Tuesday, March 24, 2009

Kerusuhan Malari Dekat Istana

Foto kerusuhan Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 di Jalan Juanda, Jakarta Pusat, hanya beberapa ratus meter dari pusat kekuasaan: Istana Negara. Peristiwa Malari sebelumnya didahului oleh aksi-aksi mahasiswa. Mereka menolak modal asing, khususnya berbagai produk Jepang yang melimpah di Indonesia. Peristiwa ini mengakibatkan pembakaran serta penggulingan mobil dan motor buatan Negeri Sakura itu. Seperti terlihat dalam foto, setelah digulingkan, sebuah mobil sedan dibakar massa yang mengerumuninya.

Kerusuhan semacam ini kemudian meluas di hampir seluruh kota. Ratusan mobil dan sepeda motor Jepang jadi sasaran. Bukan hanya dibakar, tapi juga digulingkan ke Sungai Ciliwung di daerah Harmoni. Kerusuhan tidak terbatas hanya pada luapan anti-Jepang; pusat perdagangan Senen, Jakarta Pusat, juga diserbu dan dibakar massa. Pada saat itu, Presiden Soeharto tengah mengadakan pertemuan empat mata dengan PM Jepang, Kakuei Tanaka, yang tiba di Jakarta, 14 Januari 1974.

Ketika proyek Senen dibakar, terjadi pencurian dan perampokan di toko-toko. Gerakan perusakan juga dilakukan terhadap pabrik-pabrik dan tempat-tempat umum di Ibu Kota sehingga menimbulkan korban jiwa.

Hariman Siregar yang dituduh sebagai salah seorang penggerak peristiwa ini kemudian diadili. Demikian pula Syahrir yang pada masa pemerintahan SBY menjabat wakil tim presiden bidang ekonomi. Keduanya dituduh melakukan tindakan subversi. Syahrir meninggal akhir tahun lalu setelah dirawat di sebuah rumah sakit di Singapura.

Akibat Malari, terjadi pergolakan dalam pimpinan ABRI. Jenderal Sumitro yang kala itu menjabat sebagai panglima Kopkamtib dan sering menghadiri kegiatan para mahasiswa dituduh ingin melakukan kudeta terhadap presiden Soeharto. Sekalipun dia membantahnya, jenderal berbintang empat yang bertubuh gempal itu ‘dipecat’ dengan alasan mengundurkan diri dan pensiun. Dia digantikan Laksamana Sudomo.

Peristiwa Malari berdampak dicabutnya surat izin terbit (SIT) harian Nusantara, KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mahasiswa Indonesia, Pedoman, mingguan Wenang, dan Ekspres. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi selama beberapa waktu ditutup. Aksiaksi demo yang sebelumnya berlangsung selama beberapa bulan pun berhenti sejak saat itu.

Ngibing di Malam Cap Go Meh

Masyarakat Tionghoa memiliki hari raya cukup banyak. Setelah tahun baru Imlek dengan hidangan khas kue keranjang atawa kue cina, pada malam ke-15 ditutup dengan pesta Cap Go Meh.

Masih ada hari raya Cengbeng di mana orang-orang membersihkan makam orangtuanya sebagai tanda bakti pada leluhur. Kemudian disusul dengan Pehcun (hari keseratus setelah Imlek). Pada hari itu makanan khas adalah bahcang sekaligus disusul dengan pesta perahu (dragon boat) di kali Ciliwung dan kali Cisadane (Tangerang). Masih ada hari raya Tong Ciu dengan makanan khas kue bulan. Ditutup dengan hari raya Tang Ce yang jatuh pada bulan-bulan menjelang Imlek.

Yang paling meriah di tempo doeloe pesta Cap Go Meh penutup tahun baru Imlek. Sejak sore para siauce (gadis) berdandan semenor mungkin. Menanti sang pacar untuk datang sowan pada calon mertua sambil mempersembahkan sepasang ikan bandeng. Muka mertua akan cemberut seperti ‘dompet tanggung bulan’ bila calon mantu tidak membawa ikan bandeng. Menantu begini dianggap tidak punya hormat pada mertua.

Di malam Cap Go Meh semua orang Betawi keturunan Tionghoa berpakaian indah-indah. Lalu naik trem menuju Glodok dan Pancoran untuk menonton keramaian atau langsung terjun ngibing (kini berjoget) di jalan-jalan. Keramaian kala itu tidak kalah meriahnya dengan fiesta yang diadakan tiap tahun di Brasil.

Orang yang turut ngibing, biasanya memakai kostum ala bintang film Hollywood. Seperti Douglas Fairbank, bintang terkenal tahun 1930-an dan ‘40-an dalam perannya sebagai Zorro dalam film Mark of Zorro.

Ada juga yang menyaru sebagai seorang wanita gembrot lengkap dengan konde sebesar mangkuk sayur, tulis Prof Dr James Dananjaja (75 tahun), dalam Folklor Tionghoa. Wajahnya dibedak tebal-tebal, pipinya diberi tahi lalat (tompel) sebesar uang sen Hindia Belanda. Mulutnya disumpel dengan tembakau sisik.

Kwee Tek Hoay dalam karangan berjudul Nonton Capgome yang diterbitkan 1930, menuturkan, Tidak ada pesta Capgome di Java yang melebihkan ramenya dari Batavia. Bukan saja sebab Batavia ada kota yang paling besar, keramaiannya tak ada bandingannya di lain-lain tempat di Buitenzorg (Bogor), Sukabumi, Cianjur, dan Bandung. Di sepanjang jalanan ada penuh dengan rumah makan yang buka sampai pagi pada malam Capgome.

Tempo doeloe, semua perayaan pada malam tanggal 15 menurut almanak Tionghoa, dipusatkan di Glodok-Pancoran. Sementara malam tanggal 16 dilanjutkan di Tanah Abang, Pal Merah, dan Meester Cornelis (Jatinegara).

Pada pesta rakyat ini, semua jenis pertunjukan rakyat Betawi ditampilkan. Seperti wayang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju kurung aneka warna. Musik pengiringnya adalah gambang kromong. Komedi bangsawan, stambul, dan wayang simpe juga ikut memeriahkan. Selain cerita-cerita Tionghoa kuno, wayang ini juga mempertunjukkan kisah 1001 malam.

Para orangtua yang anak gadisnya menonton Cap Go Meh, memesan kepada mereka agar waspada terhadap tangan-tangan jahil berupa pemuda-pemuda iseng. Apalagi di antara mereka banyak yang teler karena menenggak minuman yang diharamkan. Pesta rakyat di jalanan berlangsung hingga dini hari. Karena begadang semalam suntuk, keesokan harinya banyak yang malas bekerja. Bahkan bagi orang yang yang gemar pesta, Cap Go Meh belum usai karena masih dilanjutkan lagi dengan pesta rakyat yang disebut Cap Lak Meh di daerah-daerah Tanah Abang, Pal Merah, Senen, dan Meester Cornelis pada malam keenam belas. Namun, tidak seramai di Glodok-Pancoran.

Seperti juga sekarang saat pesta dangdutan, malam Cap Go Meh juga kerap dinodai keributan. Terutama saat-saat keluarnya naga Tionghoa yang disebut liong-liong, barongsai, dan cungge. Para pemain barongsai adalah para anggota perkumpulan pencak silat (kuntau atau kungfu). Adakalanya bila rombongan dari perkumpulan yang bersaing bertemu, terjadilah perang tanding yang seru, hingga harus dipisahkan oleh polisi.

Menurut Prof James Dananjaja, cungge adalah semacam tandu-tandu berhias, berisikan anak-anak kecil yang mengenakan kostum tokoh-tokoh mitologi atau legendaris Tiongkok kuno, seperti Sie Jin Kui dan Koan Kong. Kala itu, barongsai selain berpawai di jalan raya, juga mengunjungi rumah-rumah orang kaya dan opsir Tionghoa untuk ngamen. Mereka memperoleh angpau cukup besar.

Cungge juga disponsori para hartawan. Ketika itu di depan toko-toko tertentu dipasang rencengan petasan besar-besar, digantungkan di atas tiang-tiang tinggi, yang pada ujungnya diikat angpau berisi uang berjumlah banyak. Hadiah ini khusus diperuntukkan bagi rombongan barongsai yang pandai berakrobat, hingga dapat memanjat tiang tinggi yang digantungi petasan yang terbakar.

Selain di kota, barongsai juga mendatangi perkampungan. Banyak keluarga berharap rumahnya didatangi binatang mitologi suci itu karena menurut keyakinan, rumah yang disinggahi barongsai dapat bersih dari pengaruh arwah roh jahat yang mendatangkan penyakit atau kesialan bagi penghuninya. Tidak heran pemilik rumah akan membuka pintu pekarangannya lebar-lebar menyambut sang barongsai.


(Alwi Shahab)

Banjir Jalan Thamrin 1968

Hujan lebat selama beberapa jam pada awal Februari 1968 atau 41 tahun lalu tidak hanya menyebabkan berbagai tempat di Ibu Kota dilanda banjir, Jalan Thamrin yang merupakan jalan protokol pun digenangi air. Seperti terlihat pada foto, jalan yang menghubungkan Jakarta Pusat dengan Jakarta Selatan seolah-olah berubah menjadi sungai akibat terendam air.

Air setinggi lutut membuat jalan tidak dapat dilalui oleh kendaraan, baik mobil maupun motor. Hal ini mengakibatkan mereka yang hendak pergi ke kantor terpaksa harus berjalan kaki menerobos air setinggi lutut di tengah-tengah hujan yang masih mengguyur.Di sebelah kiri, terlihat gedung yang belum dibangun. Gedung tersebut adalah Gedung Wisma Nusantara yang dibangun sejak masa pemerintahan Bung Karno dan diselesaikan di masa Pak Harto. Kala itu. gedung berlantai 29 tersebut dianggap sebagai pencakar langit tertinggi di Asia.

Di tengah-tengah bangunan-bangunan yang belum usai, tampak Hotel Indonesia yang diresmikan pada 1960 untuk menghadapi Asia Games IV. Di depannya, tampak patung selamat datang yang kini menjadi pusat kegiatan demo. Hotel Indonesia dan Toko Serba Ada Sarinah dibangun berdasarkan pembayaran uang pampasan perang dari Jepang.

Sekitar 40 tahun lalu, Jalan Thamrin dan Jalan Jenderal Sudirman belum seramai sekarang. Kedua jalan ini oleh Bung Karno, dengan adanya patung selamat datang dan Tugu Monas, dimaksudkan sebagai pusat kegiatan Ibu Kota yang pada masa Belanda berpusat di Harmoni, Risywijk (Jl Juanda), dan Nordwijk (Jl Veteran) serta kawasan Gambir dan Lapangan Banteng. Thamrin dan Sudirman baru dilebarkan menghadapi Asian Games IV.

Karena Jl Thamrin dan sekitarnya menjadi langganan banjir, air sering kali menggenangi halaman Istana Merdeka sehingga Pintu Air Manggarai pun ditutup. Akibatnya, banjir beralih ke perkampungan-perkampungan sekitar. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang mengendus isu tersebut kemudian memerintahkan agar Pintu Air Manggarai tetap dibuka dan tidak menjadi soal bila Istana kebanjiran.

Wanita ‘Publik’ di Masa Kolonial

Berbagai istilah diberikan untuk penjaja seks. Sebutan pelacur dan cabo yang sampai kini masih juga populer. Meskipun sempat diperhalus jadi wanita tunasusila (WTS). Istilah itu pun masih diperhalus lagi menjadi PSK (pekerja seks komersial). Tapi di masa kolonial disebut ‘wanita publik’. Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya.

Sejak kedatangan orang Belanda di Nusantara, mereka dihadapkan dengan masalah prostitusi yang tentu saja berdampak dengan merajalelanya penyakit kelamin. Apalagi pengobatan untuk ‘penyakit kotor’ belum ditemukan. Jauh sebelum kedatangan orang Barat prostitusi sudah dikenal sejak zaman pemerintahan feodal kerajaan Jawa. Perempuan dianggap sebagai barang dagangan dan sistem feodal pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang ini.

Pada masa penjajahan Belanda, seperti data-data yang dihimpun Arsip Nasional RI, bentuk industri seks yang terorganisasi berkembang pesat. Ini terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Umumnya aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan. Hingga dikeluarkan Peraturan Pemerintah 1766 yang melarang para ‘wanita publik’ istilah PSK ketika itu memasuki pelabuhan tanpa izin. Namun, peraturan ini tidak berjalan efektif.

Jauh dari Tanah Air, jauh dari keluarga, kesepian, dan lebarnya jarak sosial dengan penduduk asli, berpengaruh terhadap orang-orang Eropa di tanah jajahan. Para prajurit atau pegawai administrasi Belanda sering kali menghadapi kejenuhan terhadap pekerjaan rutin mereka. Dalam situasi demikian mereka mencari hiburan: salah satu sasaran keisengan ini adalah gadis-gadis muda pribumi.

Jauhnya jarak sosial antara penguasa dan rakyat menyebabkan si gadis atau keluarganya berkompromi dengan nasib. Maka terjadilah krisis moral pada masyarakat terjajah sebagai akibat perlakuan kekuasaan kolonial, demikian menurut buku tentang pencegahan prostitusi di masa kolonial. Selain masalah moral semacam itu, dampak lain yang muncul adalah merajalelanya penyakit kelamin. Baik di kalangan gadis-gadis penghibur, maupun di kalangan orang-orang Belanda, khususnya di kalangan tentara maupun pegawai-pegawai Belanda.

Anehnya, rumah sakit kelamin justru dibangun dalam lingkungan penjara. Menunjukkan banyak narapidana yang terjangkit penyakit kotor ini. Seperti juga sekarang, diungkap oleh tayangan sebuah televisi swasta, rutan (rumah tahanan) secara sembunyi-sembunyi dijadikan tempat prostitusi terselubung, demikian juga pada masa kolonial.

Di masa kolonial, banyaknya wanita publik berpraktik di dalam tahanan menyebabkan penyebaran penyakit makin bertambah dan juga menjadikan tempat tahanan sebagai tempat yang semakin tidak bermoral. Suatu penelitian pada 1874 menunjukkan sebanyak 2.000 serdadu yang terkena penyakit sipilis setiap tahunnya, dan terdaftar 5.000 - 6.000 kasus penyakit menular lainnya. Penyebabnya tidak lain karena ‘wanita publik’.

Begitu gawatnya penyakit kelamin hingga di Magelang, dalam suatu razia dari 26 wanita yang terjaring, 24 orang di antaranya menderita penyakit kelamin yang cukup menular. Karenanya, pemeriksaan kesehatan terhadap para anggota militer setidaknya dua kali per minggu.

Berdasarkan surat dari Residen Sumatra Utara pada 9 Desember 1889 diberitahukan sejumlah orang Cina yang bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan tembakau Medan merangkap juga sebagai WTS. Mereka beroperasi sudah sejak lama. Banyak penyakit sipilis dan kelamin berasal dari wanita Cina ini, yang menurut laporan itu umumnya wanita muda. Di Deli, terdapat 30 ribu pekerja Cina dan mereka datang tanpa istri menyebabkan mereka pergi ke rumah-rumah bordil.

Pada 1870, saat perekonomian jajahan terbuka bagi penanaman modal swasta terjadilah migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagai dampak dari perluasan areal perkebunan dim Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatra, pembangunan jalan raya dan jalur kereta api.

Sebagian pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap prostitusi. Hingga tahun 1890, hampir separuh dari pria Eropa hidup bersama selir lokal, dan setelah itu, karena aktivitas perseliran tidak diterima masyarakat, menyebabkan mereka mencari WTS. Pelacuran makin berkembang secara marak.Perkebunan yang dikembangkan di Jawa dan Sumatra setelah 1870 merekrut sejumlah besar buruh yang menetap di perkebunan tersebut. Para pekerja diperkenalkan dengan sistem ekonomi baru.

Dibayar dengan uang kontan sebagai imbalan jasa. Biasanya setelah menerima pembayaran, mereka mengunjungi perkampungan-perkampungan di sekitar tempat tinggal mereka. Melalui jalur ini banyak perempuan muda dari kampung-kampung itu menjadi wanita publik.Pada 31 Desember 1896 surat dari Departemen Pertahanan dan Keamanan di Hindia Belanda kepada Gubernur Jenderal mengemukakan keprihatinan terhadap makin berkembangnya perdagangan wanita di Batavia, sekaligus meningkatnya prostitusi. Untuk itu pengawasan terhadap prostitusi pun diperketat. Sampai 1942, saat berakhirnya pemerintah Belanda, di tempat-tempat pelacuran tercantum bahwa militer tidak diperkenankan masuk. Sewaktu-waktu PM (Polisi Militer) melakukan razia-razia.

Hidup pada Masa Pendudukan Jepang

Pada 4 Maret 1942 tentara Belanda meninggalkan Batavia, takluk pada Jepang. Keesokan harinya, sesudah matahari terbenam, ibukota Hindia Belanda jatuh ke tangan pendudukan Jepang. Batavia diganti menjadi Jakarta. Aksi pertama yang dilakukan pemerintah militer Jepang guna mendapatkan simpati rakyat adalah Gerakan Tiga A: Nippon (Jepang) pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia.

Semua penduduk di daerah yang telah ditaklukkan Jepang setiap pagi wajib memberi hormat pada Kaisar Jepang dengan membungkukkan badan 90 derajat yang disebut — Saikerai — ke arah utara dan timur, tempat kaisar Jepang berada dan tempat matahari terbit.

“Tidak ada yang bisa menandingi matahari. Barangsiapa yang berani melawannya akan menerima nasib seperti salju yang mencair di sinar matahari,” kata mereka. Banyak ulama yang menetang keras kewajiban ini karena dianggap musyrik.

Kedatangan tentara Jepang pada awalnya disambut hangat. Apalagi negeri matahari terbit itu menjanjikan kemerdekaan dengan slogan, Asia telah dikembalikan kepada bangsa Asia. Malahan seminggu setelah menguasai Jakarta, surat kabar Tjahaja Timoer memuat berita usulan mengenai kabinet yang akan terdiri dari orang Indonesia.

Diusulkan nama-nama yang akan masuk anggota Kabinet Indonesia ini, antara lain PM Abikoesno Tjokrosoejoso, Wakil PM Ir Soekarno, Menlu Dr Soedjono, Menteri Ekonomi Drs Moh Hatta, Menteri Pendidikan Ki Hadjart Dewantara, dan Menteri Agama KH Mansyur. Tapi, keesokan harinya bagian Pers dan Dinas Propaganda Jepang menyatakan berita tersebut tidak benar.

Bagaimana keadaan kota Jakarta dan Nusantara pada masa pendudukan Jepang? Ali Satiri (79 tahun) menuturkan, “Barang-barang makanan, di mana-mana sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, itu pasti kami peroleh dari cara gelap dan jumlahnya tak banyak, hanya untuk makan sehari-dua hari saja.” Seorang camat, Soedjono Hadipranoto, mengisahkan, “semua barang yang diperlukan oleh militer Jepang diambil dan ditempeli tulisan Milik Dai Nippon.

Seorang ibu rumah tangga yang mengalami masa pendudukan Jepang menuturkan, kesulitan memperoleh beras dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari menyebabkan masyarakat dalam kota melakukan berbagai cara untuk bertahan hidup, sekalipun sudah dalam kondisi paling rendah.

Untuk sekadar mengganjal perut, banyak orang menjual perabotan rumah tangga, dan sebagian lain mendatangi pasar loak (barang bekas). Waktu itu pemerintah Jepang tidak mengizinkan orang di dalam rumah tangga mempunyai lebih empat kilo beras. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan dari rumah ke rumah. Kalau ketahuan melebihi ketentuan, ditangkap.

Yang paling ditakuti masyarakat adalah Kompetai (polisi rahasia Jepang). Selain itu, Jepang juga memiliki mata-mata yang diberi nama Kipas Hitam. Banyak di antara mereka adalah wanita penghibur.

