Sunday, April 20, 2008

Trem Uap di Balai Kota

Foto akhir abad ke-19 ini terlihat trem uap sedang berhenti di terminal di depan Lapangan Balai Kota (Stadhuisplein) yang kini menjadi Gedung Museum Sejarah DKI Jakarta, Jalan Fatahillah 1, Jakarta Barat. Trem uap dengan bahan bakar batubara mulai beroperasi di Batavia pada 1881 menggantikan trem kuda yang beroperasi sejak 1869.

Trem uap kemudian digantikan oleh trem listrik pada 1899 dan berakhir awal 1960-an pada masa Wali Kota Sudiro. Jaringan perhubungan dalam dan luar kota Batavia makin berkembang dan meluas pada paruh abad ke-19, antara lain disebabkan pertumbuhan ekonomi.

Trem uap dan juga trem listrik menelusuri Balaikota, dari arah Tanah Abang - Harmoni dan berakhir di Pasar Ikan. Di samping dari Meester Cornelis (Jatinegara) - Salemba - Senen - Sawah Besar - Jl Gajah Mada - Glodok dan Pasar Ikan setelah melewati Balai Kota. Pada saat trem kuda beroperasi dilaporkan banyak binatang ini yang mati saat beroperasi akibat kelelahan menarik gerbong yang memuat puluhan orang. Seringkali saat hendak memasuki terminal Tanah Abang kuda yang untuk dua gerbong ditarik empat ekor tidak kuat menanjak di Tanah bang Bukit. Karena kuda-kuda itu menggigit besi maka masyarakat menamakannya sebagai 'zaman kuda gigit besi'. Pada abad sebelumnya karena meriam sebelum ditembakkan harus lebih dulu disundut dengan obor, maka dinamakan 'zaman meriam sundut'.

Mengenai trem uap, seorang tentara yang baru tiba di Batavia dari Belanda menulis: "Dari kejauhan terdengar bunyi lonceng trem uap, persis seperti di Belanda." Di atas lokomotif berdiri masinis pribumi dengan petugas yang menyalakan api. Dua kondekturnya adalah orang Betawi muda berseragam tapi tanpa alas kaki. Sementara kepala kondektur seorang Eropa pensiunan tentara. Trem itu memiliki kelas satu dan kelas dua dan gerbong khusus kelas tiga untuk pribumi yang membayar dengan murah. Tapi orang Eropa, Cina, dan Arab tidak diperbolehkan duduk di kelas tiga. Menunjukkan bagaimana pemerintah Hindia Belanda melakukan sistem rasialis. "Orang-orang yang di negeri Belanda hanya berprofesi sebagai pemerah susu di Hindia mereka menganggap dirinya luar biasa," tulis tentara tersebut dalam bukunya Batavia abad ke-20. Bukan hanya trem uap, trem listrik pun berlaku juga sistem rasialis.

Ketika trem hendak digusur, Wali Kota Sudiro memohon pada Presiden Soekarno agar jaringan trem dari Jatinegara - Senen tetap dipertahankan. Tapi Bung Karno menolak dan menganggap trem tidak cocok untuk kota semacam Jakarta. Dia lebih setuju dibangun metro atau kereta api bawah tanah. Kini saat Pemprov DKI membangun busway ada yang berpendapat kenapa bukan trem saja yang dihidupkan kembali. Karena ia dapat mengangkut ratusan orang.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Kantor Pusat KPM di Noordwijk

Foto ini merupakan gedung kantor pusat KPM (Koninklijke Paketvaard Maatchappij) yang diabadikan 1910. Letaknya sekitar kawasan Noordwijk (kini Jalan Ir Juanda) Jakarta Pusat. Foto ini diproduksi oleh GJC Kolff penerbit dan percetakan terbesar di Nusantara pada masa Hindia Belanda. Sang fotografer mengabadikannya dari Citadel Weg (kini Jalan Veteran I), Jakarta Pusat. Citadel dalam Belanda berarti kubu pertahanan.

Karena dulunya di tempat ini terdapat kubu pertahanan untuk mempertahankan kota Batavia dari musuh yang datang dari arah selatan. Di sebelah kiri gedung yang kini sudah tidak berfungsi lagi terletak jalan kereta api Noordwijk (kini stasion KA Juanda). Terlihat kereta api yang tengah berhenti di stasion tersebut. Sedangkan di sebelah kanan gedung terdapat Wilhelmina Park (Taman Wilhelmina) yang kini menjadi masjid Istiqlal masjid termegah di tanah air. Wilhelmina adalah ratu Belanda dan nenek dari Beatrix, ratu Belanda saat ini.

Pada 1923, KPM yang merupakan salah satu perusahaan terbesar di dunia, pindah dari gedung ini ke Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, yang kini ditempati oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Begitu berjayanya KPM dengan cerobongnya bewarna kuning dan hitam, pada masa itu boleh dikata tidak ada bisnis pelayaran sebesar KPM.

Perusahaan ini dicanangkan pada 1888 dan tiga tahun kemudian (1891) memulai dengan 13 buah kapal uap, makin terus berkembang. Pada 1908, KPM membuka pelayaran ekspres Surabaya - Semarang - Batavia, sebagai bagian dari pelayaran Jawa - Australia. Pada 1915, KPM membuka lini pelayaran Belawan Deli - Selat Cina. Seterusnya dari Belawan Deli ke Ragon (kini Yangon) Birma. Tahun 1927, KPM mengembangkan sayap usahaanya dari Saigon (kini Ho Chin Minh City) ke Maluku secara tetap.

KPM sejak beroperasi (1891) armada kapalnya secara rutin berlabuh di 30 pelabuhan di Indonesia termasuk ke pelabuhan-pelabuhan kecil. Kala itu, dalam masalah pelayaran tidak ada masalah karena armada-armada KPM dapat menyinggahinya. Ketika itu, KPM memiliki armada sebanyak 136 buah dengan jumlah 260 ribu gross ton.

Mengangkut 1,25 juta penumpang dan 3,5 juta ton barang muatan. KPM mulai beroperasi beberapa saat setelah dimulainya kapal uap dan dibukanya Terusan Suez (1869) yang memperpendek pelayaran samudera dari Eropa ke Asia dan Australia. Hingga ikut memodernisasi kota Batavia. Pada 1957, perusahaan pelayaran Belanda ini dinasionalisasi menjadi Pelni.

( Alwi Shahab, wart awan Republika )

Pintu Kecil di China Town

Inilah Pintu Kecil di kawasan Glodok atawa China Town Jakarta Kota. Foto yang diabadikan awal penggantian abad ke-19 ke abad ke-20, Pintu Kecil masih belum dipadati kendaraan bermotor seperti sekarang. Tampak delman di tengah jalan raya, kereta kuda yang mendominasi angkutan penumpang kala itu.

Delman berasal dari nama seorang Belanda FC Th Deelemen yang merancang kereta kuda beroda dua yang populer di Jakarta hingga saat ini. Kini delman sudah merupakan barang langka di jalan-jalan raya. Padahal sampai 1950-an masih merupakan angkutan rakyat. Begitu banyaknya kendaraan yang ditarik oleh kuda, hingga pada masa itu di berbagai tempat di Jakarta terdapat kobongan berbentuk bundar terbuat dari semen yang dalamnya sekitar 75 cm. Berisi rumput dan dedak serta air untuk makanan kuda yang tengah beristirahat.

Beberapa rumah tradisional Tionghoa yang meniru gaya di negaranya kini hampir sirna dan berubah menjadi toko-toko dengan gaya modern. Tapi kini Pemprov DKI berusaha untuk melestarikan yang masih tersisa. Nama pintu kecil berasal dari nama pintu untuk masuk ke benteng Kota Batavia.

Sedangkan jalan raya di dekatnya yang bernama pintu besar merupakan pintu lebih besar menuju benteng. Di kedua pintu ini baik siang maupun malam diadakan penjagaan yang ketat terhadap mereka yang akan keluar masuk.

Karena itu Pintu Kecil dan Pintu Besar terletak di luar kota yang dikellingi tembok (benteng). Sesudah 'pemberontakan' orang Tionghoa pada Oktober 1740 -- tragedi paling berdarah dalam sejarah Jakarta yang menelan korban 10 ribu warga Cina -- VOC atawa kompeni melarang mereka untuk tinggal di dalam kota berbenteng. Baik Pintu Kecil dan Pintu Besar yang terletak di kawasan China Town Glodok terletak di sebelah selatan benteng yang berpusat di Pasar Ikan bersebelahan dengan Museum Bahari yang kala itu merupakan gudang rempah-rempah. Benteng kota Batavia ini telah dihancurkan gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) karena dianggap sarang penyakit. Gubernur jenderal pengagum Kaisar Napoleon Bonaparte ini kemudian membangun Weltevreden sekitar Gambir dan Lapangan Banteng.

Glodok -- termasuk Pintu Kecil dan Pintu Besar -- dikenal sebagai Wall Street-nya Jakarta karena merupakan pusat bisnis dan perdagangan. Konon sampai 1970-an -- saat-saat bisnis dan perdagangan masih berpusat di Kota -- dari tempat inilah sebagian besar uang beredar.

Alwi Shahab, wartawan /Republika

Toko Serba Ada di Molenvliet

Foto yang diabadikan tahun 1890-an adalah departemen store (toko serba ada) pertama di Batavia. Letaknya di Molenvliet West (kini Jalan Gajah Mada). Namanya menggunakan bahasa Belanda Eigen Hulp yang juga memproduksi pakaian seragam untuk para militer Belanda yang bertugas di Batavia.

Seperti juga sekarang, toko serba ada banyak memiliki cabang (eigen hulp) yang artinya 'tolong menolong'. Eigen hulp juga terdapat di Noordwijk (kini Jl Juanda) yang agak lebih kecil. Di sebelah kirinya terdapat Hotel Marine, hotel yang kala itu cukup bergengsi. Di depannya terlihat lampu gas, penerangan pada abad ke-19. Demikian juga mobil yang belum terdapat di Batavia, angkutan berupa andong yang ditarik kuda yang tengah ngetem menunggu penumpang.

Di Noordwijk (Jl Juanda), eigen hulp khusus menjual perabot rumah tangga (furniture). Produk alat-alat rumah tangga eigen hulp sangat terkenal di Batavia dan dalam pameran di Pasar Gambir (1907) mendapat piala emas sebagai penghargaan atas produksinya yang bergaya mutakhir. Sayangnya toko serba ada ini kegiatannya terhenti pada tahun 1929 dan ditempat ini kini berdiri pertokoan.

Sementara toko serba ada di Jl Gajah Mada yang dilewati oleh trem listrik dari Jatinegara-- Tanah Abang dan Gambir-- menuju Pasar Ikan, jalan rayanya masih tampak lengang dan dinaungi oleh pohon-pohon rindang. Jl Gajah Mada yang dipisahkan oleh Sungai Ciliwung dengan Jalan Hayam Wuruk, satu abad lalu merupakan kawasan elite di Batavia. Karena sejak awal abad ke-19, warga 'bule' ramai-ramai meninggalkan 'kota lama' di Jakarta Kota yang dianggap sumpek dan sarang penyakit. Demikian juga dengan Risjwik (Jl Segera) dan Noordwijk (Jl Juanda) menjadi kawasan paling elite di Batavia.

Charles Walter Kinloch seorang turis warga Inggris yang berkunjung ke Batavia pada 1852 menyebgutkan : ''Kehidupan elite Eropa dan Belanda di Batavia penuh glamour''. Wanitanya senang menggunakan pettocoat terbuat dari sutera. Mereka mendatangkan pakaian-pakaian modern terbaru dari Paris dan London, yang kala itu merupakan pusat mode. Di eigen hulp juga banyak didapati barang impor dari Eropa seperti buana spria, alat-alat musik, dan mainan anak-anak.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Harmoni Tahun 1952

Inilah simpang empat Harmoni yang sekalipun namanya telah diubah menjadi Jalan Majapahit, Jakarta Pusat, tapi nama Harmoni masih tetap melekat hingga kini. Foto ini diabadikan tahun 1952 ketika trem listrik (seperti terlihat dalam foto) masih menjadi transportasi utama di Ibu Kota. Terlihat trem tengah mengangkut penumpang dari Jatinegara menuju Pasar Ikan melewati Harmoni. Nama Harmoni diambil dari rumah bola yang merupakan tempat hiburan bergengsi untuk para bule. Sambil meminum kopi dan menikmati dansa dansi di lantai pualam di antara para meneer (tuan Belanda) melakukan transaksi dagang di tempat ini.

Dalam tahun 1950-an, penduduk Jakarta yang sebelum Perang Dunia II (1942) hanya berpenduduk 500 ribu, tiba-tiba melonjak menjadi tiga kali lipat. Tidak heran kalau Harmoni yang semula merupakan kawasan elite, diramaikan oleh kendaraan. Mobil-mobil itu ketika foto ini diabadikan masih didominasi mobil dari Amerika dan Eropa. Harganya sekitar Rp 500 ribu.

Mobil Jepang belum nongol. Demikian sepeda motor seperti Vespa (Italia) dan Harley Davidson (AS). Becak kala itu masih bebas berkeliaran ke segenap penjuru Jakarta. Tidak heran kalau masyarakat pedesaan banyak yang mengadu nasib di Jakarta menjadi penarik becak. Naik becak dari Pasar Senen ke Pasar Baru ongkosnya hanya sekitar lima perak. Sedangkan naik trem hanya setengah perak (50 sen).

Di sebelah kanan Harmoni yang banyak terlihat pepohonan terletak Jalan Jaga Monyet menuju ke Grogol dan terus ke Tangerang. Dinamakan demikian, karena pada masa VOC untuk menghadapi serangan dari pejuang-pejuang Islam Banten, Belanda membangun pos penjagaan yang kini kira-kira berada di Bank Tani dan Nelayan (BTN). Karena para serdadu VOC lebih banyak terusik oleh monyet-monyet yang banyak berkeliaran, dan binatang ini sering mengganggu prajurit maka dinamakan: Jaga Monyet. Yang kemudian menjadi nama jalan. Sayangnya nama tempat yang bersejarah itu diganti menjadi Jl Sukardjo Wiryopranoto.

Di sekitar Harmoni-- terutama daerah Rijswijk (Jl Segera) dan Noordwijk (Jl Juanda)-- sejak masa Raffles saat Inggris berkuasa dijadikan sebagai kawasan kulit putih. Raffles menggusur pekuburan dan memindahkan toko dan warung milik Cina. Di sini berdiri toko-toko yang menjual busana yang didatangkan dari Paris dan London. Di dekat Harmoni yang disebut Molenvliet (kini Jl Hayam Wuruk) terdapat sebuah hotel yang paling anggun di Jakarta: Hotel des Indes. Pada awal 1970-an hotel yang dulu banyak ditempati korps diplomatik dan tamu asing, dibongkar dan dijadikan pertokoan Duta Merlin.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )