toko Buku Gunung Agung didirikan patung komponis besar ini. Sejauh ini Gubernur Sutiyoso mendukung usulan ini. Tapi, hingga kini belum mendapat respon dari Departemen Sosial sebagai lembaga yang berwenang. Dukungan yang
sama juga dikemukakan sejumlah seniman, budayawan dan tokoh masyarakat. Termasuk Yusuf Ronodipuro, mantan dubes RI di Argentina dan Sekjen Deppen.

Yusuf Ronodipuro yang kini berusia diatas 80 tahun ini mengaku mengenal Ismail Marzuki sejak 1943 pada masa pendudukan Jepang. "Saya dan Ismail semakin akrab waktu pindah ke radio militer Jepang di Merdeka Barat yang bernama Hozo Kyeku," kata mantan Kepala RRI Pusat itu. Lagu Halo-Halo Bandung yang menurut Yusuf merupakan gubahan Ismail Marzuki ini telah menggetarkan semangat juang para pemuda saat mendengar bait ajakan Mari Bung rebut kembali. Lagu ini menjadi abadi hingga kini. "Berbeda dengan lagu-lagu sekarang yang merengek-rengek terus nggak ada isinya. Waktu itu, hasil karya Ismail Marzuki sangat kita butuhkan untuk dapat mengisi semangat perjuangan," ujarnya. Menurut Yusuf, pada 1946 ia bersama Ismail Marzuki naik kereta api ke Yogyakarta. Ketika tiba di stasiun Yogya pada senja hari melalui jendela KA, Ismail menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Ia pun mengabadikan pemandangan itu, dan jadilah lagu berjudul Sepasang Mata Bola.

No comments: