Wednesday, March 12, 2008

Ellya Khadam

Situasi politik Jakarta sejak akhir 1950-an sampai awal 1960-an dalam keadaan bergolak. Bung Karno, yang baru saja mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UUD 1945 setelah mendepak demokrasi liberal, mengajak rakyat menjadi kekuatan progresif revolusioner.

Bung Karno juga mengutuk keras kebudayaan asing, seperti dansa-dansi, musik twist, dan lagu-lagu The Beatles, sampai memenjarakan kelompok musik Koes Plus. Bahkan, dalam berpakaian pun tidak dibenarkan wanita mengenakan busana you can see dan rambut sasak. Celana panjang blue jeans dan celana ketat juga diharamkan. Termasuk, rambut gondrong yang menjadi incaran aparat untuk memangkasnya secara paksa.

Dalam situasi demikian, Orkes Melayu (OM) saat itu dangdut belum muncul menjadi tontonan yang paling digemari masyarakat. OM main di berbagai pesta hajatan, seperti resepsi perkawinan dan khitanan. Pada pertengahan 1950-an muncul penyanyi Melayu, Ellya Agus, yang kemudian setelah menikah dengan seorang keturunan India berganti nama menjadi Ellya Khadam.

Anak Kampung Kawi, Pedurenan, Jakarta Selatan, itu memulai karir menyanyi dari balik jendela. Itu terjadi di Kwitang, Jakarta Pusat, di kediaman seorang keturunan Arab. Ia menyanyi bukan di depan panggung, tapi mikrofon diantarkan kepadanya yang tengah duduk di balik jendela. Pendek kata, dalam waktu dekat, nama putri Betawi kelahiran 23 Oktober 1938 ini meroket. Dia mengalahkan penyanyi utama Melayu saat itu, Johana Satar dan Hasnah Tahar.

Ellya, yang sangat menggemari lagu-lagu India, rupanya belajar bahasa dari Negeri Gangga itu. Apalagi kala itu, suaminya, Khadam, keturunan India. Ellya sejak 1955 sampai masa kejayaannya dalam tahun 1980-an telah merekam tidak kurang dari 400 lagu. Kecintaannya terhadap lagu-lagu berirama India terlihat dari lagu yang diciptakannya. Ia banyak meniru lagu dari film-film India yang kala itu banyak penggemarnya.

Bahkan, dia mendapat kehormatan untuk menyambut kedatangan aktor dan sutradara India terkenal, Raj Kapoor, di Bandara Kemayoran, Jakarta Pusat. Lagunya, Boneka dari India, yang sampai kini tetap digemari orang, yang diciptakannya sendiri, menjadi fenomena menarik dalam sejarah musik di Indonesia. Ketika lagu ini diciptakan, orkes Melayu telah berubah menjadi dangdut.

Setelah lagu tersebut meledak, Ellya kemudian menciptakan lagu Kau Pergi Tanpa Pesan konon sebagai ungkapan rasa rindu terhadap kekasihnya, seorang keturunan Arab, yang pergi meninggalkannya. Ellya semakin dikenal ketika bersama Orkes Malayu Chandraleka pimpinan Husein Bawafie turut mendampingi penyanyi M Mashabi dan Munif Bahaswan. Banyak lagu-lagu mereka yang masuk rekaman. Ellya juga ikut bermain di sejumlah film.

Pada 1960-an, orkes bermain hingga jauh malam, didukung situasi keamanan yang tidak separah sekarang ini. Kala itu, peristiwa kriminil yang paling menggemparkan adalah ketika terjadi perampokan tempat pameran emas di Museum Nasional.

Oleh masyarakat Jakarta museum itu disebut Gedung Jodoh. Tiap Ahad pagi sampai sore di sana digelar kesenian Sunda dengan penyanyi Upit Sarimanah. Musium Nasional kala itu merupakan salah satu tempat hiburan yang paling banyak dikunjungi orang. Perampokan itu dipimpin oleh Kusni Kasdut, bersama empat orang kawannya. Mereka menyatroni museum dengan menggunakan pakaian polisi dan menaiki mobil jeep.

Di antara tangan kanan Kusni Kasdut adalah Bir Ali, anak Cikini Kecil -- sekarang ini letaknya di belakang Hotel Sofyan. Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir.

Seperti dituturkan oleh H Irwan Syafi'ie, sekalipun Bir Ali telah dipenjara tapi setiap malam dia bisa keluar dan tidur di Pedurenan, di rumah salah seorang artis penyanyi dangdut yang kesohor kala itu. Tentu saja yang dimaksud adalah kediaman Ellya Khadam.

Suatu ketika, pihak kepolisian Seksi III Pasar Baru mendapat info bahwa seorang bernama G yang dicari-dicari aparat keamanan tengah menginap di rumah seorang artis dangdut yang menjadi kawan dekatnya. Ketika seorang polisi, pada dini hari, menggerebek rumah si penyanyi, yang tidur di lantai bawah adalah Bir Ali. Sedangkan G, yang diincar polisi, menginap di lantai dua.

Begitu polisi mengetok pintu lantai pertama, Bir Ali langsung menembak polisi tersebut. Tapi, aparat keamanan, sambil terjatuh, juga masih keburu menembak Bir Ali. Tertembak lehernya, Bir Ali masih bisa melarikan diri sekitar 100 meter untuk kemudian jatuh dan menghembuskan napas terakhirnya.

Sang polisi mengalami nasib yang sama. Sementara, G yang menjadi sasaran penangkapan berhasil melarikan diri. Tentu saja sang artis dangdut menangis histeris menyaksikan dua mayat tergeletak di kediamannya. Peristiwa ini kala itu benar-benar menggemparkan kota Jakarta.

Peristiwa kejahatan lain yang menghebohkan pada tahun 1960-an, menurut H Irwan Syafi'ie, adalah ketika iring-iringan mobil pick-up yang membawa rokok Escort keluaran British American Tobacco (BAT) dirampok di Gang Thomas (kini Jl Tanah Abang V), Jakarta Pusat. Tapi, para pelakunya berhasil digulung pihak kepolisian.

Saat ini Ellya Khadam, dalam usianya yang mendekati kepala tujuh, masih bersemangat kalau diajak berbincang soal musik dangdut. Bahkan, dia kini berencana untuk memproduksi sendiri albumnya, yang selama belasan tahun pernah menjadi hit di tanah air. ''Termasuk mempersiapkan lagu baru,'' tutur nenek 14 cucu itu.

(Alwi Shahab)

Sogok

Dalam sejarah Islam tercatat, Umar bin Abdul Azis dikenal sebagai seorang khalifah yang sangat jujur, tidak pernah mau menerima hadiah dari siapa pun. Sesaat setelah ia dinobatkan datanglah seorang konglomerat yang hendak memberikan hadiah kepadanya. Tapi, khalifah menolak keras pemberian itu. Umar bin Abdul Azis mengartikannya sebagai usaha penyuapan dan penyogokan.

Kolusi dan persekongkolan antara pejabat dan pengusaha yang dapat berdampak pada penyuapan, penyogokan, korupsi, dan pemberian katebelece, sangat ditentang keras oleh Islam. Apalagi kalau dilakukan oleh seorang pejabat, ketika dilantik atas nama Allah dia bersumpah untuk tidak menerima hadiah atau sesuatu pemberian yang diketahui atau diperkirakan akan merugikan negara dan jabatannya. Suatu sumpah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah.

Ini dijelaskan baik dalam Alquran maupun sunah. Nabi Muhammad SAW bersabda, ''Orang yang memberikan sogok, yang menerimanya, dan yang menjadi perantaranya, semuanya masuk neraka.''

Khalifah Ali bin Abi Thalib ketika mendapat laporan bahwa gubernurnya di Mesir dijamu makan oleh para pengusaha setempat, dia menjadi khawatir dan memperingatkan, ''Tegakkanlah keadilan dalam pemerintahan dan pada diri Anda sendiri, dan carilah kepuasan rakyat, karena kepuasan rakyat memandulkan kepuasan segelintir orang yang berkedudukan istimewa. Ingatlah! Segelintir orang yang berkedudukan istimewa itu tak akan mendekati Anda ketika Anda dalam kesulitan.''

Untuk menangkal sikap tak terpuji, Imam Ghazali menyatakan, malu dan takut kepada Allah merupakan langkah pencegahan paling efektif untuk menangkis segala penyelewengan, termasuk korupsi dan penyogokan. Rasulullah SAW menyebutkan tanda-tanda orang munafik. Salah satu di antaranya adalah 'apabila dia dipercaya, dia berkhianat'. Sabdanya lagi, ''Sesungguhnya tak ada agama bagi orang yang tidak mempunyai amanat.'' Sedangkan menurut ulama kontemporer Sayid Sabiq, ''Kejujuran adalah tiang keutamaan, tanda kemajuan, bukti kesempurnaan dan penampilan dari perilaku yang bersih.''

Dari berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi SAW menjadi jelas dan tidak disangsikan lagi bahwa Islam mengutuk segala bentuk kolusi, penyuapan, dan sogok-menyogok, mengingat bahayanya bagi masyarakat. Aparat yang 'terbeli' tidak dapat lagi bersikap objektif, sementara rakyat kecil di bidang hukum mendapat perlakuan yang tidak adil. Apabila hal ini dibiarkan akan membahayakan sendi-sendi negara, dan hilanglah kepercayaan rakyat terhadap aparat penegak hukum.

Pembantaian Glodok

Etnis Cina di Indonesia -- terbesar di Asia Tenggara -- baru saja merayakan Imlek, dan disusul perayaan Capgomeh pada malam ke-15 Imlek. Masih banyak lagi hari raya dan pesta rakyat, yang pada tempo doeloe dirayakan bukan hanya oleh etnis Cina, tapi juga masyarakat Betawi. Seperti, Peh Cun (hari ke-100 Imlek), dan pesta Ceng Beng yang jatuh pada tanggal 5 April 2008.

Pesta Peh Cun juga dikenal dengan pesta perahu naga. Dulu -- ketika sungai-sungai di Jakarta masih lebar dan dalam -- pesta Peh Cun berlangsung sangat meriah di Kali Besar, Kali Pasir/Kwitang, Pasar Ikan, Kali Angke, dan di Sungai Cisadane Tangerang (Benteng).

Masyarakat Cina di Indonesia tidak hanya mengalami saat-saat menyenangkan. Seperti, pada tahun 1740 yang menurut para sejarawan merupakan noda paling hitam di Jakarta. Data kontemporer menyebutkan tidak kurang 10 ribu orang Cina -- pria, wanita, lansia sampai bayi yang baru lahir -- telah dibantai oleh VOC secara kejam.

Kasus pembantaian terhadap etnis Cina itu ratusan kali lebih dahsyat dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Nama Kali Angke (dalam Mandarin berarti Kali Merah) menjadi kenangan bahwa kali yang berdekatan dengan Glodok ini saat itu telah menjadi merah karena darah.

Peristiwa kekejaman itu dimulai ketika orang-orang Cina yang mencari peruntungan di Batavia jumlahnya mencapai 80 ribu orang. Banyak di antara mereka yang bekerja di pabrik-pabrik gula yang masa itu merupakan penghasilan bidang perkebunan terbesar di Jakarta.

Sayangnya, tiba-tiba harga gula di pasaran internasional menurun drastis akibat membludaknya gula Malabar (India). Pabrik-pabrik gula di Batavia pada bangkrut, sehingga banyak warga Cina yang menjadi penganggur dan gelandangan. Dampaknya, kriminalitas di Batavia meningkat tajam.

Kemudian, VOC buat peraturan untuk membatasi kedatangan warga Cina. Mereka yang tinggal di Batavia harus memiliki izin tinggal, berusaha atau berdagang. Tapi, bagi para pejabat VOC hal ini dijadikan kesempatan untuk melakukan pungli.

Belum puas dengan peraturan itu, VOC mengeluarkan peraturan lebih berat. Warga Cina, baik yang sudah memiliki surat izin tinggal maupun belum, tapi tak memiliki pekerjaan, harus ditangkap. Warga Cina terguncang, mereka terpaksa tinggal di rumah-rumah dan menutup toko-toko.

Ratusan warga yang kena razia diberangkatkan paksa ke Sri Langka yang kala itu merupakan jajahan Belanda. Tapi, kemudian tersiar isu, di tengah perjalanan mereka dilemparkan ke tengah laut. Maka gegerlah warga Cina di Batavia dan sekitarnya.

Mereka lantas membantuk kelompok-kelompok terdiri dari 50 sampai 100 orang dan mempersenjati diri untuk melawan Belanda. Kemudian pasukan VOC yang tengah menuju Benteng (Tangerang) diserang orang-orang Cina. Pada 8 Oktober 1740 orang-orang Cina yang berada di luar kota Batavia mulai menyerang kota.

Perlawanan itu menjadi alasan bagi tentara dan pegawai-pegawai VOC untuk melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap etnis Cina. Jam malam pun diberlakukan di Batavia. Pada tanggal 10 Oktober 1740, gubernur jenderal Adrian Volckanier mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Cina.

Suasana kota sangat kalut. Para prajurit VOC, bahkan kelasi-kelasi yang kapalnya bersandar di Bandar Sunda Kalapa, diminta untuk melakukan pembantaian. Mereka merampok, membakar dan menjarah toko-toko, serta tanpa mengenal malu memperkosa wanita-wanita Cina.

Begitu biadabnya pembantaian itu, hingga para pasien termasuk bayi-bayi yang berada di RS Cina (kira-kira di depan Stasion KA Beos), juga dibunuh. Orang-orang Cina di penjara bawah tanah di Balaikota (stadhuis) yang berjumlah 500 orang, semuanya juga dibunuh.

Untuk menggambarkan dasyatnya peristiwa tersebut, Willard A Hanna dalam buku Hikayat Jakarta menulis, ''Tiba-tiba secara tidak terduga, seketika itu juga terdengar jeritan ketakutan bergema di seluruh kota, dan terjadilah pemandangan yang paling memilukan dan perampokan di segala sudut kota.''

Menurut laporan kontemporer, 10 ribu orang Cina dibunuh, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan barang-barang mereka habis dirampok. ''Pendeknya, semua orang Cina, baik bersalah atau tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut,'' tulis Hanna.

Ketika peristiwa menakutkan ini terjadi, perkampungan Tionghoa berada kira-kira di sebelah utara Glodok, di Kalibesar. Kemudian VOC membangun perkampungan baru untuk mereka sedikit di luar tembok kota, yang kini dikenal dengan nama Glodok.

Kala itu, yang menjadi kapiten Cina adalah Nie Hoe Kong. Dia dituduh menjadi aktor intelektual dan dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa menyedihkan itu. Dia dijebloskan ke penjara pada 18 Oktober 1740 oleh gubernur jenderal Adrian Valckenier (1737-1741).

Setelah melalui persidangan yang melelahkan, bertele-tele dan dipolitisir, Nie Hoen Kong divonis 25 tahun penjara dan diasingkan ke Srilangka. Setelah mengajukan keberatan, kapiten Cina ini akhirnya dibuang ke Maluku. Rumahnya, di sekitar Kalibesar, ditembaki dengan meriam, dan ia pun dipenjara selama 5 tahun di benteng Robijn.

Pada 12 Pebruari 1745 dia diangkut sebagai tawanan ke Maluku disertai beberapa orang keluarganya dengan kapal De Palas. Setelah beberapa lama ditahan di tempat pembuangan, dari hari ke hari kesehatannya makin menurun. Dia meninggal pada 25 Desember 1746 dalam usia muda: 36 tahun.

Setelah peristiwa pembantaian warga Cina, gubernur jenderal Valckenier digantikan oleh mantan panglimanya, Baron van Imhoff. Kediamannya itu kini dikenal sebagai toko merah. Memang diperkirakan di sekitar tempat itulah terjadi pembantaian di luar perikemanusiaan.

Kalau bagi masyarakat Cina warna merah berarti kagoembiraan, tapi kali itu merupakan duka nestapa. Karena, mengalirnya ribuan darah korban pembantaian.

(Alwi Shahab )

De Javasche Bank dan Perang Jawa

Inilah Kantor Pusat De Javasche Bank yang berlokasi di Jakarta Kota. Di zaman Belanda tidak ada bank gemeente (pemerintah). Yang ada bank partikulir alias swasta. Bank pertama yang didirikan adalah De Javasche Bank pada 24 Januari 1828. Ketika itu Perang Diponegoro (1825-1830) tengah berkecamuk. Belanda mengeluarkan ongkos besar untuk biaya perang yang oleh Belanda disebut Perang Jawa.

Untuk itu Belanda pinjam sana-sini termasuk dari luar negeri untuk biaya perang. Pangeran Diponegoro yang heroik baru dapat ditaklukkan setelah Belanda secara licik mengajak ia untuk berunding di Magelang. Lembaga perbankan dirasakan keperluannya. Hanya komisaris bank yang diangkat oleh gubernur jenderal. Sedangkan presiden direkturnya sejak yang pertama sampai yang terakhir dipilih oleh para pemegang saham.

Tanpa dukungan cadangan emas, De Javashe Bank yang tahun 1953 diambil alih oleh pemerintah RI, bank ini mengeluarkan uang kertas dan meminta masyarakat menukarkan uang emasnya. Tentu saja masyarakat tidak mempercayai dan lebih percaya menyimpan uang di bawah bantal. Apalagi ketika itu masyarakat masih menganggap bunga bank adalah haram. Ketika de Javasche Bank diambil alih pemerintah, gubernur jenderal pertamanya adalah Mr Syafrudin Prawiranegara.

Dia dikenal dengan julukan gunting Syafrudin karena menggunting uang kertas seperti lima gulden menjadi dua setengah gulden. De Javasche Bank merupakan perusahaan swasta yang modalnya berasal dari tiga puluh empat pemegang saham. Di era selanjutnya de Javasche Bank diberikan kuasa untuk menjadi perusahaan terbatas (PT) (Limited Liability Company) yang ketika itu disebut Naamlooze Venootschap (NV) berdasarkan ketetapan Peraturan Perdagangan (Commercial Code) yang dikeluarkan di Buitenzorg (Bogor) pada 16 Maret 1881.

De Javasche Bank yang kini menjadi Bank Indonesia sejumlah petingginya kini tengah menghadapi masalah. Mereka kini tengah dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sehubungan aliran dana Rp 100 miliar ke sejumlah anggota DPR, para aparat hukum dan pengacara. Sebagian di antara mereka sudah ditahan dan gonjang-ganjing BI yang sudah berlangsung lebih sebulan jadi isu utama, cukup goyahkan ekonomi dan cadangan devisa RI turun dua juta dolar AS. Kini gedung BI menjadi museum Bank Mandiri.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Kampung Melayu-Priok

Menaiki mikrolet dari terminal Kampung Melayu menuju stasion kereta api Tanjung Priok kita harus beberapa kali berganti kendaraan. Seorang sopir mikrolet yang dulu disebut Ostin berasal dari nama kendaraan Austin buatan Eropa mengeluh berkurangnya penumpang sejak beroperasinya bus way.

Kampung Melayu, yang telah dikenal sejak abad ke-17, dijadikan tempat pemukiman orang-orang Melayu yang berasal dari Malaka di bawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus. Dia digambarkan sebagai orang yang cerdas dan piawai dalam melaksanakan tugas, baik tugas administrasi maupun di lapangan sebagai perwira.

Tapi, sayangnya Kapten Wan Abdul Bagus sangat mengabdi kepada Kompeni, dimulai sebagai juru tulis, juru bahasa, sampai ditunjuk sebagai utusan ketika kompeni menghadapi masalah di Sumatera Barat. Kapten Melayu yang pernah ikut kompeni dalam menumpas pemberontakan Mataram, Banten dan Pangeran Trunojoyo, itu meninggal pada tahun 1716 dalam usia 90 tahun.

Setelah meninggal, Wan Abdul Bagus digantikan oleh putranya, Wan Muhamad, yang kawin dengan Syarifah Mariam yang pernah membuat geger Kesultanan Banten karena berpihak pada Sultan Haji ketika ingin mengambil kekuasaan Banten dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan sekaligus bersekongkol dengan gubernur jenderal Van Imhoff.

Oleh gubernur jenderal berikutmya Syarifah diasingkan ke Pulau Edam di Kepulauan Seribu hingga meninggal. Makamnya masih sering diziarahi untuk meminta nomor buntut, terutama saat Hwa-Hwe.

Mikrolet kemudian berhenti di Bukit Duri. Dulu di sini terdapat penjara wanita yang kemudian dibangun Kompleks Pertokoan dan Perumahan Bukit Duri Permai. Bukit Duri, yang masuk wilayah Meester Cornelis, dulu merupakan bagian terpisah dari Batavia dan pada 1924 dijadikan nama Kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Batavia.

Baru pada 1 Januari 1936, setelah berbentuk gemeente, Bukit Duri disatukan dengan gemeente Batavia. Perubahan nama Meester Cornelis menjadi Jatinegara dilakukan pada masa pemerintahan Jepang (1942-1945).

Kemudian, mikrolet meluncur ke Matraman. Kini Pemda DKI Jakarta dibuat pusing oleh perkelahian yang entah sudah berapa kali antara warga Berland dan Pal Meriam. Padahal, antara kedua kelurahan yang saling berseberangan itu sudah dibangun pagar pemisah yang cukup tinggi dari besi.

Matraman pernah dijadikan basis oleh pasukan Sultan Agung ketika menyerang Batavia (1628-1629). Entah bagaimana kata Mataram itu oleh lidah Jakarta menjadi Matraman. Sekalipun dua kali penyerangan itu gagal karena tidak didukung logistik, para bangsawan Mataram yang kemudian tinggal di Jakarta cukup handal dalam penyiaran agama. Terbukti, banyak masjid yang mereka bangun dan hingga kini masih berdiri.

Melewati Pasar Senen, kita harus pindah ke mikrolet Senen-Kota. Di Jl Senen Raya ini dulu gubernur jenderal van den Parra membangun istana sekaligus tempat peristirahatan yang megah. Kini menjadi Rumah Sakit Pusat AD Gatot Subroto.

Jalur mikrolet Senen-Kota melewati Pasar Baru -- pasar yang ada belakangan setelah lingkungan sekitar lapangan Gambir dibuka oleh gubernur jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811). Daerah yang menjadi pusat pemerintahan VOC itu oleh Daendels dinamai Weltevreden (tempat yang menyenangkan).

Dari Pasar Baru, mikrolet menuju Jl Pintu Besi (kini Jl Samanhudi). Di sini terdapat pusat penjualan suku cadang terbesar di Jakarta. Namanya Musatek dan sebelumnya Percetakan Siliwangi. Gedung yang luas itu dulu milik pahlawanan nasional M Husni Thamrin. Di sinilah dia wafat pada tahun 1941. Waktu dimakamkan di TPU Tanah Abang, jumlah pelayatnya ditaksir mencapai ratusan ribu orang, padahal penduduk Jakarta kala itu baru setengah juta jiwa.

Setelah berganti mikrolet di stasion kereta api Bios, kita mendapati puluhan mikrolet yang sedang menunggu penumpang ke Priok. Stasion KA Tanjung Priok sudah belasan tahun ini tidak terurus lagi. Yang menyedihkan, banyak tuna susila tinggal dan memasak sampai ke dalam stasion.

Stasion Tanjung Priok dibangun setelah pelabuhan Tanjung Priok dibuka untuk menggantikan Pelabuhan Sunda Kalapa yang sejak dibukanya Terusan Suez (1868) tidak lagi dapat menampung armada kapal-kapal uap yang menggantikan kapal layar.

Sejak Terusan Suez dibuka, jumlah warga Barat di Nusantara terus meningkat pesat. Pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 40.000 jiwa, atau meningkat delapan kali lipat. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu dan 20 tahun kemudian jumlah orang Eropa di Nusantara mencapai 91.142 jiwa.

Tanjung Priok berperan sebagai tempat transit warga Barat yang datang ke Batavia dan sekitarnya. Mereka naik kereta api dari stasion KA Tanjung Priok. Di salah satu bagian dari stasion KA itu dulu terdapat sebuah hotel yang cukup baik bagi mereka yang tiba kemalaman. Stasion ini bukan hanya mengangkut penumpang untuk kota Jakarta dan sekitarnya, tapi juga untuk jarak jauh seperti Semarang dan Surabaya.

Dulu stasion Tanjung Priok punya jaringan hingga ke dermaga pelabuhan (1885), kemudian disempurnakan dengan membangun stasion baru pada 1886. Pada kesempatan itu juga digunakan kereta api listrik pertama di Hindia Belanda dari Meester Cornelis ke Tanjung Priok.

Stasion ini merupakan stasion monumental dengan delapan jalur. Bangunannya bertumpu pada ratusan tiang pancang yang memiliki atap penutup dari beton. Ketika stasion KA ini dibuka, seperti juga stasion dan bangunan-bangunanm besar lainnya, dilakukan selamatan untuk seluruh karyawan dengan menanam dua kepala kerbau di sisi stasion. Kabarnya, pihak PT KAI dalam waktu dekat akan mengoperasikan kembali stasion KA Tanjung Priok yang telah bertahun-tahun tidak berfungsi.

(Alwi Shahab )

Kraton Jayakarta di Kota Intan

Inilah kawasan Kali Besar yang dibelah oleh sungai Ciliwung. Sebelah kiri tempat Hotel Omni Batavia berada Jalan Kali Besar Barat dan sebelah timur Kali Besar Timur. Di tengah-tengah muara sungai terletak Jembatan Gantung Kota Intan yang telah berusia ratusan tahun. Jembatan ini merupakan jembatan tarik/jungkat terakhir di Jakarta yang sebelumnya banyak terdapat pada masa VOC. Jembatan ini bisa diangkat saat kapal-kapal hendak memasuki Kali Besar yang pada masa jayanya menjadi pusat perdagangan rempah-rempah.

Di muara Ciliwung yang merupakan bandar Sunda Kalapa inilah pada 22 Juni 1572, Panglima Balatentara Muslim Falatehan dari Demak mengusir Portugis yang secara sepihak mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Hindu Pajajaran yang berpusat di Batutulis, Bogor.

Di kedua sisi jembatan Kota Intan kini berdiri terminal bus Jakarta Kota. Di sekitar tempat yang tampak dalam foto inilah Falatehan mendirikan Kraton Jayakarta. Kota Jayakarta terbentang dari utara ke selatan di mana terdapat kedua anak sungai Ciliwung.

Di tempat yang banyak terdapat pohon kelapa inilah kira-kira berdiri kraton (dalem). Di sebelah selatan terdapat alun-alun dan di sebelah barat alun-alun terdapat sebuah masjid dan selatan alun-alun terdapat pasar. Tata kota dengan penempatan bangunan-bangunan seperti kota Jayakarta pada dasarnya tak berbeda dengan tata kota lainnya di pesisir utara Jawa pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam seperti Banten, Cirebon dan Demak. Bangunan-bangunan kraton, masjid, pasar, dan alun-alun mencerminkan pusat kekuasaan politik antara masyarakat dengan raja dan birokrat. Ketika itu Kraton Jayakarta -- juga terdapat perumahan para abdi dalem -- dikelilingi oleh pagar kota dari bambu yang kemudian menjadi pagar tembok.

Dari berita Belanda, penduduk kota utama Jayakarta sekitar tiga ribu kepala keluarga atau sekitar 15 ribu jiwa. Pada 30 Mei 1619 Belanda tanpa mengenal ampun telah menghancurkan dan membumihanguskan Kraton Jayakarta. Termasuk masjid tempat ibadah yang seharusnya dihormati. Pihak penjajah bukan hanya menghancurkan Jayakarta tapi mengusir seluruh penduduk. Kita dapat membayangkan bagaimana 15 ribu jiwa termasuk anak-anak kecil harus menyingkir ke Jatinegara Kaum yang jaraknya sekitar 20 km dari Kota Intan.

Kala itu mereka harus melewati hutan belukar. Di Jatinegara Kaum mereka mendirikan Masjid Asy-Salafiah yang hingga kini masih berdiri tegak. Pangeran Jayakarta dan anak buahnya melalui masjid menggerakkan pasukan bergerilya melawan Belanda.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Ilmu Pengetahuan

Abu Rayhan Al-Biruni, seorang fisikawan yang hidup pada abad ke-4 Hijriah, banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu. Hingga ia dijuluki sebagai salah seorang ilmuwan Muslim terbesar. Suatu ketika, saat ia menjelang ajalnya di pembaringan, seorang sahabatnya, ahli fikih, datang menjenguk. Bagi Biruni, ini merupakan kesempatan yang baik untuk bertanya tentang berbagai masalah hukum.

Ahli fikih itu terkejut dan berkata, ''Saya pikir, saat ini bukanlah waktunya Anda membahas ilmu pengetahuan.'' Biruni langsung menjawabnya, ''Anda salah. Saya pikir akan lebih baik sekiranya saya mengetahui masalah ini kemudian meninggal dunia, daripada saya tidak mengetahui lalu meninggal.''

Ilmu pengetahuan adalah 'makanan' rohani kita. Di samping memikirkan kepentingan jasmani kita juga harus berpikir tentang 'makanan' rohani dan spiritualnya. Imam Husein, cucu Nabi Muhammad SAW berkata, ''Aku merasa heran pada sekelompok orang yang hanya sibuk memikirkan apa yang harus ia makan, namun sama sekali tidak berpikir tentang ilmu yang ia harus miliki.'' Islam mewajibkan kepada umatnya --baik pria maupun wanita-- untuk menuntut dan memperdalam ilmu pengetahuan. ''Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim,'' sabda Rasulullah SAW.

Kalau kewajiban agama seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, selalu dikaitkan dengan waktu dan mensyaratkan kedewasaan, namun mencari ilmu pengetahuan wajib sejak manusia dilahirkan hingga meninggal dunia. Di dalam Alquran banyak perintah untuk mempelajari dan mengadakan perenungan tentang rahasia-rahasia penciptaan alam, watak manusia, sejarah, hukum, dan seterusnya. Sejarah Islam mencatat, ketika beberapa orang kafir ditawan dalam Perang Badar, Nabi Muhammad memerintahkan untuk membebaskan mereka dengan tebusan. Namun, beberapa yang bisa membaca dan menulis mendapatkan perkecualian. Bagi mereka, tebusannya adalah mengajarkan ilmu kepada pemuda-pemuda Islam.

Islam menempatkan ilmu pengetahuan begitu penting, juga bisa terlihat dalam masalah jihad, dalam arti berperang di jalan agama. Bagi orang Islam yang sedang mempelajari ilmu, mereka dibebaskan dari kewajiban itu (At-Taubah:129).

Tentang tingginya kedudukan orang yang menuntut ilmu ini, Allah berfirman, ''Katakanlah! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya, orang-orang bijak sajalah yang bisa menerima pelajaran.'' (al-Zunur: 9). Menurut sejumlah ahli tafsir, ilmu yang dimaksudkan dalam Alquran itu bukan hanya ilmu agama, tapi juga mencakup berbagai disiplin ilmu yang dapat memberikan sumbangan bagi peradaban dan kesejahteraan dunia.

Pesta Capgomeh

Tahun baru Imlek telah berlangsung meriah di berbagai tempat di Indonesia. China Town -- Glodok dan Pancoran -- didominasi warna merah. Sejak angpau, parsel, kartu ucapan selamat, hiasan dinding, sampai makanan untuk keperluan liangsium (sembahyang), semua dikemas dalam warna merah yang bagi masyarakat Cina adalah lambang keberuntungan.

Keramaian semacam itu telah berlangsung sejak ratusan tahun di Indonesia -- kecuali selama 32 tahun masa Orba. Setelah Imlek disusul dengan Capgomeh atau malam ke-15 setelah tahun baru Cina. Ramainya tidak kalah dengan karnaval yang digelar di jalan-jalan di Amerika Latin.

Jumlah masyarakat keturunan Cina di Indonesia paling besar di Asia Tenggara. Lebih besar dari keturunan Cina di Malaysia yang merupakan sepertiga penduduk negeri jiran, yang berjumlah sekitar 20 juta jiwa, itu. Di luar daratan Cina, dewasa ini jumlah orang Cina di Asia mencapai 40 juta jiwa. Di Asia Tenggara, jumlah keturunan Cina terbesar ada di Indonesia.

Menurut pengamat Cina, Prof Dr James Danandjaya, para hoakiau (Cina perantau) di Asia memproduksi 600 miliar dolar AS dalam bentuk barang dan jasa di negara asal mereka. Termasuk pengusaha keturunan yang mengadakan investasi di daratan Cina. Sementara, orang Tionghoa perantau yang hidup di AS dan Kanada menyumbang 80 prosen dari penanaman modal di RR Cina. Mereka mendanai sampai terjadinya ledakan ekonomi (economic boom) yang membuat Cina menjadi pasar ketiga terbesar di dunia, setelah AS dan Jepang.

Begitu berpengaruhnya budaya Cina. Istilah kawin perak untuk perkawinan suami istri mencapai 25 tahun dan kawin emas untuk 50 tahun serta kawin berlian untuk usia perkawinan 60 tahun, pun berasal dari Cina. Memang tak selalu ada acara khusus dalam pesta perkawinan tersebut. Biasanya hanya ada jamuan makan siang atau malam, dengan bersulang anggur bersama keluarga dan para tamu.

Dalam tradisi Cina di Indonesia, terutama tempo doeloe, ada banyak sekali hari raya dan pesta rakyat. Termasuk Capgomeh pada malam ke-15 Imlek. Banyak orang dari luar kota Betawi yang sengaja datang untuk turut merayakan Capgomeh. Pada malam itu ada kebiasaan, terutama di kalangan kaum perempuan Betawi keturunan Cina, untuk begadang sambil memasang kuping untuk menangkap semua kata yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang lalu lalang di depan rumah mereka pada waktu keadaan sudah sepi.

Menurut keyakinan mereka, kata-kata yang diucapkan orang yang sedang lewat itu adalah ramalan nasib bagi yang mendengarnya. Misalnya, jika seorang perempuan mendengar orang lewat mengatakan, ''Biar dia begitu, ia itu adalah tauke.''

Menurut keyakinan, dalam waktu singkat di kemudian hari, suaminya akan menjadi pengusaha besar, walaupun pada waktu itu hanya seorang kuli toko di Pintu Kecil. Demikian tulis James Danandjaja dalam Folklor Tionghoa.

Pesta Capgomeh meriah banget dan berlangsung semalam suntuk. Tak heran kalau keesokan harinya orang malas bekerja dan memilih tidur. Bagi orang yang gemar pesta sampai kini belum ada yang mengalahkan kemeriahan malam Capgomeh, karena berlangsung selama beberapa hari dan diadakan di berbagai tempat.

Setelah Capgomeh, acara dilanjutkan dengan pesta rakyat yang disebut Caplakme (malam ke-16 Imlek). Di Jakarta berlangsung di daerah-daerah Tanah Abang, Pal Merah, dan Meester Cornelis (Jatinegara). Meskipun, tidak seramai pesta Capgomeh di kawasan Glodok dan Pancoran.

Dalam Capgomeh ada keramaian yang disebut ciakko (rebutan bendera), upacara untuk menyembayangi orang-orang yang tidak disembayangi oleh keluarganya karena terlalu miskin. Masyarakat Cina memberikan sumbangan uang dan barang serta bahan makanan. Kemudian barang-barang itu ditempatkan dalam bakul-bakul, lalu ditancapi bendera segi tiga aneka warna.

Capgomeh dimulai dari tempat beradanya topekong yang kemudian dikeluarkan dari wihara dan digotong ramai-ramai menyusuri jalan-jalan raya, diiringi orkes tanjidor yang berasal dari Portugis.

Rupanya, waktu itu, pacaran berbeda dengan sekarang. Kalau kini muda-mudi cukup saling menyapa atau kedip-kedipan, tidak demikian pada zaman baheula. Proses pacaran dimulai dengan saling melempar hwaatkweee alias kue apem dan kue tiongcuphia yang bentuknya seperti bola kecil. Kedua kue itu berisi kacang hijau yang telah dihaluskan. Menurut keyakinan orang Cina ketika itu, kedua kue tersebut menjadi simbol pengharapan. Artinya, yang mulanya kecil lama-lama menjadi besar.

Kalau dalam lempar melempar kue baik di hari Capgomeh maupun Pehcun (hari ke-100 setelah Imlek) ada kecocokan, dan muda-mudi saling naksir, proses selanjutnya bisa merembet ke perjodohan. Meskipun si gadis sudah jatuh cinta kepada si pemuda, tapi masih ada persyaratan yang harus dilalui. Si pemuda harus berkunjung kerumah calon mertoku.

Saat kunjungan pertama itu si pemuda harus membawa sepasang ikan bandeng. Lebih-lebih pada hari Capgomeh. Menurut orang Cina, cialat atau celaka dua belas bagi calon mantu yang datang (sowan) tanpa membawa sepasang ikan bandeng. Calon mantu yang begini akan dianggap tidak punya liangsim atau rasa malu. Pergi sowan ke rumah gadis pilihan tanpa membawa sepasang bandeng dianggap membuat malu calon mertua di depan tetangga.

(Alwi Shahab )

Pasar Baru, Pasar Gelap Uang Asing

Pasar Baru, Jakarta Pusat, tahun 1920'an terlihat spanduk dalam Belanda yang isinya kira-kira berbunyi : ''Mari datang ke Bata untuk mendapatkan rupa-rupa sepatu.'' Rupanya spanduk ini digelar menjelang tahun pelajaran baru. Bata merupakan salah satu pabrik sepatu terbesar sampai tahun 1970'an. Sepatu buatan Ceko ini ketika itu saingan utamanya HANA. Tapi sayang pabrik sepatu ini kini boleh dikata tidak berproduksi lagi. Bata pabriknya terletak di Jl Kalibata, Jakarta Timur yang sampai kini masih berproduksi dan memiliki ribuan tempat penjualan di mal-mal, supermarket, dan pusat perdagangan.

Pasar Baru pada 1920'an, yang kini tertutup untuk kendaraan kecuali pejalan kaki, ketika itu kendaraan dengan leluasa dapat memasukinya di dua jalan. Terlihat mobil tahun 1920'an diparkir di kiri kanan jalan. Paling depan tampak seorang menggunakan jas dan celana putih-putih kebiasaan kala itu untuk golongan ningrat dengan santai tengah berjalan. Sementara seorang pengendara sepeda tengah melaju ke arah Jl Sawah Besar (kini Jl Kiai Samanhudi). Rupanya mobil tahun 1920'an lebih kecil dibandingkan sekarang.

Di Pasar Baru inilah Toko De Zon (Sinar Matahari) mulai usahanya di sudut kiri jalan raya yang kini telah berkembang di mal dan pertokoan di seluruh Indonesia sebagai kelompok Matahari. Para pedagang di Pasar Baru di samping etnis Tionghoa juga etnis India yang oleh warga Betawi disebut orang Bombay (kini Mumbay). Kedua suku bangsa ini pada tahun 1903 sudah diizinkan tinggal di wijk (daerah kelurahan Belanda). Tio Tek Hong yang pada 1959 berusia 84 tahun dan kelahiran Pasar Baru, menulis bahwa saat berusia 7 tahun ia mulai bersekolah Sekolah Eropa Rendah (Europese Lager School di Schoolweg (kini Jl Dr Sutomo). Dia menceritakan kegemarannya adalah mandi di kali yang kala itu airnya masih jernih.

Ia sering menghanyutkan diri dengan berpegangan kedebong pisang dari Kali Pasar Baru sampai ke Ancol. Kala itu belum ada satupun pedagang kaki lima yang nongol di trotoar Pasar Baru. Di ujung Pasar Baru terdapat Speelhuis atau Gedung Kesenian mempertunjukkan drama atau konser dan hiburan lain, yang dimainkan oleh aktris dan aktor setempat atau permainan opera keliling San Carlo Opera Company dari Italia. Banyak artis Eropa yang kala itu telah mengadakan pertunjukan di Gedung Kesenian. Dulu, seperti juga Glodok, Pasar Baru merupakan pasar gelap penjualan uang dolar. Kalau Anda datang ke mari dan berpakaian agak rapi akan ditawari ...dolar ..., dolar.. dolar secara bisik-bisik. Pada masa Bung Karno karena uang rupiah nilainya sangat jatuh dibandingkan dolar AS, maka pemerintah melarang mengumumkan nilai tukar rupiah terhadap dolar.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Bung Hatta Tolak Uang Saku

KPK bertekad untuk terus mengusut aliran dana Bank Indonesia (BI) kepada sejumlah anggota DPR periode 1999-2004. Bahkan, jumlah nama penerima dana tersebut, yang sebagian telah diumumkan, diperkirakan akan terus bertambah.

Di tengah-tengah kemiskinan yang melanda masyarakat luas, para wakil rakyat di DPR saat ini memperoleh berbagai fasilitas yang sungguh menggiurkan. Seperti, insentif legislasi, berbagai tunjangan, uang operasional, sewa rumah, tunjangan listrik dan telpon, sampai gaji ke-13.

Dalam kaitan kasus di atas dan berbagai kasus korupsi yang makin banyak terjadi, kejujuran, dan cara hidup sederhana Bung Hatta, mantan wakil presiden pertama RI, perlu menjadi contoh, terutama komitmennya terhadap rakyat kecil.

Dalam buku Mengenang Bung Hatta, I Wangsa Widjaya yang selama puluhan tahun menjadi pembantu dan sekretaris Bung Hatta, menulis, Bung Hatta selalu mengembalikan kelebihan uang negara yang diberikan sebagai anggarannya.

Ada kisah menarik ketika pada 1970 setelah ia tidak lagi menjadi Wapres saat ia diundang berkunjung ke Irian Jaya (Papua), untuk sekaligus meninjau tempat ia pernah dibuang pada masa kolonial Belanda. Bung Hatta dengan tegas menolak ketika disodori amplop sebagai uang saku setelah ia dan rombongan tiba di Papu.

Ketika amplop itu disodorkan kepadanya, ia dengan spontan bertanya, ''Surat apa ini?'' Dijawab oleh Sumarno yang mengatur kunjungannya, ''Bukan surat, Bung. Uang... uang saku untuk perjalanan Bung Hatta di sini.'' ''Uang apa lagi? Bukankah semua ongkos perjalanan saya sudah ditanggung pemerintah? Dapat mengunjungi daerah Irian ini saja saya sudah harus bersyukur. Saya benar-benar tidak mengerti uang apa lagi ini?''

''Lho, Bung... ini uang dari pemerintah, termasuk dalam biaya perjalanan Bung Hatta dan rombonga.'' Sumarno coba meyakinkan Bung Hatta. ''Tidak, itu uang rakyat. Saya tidak mau terima. Kembalikan,'' kata Bung Hatta menolak amplop yang disodorkan kepadanya.

Rupanya Sumarno ingin meyakinkan Bung Hatta bahwa dia dan semua rombongan ke Irian dianggap sebagai pejabat dan menurut kebiasaan diberikan anggaran perjalanan, termasuk uang saku. Tidak mungkin dikembalikan lagi. Setelah terdiam sebentar Bung Hatta berkata, ''Maaf, Saudara, saya tidak mau menerima uang itu. Sekali lagi saya tegaskan, bagaimanapun itu uang rakyat, harus dikembalikan pada rakyat.''