HB Yassin dalam buku Di Bawah Pendudukan Jepang, menuturkan, “Bukan main kejamnya Kompetai itu. Saya pernah ditahan selama seminggu di markas mereka di Tanjung Priok. Kacamata saya dilepas. Selama pemeriksaan saya dibentak-bentak dengan kata-kata kasar. Sepeda saya dirampas dan saya mendapat penyiksaan yang menyakitkan ketika kaki dinaikkan ke atas dan kepala di bawah.”

Pada masa pendudukan Jepang hampir tiap malam lampu dimatikan, dengan alasan ada serangan musuh (Amerika). Pemadaman listrik ditandai dengan teriakan, “Kusyu-keiho!” berulang-ulang dari peronda malam. Penduduk yang ketakutan mematikan lampu dan masuk ke lubang perlindugan yang berada di halaman tiap rumah.

Saat berada di lubang perlindungan kita diwajuibkan menggigit sebuah karet bundar setebal lima Cm seperti layaknya petinju. Maksudnya, bila musuh melakukan pemboman kita harus menggigitnya keras-keras.

Akibat kelaparan, orang sudah menganggap biasa bila melihat ada yang sakit parah berada di tepi jalan menunggu sakratul maut. Para pengemis mengais sisa-sisa makanan — kalau ada — di tempat-tempat sampah. Waktu itu banyak rakyat memakai pakaian dari karung goni dan kain dari karet.

Tidak tersedianya obat-obatan dibenarkan oleh Dr Haji Ali Akbar, karena disembunyikan oleh Jepang untuk keperluan perang mereka. Banyak orang sakit di mana-mana tanpa pertolongan samasekali dari pemerintah. “Sebagai dokter muda saya tidak bisa menolong banyak penderitaan orang-orang yang tergeletak di daerah Kramat. Ya hanya sedih saja, sambil membayangkan betapa kejamnya orang-orang Jepang,” kata Dr Ali Akbar.

Kekuatan invasi Jepang di Jawa berjumlah 6-8 divisi atau 100-120 ribu orang. Selama tiga setengah tahun tanpa disertai istri dan dalam suasana perang, untuk memenuhi kebutuhan biologis, mereka memerlukan wanita. Jugun ianfu adalah istilah yang digunakan untuk merujuk wanita penghibur yang terlibat dalam perbudakan seks selama perang dunia II.

Jugun ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya. Mereka direkrut menjadi jugun ianfu secara paksa (diambil begitu saja di jalan atau di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan dijadikan pemain sandiwara.

Sampai saat ini, para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik akibat pengalaman pahit yang mereka alami.


(Alwi Shahab)

Istana Weltevreden Jadi RS Gatot Subroto

Sulit untuk menerka apalagi membayangkan bahwa foto ini adalah Rumah Sakit Gatot Subroto, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sebelum menjadi rumah sakit pada 1857, bangunan yang indah dengan pepohonan rimbun di sekitarnya merupakan Istana Weltevreden yang dibangun Gubernur Jenderal Jocob Mossel pada 1769.

Untuk memasuki istana orang harus berjalan kaki jauh ke belakang setelah melewati pintu gerbang. Jacob Mossel membelinya dari Justinus Vinck yang memiliki tanah luas di Weltevreden dan kemudian membuka dua buah pasar: Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Hingga sekarang kedua pasar ini banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai penjuru nusantara. Walau sudah berusia hampir dua setengah abad, kedua pasar ini terus-menerus melakukan pembaharuan dan modernisasi.

Untuk menghubungkan kedua pasarnya, Vinks membangun sebuah jalan yang kini kita kenal dengan Jalan Parapatan dan Kebon Sirih. Karena jalan tersebut belum baik, dia juga menggali Kali Lio di Senen untuk memudahkan sampan-sampan mengangkut kebutuhan pasar yang menjadi sumber penghasilan masyarakat.

Pada abad ke-19 di sekeliling Pasar Senen dan Lapangan Banteng, oleh Gubernur Jenderal Daendels, dijadikan sebagai pusat militer. Sampai 1970-an, bersebelahan dengan Kali Lio, terdapat Jalan Siliwangi yang sangat luas yang merupakan kompleks perumahan militer. Di namakan Kali Lio dulu di sini terdapat pembuatan lio untuk membuat bahan bangunan.

Di samping kanan RS Gatot Subroto terdapat Markas Batalion X NICA yang kemudian menjadi salah satu markas KKO (kini Marinir). Sedangkan di sebelah kirinya terdapat Jalan Kwini, tempat para perwira Belanda tinggal. Pada zaman Belanda dia bernama Hospitalweg (Jalan Rumah Sakit) termasuk sekolah kedokteran pribumi STOVIA.

Gambar ini ketika diambil oleh seorang perwira Kompeni, J Rach, merupakan kediaman Gubernur Jenderal Abertus van den Parra (1763) yang membelinya dari gubernur yang digantikannya, Mossel. Pada abad ke-18 orang Belanda di Indonesia yang beriklim tropis masih berpakaian seperti di negerinya. Terlihat beberapa orang tengah membersihkan pekarangan. Van der Parra yang dikenal sebagai gubernur yang senang foya-foya terlihat sedang berbincang dengan seorang pembantunya.

Kompeni Mandi Seminggu Sekali

Sulit untuk menerka apalagi membayangkan bahwa foto ini adalah Rumah Sakit Gatot Subroto, di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sebelum menjadi rumah sakit pada 1857, bangunan yang indah dengan pepohonan rimbun di sekitarnya merupakan Istana Weltevreden yang dibangun Gubernur Jenderal Jocob Mossel pada 1769.

Untuk memasuki istana orang harus berjalan kaki jauh ke belakang setelah melewati pintu gerbang. Jacob Mossel membelinya dari Justinus Vinck yang memiliki tanah luas di Weltevreden dan kemudian membuka dua buah pasar: Pasar Tanah Abang dan Pasar Senen. Hingga sekarang kedua pasar ini banyak didatangi pembeli dari Jakarta dan berbagai penjuru nusantara. Walau sudah berusia hampir dua setengah abad, kedua pasar ini terus-menerus melakukan pembaharuan dan modernisasi.

Untuk menghubungkan kedua pasarnya, Vinks membangun sebuah jalan yang kini kita kenal dengan Jalan Parapatan dan Kebon Sirih. Karena jalan tersebut belum baik, dia juga menggali Kali Lio di Senen untuk memudahkan sampan-sampan mengangkut kebutuhan pasar yang menjadi sumber penghasilan masyarakat.

Pada abad ke-19 di sekeliling Pasar Senen dan Lapangan Banteng, oleh Gubernur Jenderal Daendels, dijadikan sebagai pusat militer. Sampai 1970-an, bersebelahan dengan Kali Lio, terdapat Jalan Siliwangi yang sangat luas yang merupakan kompleks perumahan militer. Di namakan Kali Lio dulu di sini terdapat pembuatan lio untuk membuat bahan bangunan.

Di samping kanan RS Gatot Subroto terdapat Markas Batalion X NICA yang kemudian menjadi salah satu markas KKO (kini Marinir). Sedangkan di sebelah kirinya terdapat Jalan Kwini, tempat para perwira Belanda tinggal. Pada zaman Belanda dia bernama Hospitalweg (Jalan Rumah Sakit) termasuk sekolah kedokteran pribumi STOVIA.

Gambar ini ketika diambil oleh seorang perwira Kompeni, J Rach, merupakan kediaman Gubernur Jenderal Abertus van den Parra (1763) yang membelinya dari gubernur yang digantikannya, Mossel. Pada abad ke-18 orang Belanda di Indonesia yang beriklim tropis masih berpakaian seperti di negerinya. Terlihat beberapa orang tengah membersihkan pekarangan. Van der Parra yang dikenal sebagai gubernur yang senang foya-foya terlihat sedang berbincang dengan seorang pembantunya.

Blog Resmi Djakarta Tempo Doeloe

Untuk kelanjutan tulisan-tulisan mengenai sejarah Djakarta tempo doeloe dapat dibaca di http://alwishahab.wordpress.com/