Kemudian ketika mengunjungi Tanah Merah tempat ia diasingkan, setelah memberikan wejangan kepada masyarakat Digbul, ia memanggil Sumarno. ''Amplop yang berisi uang tempo hari apa masih Saudara simpan?'' tanya Bung Hatta. Dijawab, ''Masih Bung.'' Lalu, oleh Bung Hatta amplop dan seluruh isinya diserahkan kepada pemuka masyarakat di Digul. ''Ini uang berasal dari rakyat dan telah kembali ke tangan rakyat,'' tegas Bung Hatta.

Meskipun Bung Hatta dan Bung Karno sering berbeda pendapat, tapi hubungan keduanya cukup baik. Sebelum Bung Karno wafat, Bung Hatta dengan terlebih dulu menghubungi Sekretaris Militer Presiden, Letjen Tjokropranolo, meminta izin untuk menjenguk teman seperjuangannya yang sedang sakit keras itu. Bung Karno ketika itu tidak sadarkan diri. Tapi setelah siuman ia berkata dalam bahasa Belanda, ''Oh, Hatta, kau ada di sini. Kau juga Wangsa.''

''Saya melihat ini sebagai pertemuan antara dua orang sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tak tampak. Walau tak berarti keduanya memutuskan persahabatan. Hatta sangat sedih melihat keadaan Bung Karno yang pernah sama-sama berjuang selama puluhan tahun,'' kata Wangsa Widjaya.

Sebelum wafat pada 14 Maret 1980, Bung Hatta membuat surat wasiat kepada Guntur, putra tertua Bung Karno, dengan menyatakan bahwa Bung Karno-lah penggali Pancasila yang tertuang dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Karena, sebelumnya ada pendapat bukan Bung Karno pencetus Pancasila.

Bung Hatta terkenal sebagai orang yang baik dalam hubungannya dengan orang lain, termasuk dengan lawan politiknya. Ketika Alimin, tokoh tua PKI, menderita sakit keras di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Bung Hatta meluangkan waktu untuk menjenguknya. ''Oh, Bung Hatta datang,'' sapa Alimin lemah.

Keluarganya mengatakan, ''Alimin sudah kembali pada ajaran Islam yang dipeluknya sebelum memeluk ideologi komunis!''. PKI sangat membenci Bung Hatta. Pada 1960-an, patung Bung Hatta di GKBI sebagai Bapak Koperasi telah dicopot CGMI -- organiasi mahasiswa PKI.

Kejujuran dan komitmen Bung Hatta sebagai pemimpin yang membela rakyat kecil, menurut Wangsa Widjaya, karena ia seorang Muslim yang taat. Ia tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa. Biasanya beliau shalat Jumat di Masjid Matraman yang tidak jauh dari kediamannya di Jl Diponegoro, Jakarta Pusat.

Bahkan, dalam perjalanan-perjalanan ke luar negeri, Bung Hatta tidak pernah meninggalkan shalat. Begitu taatnya menjalankan perintah agama, tidak heran selama memegang jabatan Wapres, menurur Wangsa, Bung Hatta tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, menumpuk kekayaa, atau memberi fasilitas kepada keluarga dan sahabatnya.

Ketika Bung Hatta hendak melakukan ibadah haji bersama istri dan dua saudarinya, Bung Karno menawarkan agar menggunakan pesawat terbang yang biayanya ditanggung negara. Tapi Bung Hatta menolaknya, karena ia ingin pergi haji sebagai rakyat biasa, bukan sebagai wakil presiden. Dia menunaikan rukun Islam kelima dari hasil honorarium penerbitan beberapa bukunya.

(Alwi Shahab )

Kebon Sirih dan Kusni Kasdut

Foto Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 1890-an atau lebih satu abad silam. Di kiri kanan yang dinaungi pohon asem yang rindang terdapat rumah-rumah besar dengan pekarangan luas. Di tengah-tengah terdapat gardu penjaga, sementara dua pedati -- angkutan umum ketika itu -- sedang melaju di jalan yang sudah diaspal. Dari kejauhan tampak pedagang pikulan. Pedagang yang sama juga terdapat di sebelah kiri kanan. Di depannya tampak wanita Belanda tengah berjalan memakai payung. Karena lebatnya pohon asem sebagai peneduh jalan, di dekat Kebon Sirih di zaman Belanda disebut Tamarindelaan (Jl Asem).
Dari namanya, kawasan ini dinamakan Kebon Sirih, tanaman merambat yang sampai 1960-an sangat digemari terutama oleh ibu-ibu untuk dikunyah disertai kapur, pinang, dan gambir. Istilahnya makan sirih dan bila kita bertamu ke rumah-rumah terdapat tempat sirih dan tempolong untuk membuang ludah yang bewarna merah untuk kemudian mulut digosok-gosok dengan tembakau untuk membersihkannya yang disebut nyisik. Jauh sebelumnya pria dewasa juga banyak yang nyirih seperti rokok sekarang ini. Hingga ada istilah 'uang sirih', yang kemudian digantikan 'uang rokok' untuk menyogok atau menyuap agar usahanya berhasil. Jadi suap di Indonesia sudah berjalan ratusan tahun.
Kawasan Kebon Sirih pernah dijadikan defensilijn (garis pertahanan) Gubernur Jenderal Van Den Bosh pada abad ke-19 sampai ke daerah Senen, Bungur dan Galur yang kini sudah berubah fungsi jadi jalan umum. Pada masa itu, Kebon Sirih oleh orang-orang Belanda disebut de neuwe weg achtger het Koningsplein atau 'alam baru di belakang Koningsplein (kini Monas)'. Kemudian karena di sana seorang hartawan bernama KF Holle disebut Gang Holle. Dalam perkembangan selanjutnya menjadi Laan Holle walaupun resminya Sterreweg. Di sini pernah seorang Yahudi -- yang ketika itu cukup banyak di Batavia -- mendirikan sebuah hotel.
Di Jl Kebon Sirih Timur kita akan menjumpai perajin jok yang sudah turun menurun sejak kakek dan orang tua mereka. Kerajinan jok yang tampak sepi sekarang ini dulu bekerjasama dengan PT Astra sebagai anak angkat perusahaan mobil terbesar di Indonesia ini.
Di Kebon Sirih inilah Kusdi Kasdut sebelum melakukan perampokan emas di Museum Nasional, pernah membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened pada 1960-an. Kusni Kasdut dalam aksinya ditemani oleh Bir Ali anak Cikini. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan, Awab Alhajiri. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembak dari jeep oleh penjahat ini. Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu karena masalah perampokan dengan membunuh korban belum banyak terjadi seperti sekarang.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )