Saturday, October 21, 2006

'Perang Salib' di Selat Malaka

Kini makin marak pagelaran Jakarta tempo doeloe. Yang menggembirakan adalah semakin banyak masyarakat yang ingin mengetahui sejarah kota Jakarta yang sudah berusia hampir lima abad. Sayangnya, sejauh ini lebih banyak ditampilkan sejarah saat-saat penjajahan Belanda. Bahkan di Museum Sejarah DKI Jakarta sendiri hampir tidak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah di masa Sunda Kalapa, Jayakarta, maupun Portugis. Padahal penjajahan di Indonesia diawali dengan kedatangan orang-orang Portugis pada abad ke-15.

Sebelum tiba di Indonesia, Portugis telah terlibat perangdengan orang Islam di Spanyol dan Timur Tengah (Perang Salib). Tidak heran dalam suasana demikian, mereka tiba di Nusantara dengan rasa benci terhadap Islam. Kala itu, Sunda Kalapa berada di bawah kekuasaan Pajajaran yang beragama Hindu/Budha. Pajajaran yang juga tidak senang terhadap pengaruh Islam, akhirnya melakukan kerja sama dengan Portugis, sebelum negara di Eropa Selatan ini diusir dari Teluk Jakarta oleh Falatehan pada Juni 1527. Kala itu, Portugis pada 1511 telah menaklukkan Malaka. Kala itu, pusat perdagangan rempah-rempah dari kepulauan Indonesia berlangsung di Selat Malaka. Sebagian besar diangkut oleh para pedagang Arab ke pelabuhan-pelabuhan di Laut Merah.

Dengan alasan mengambil alih monopoli para pedagang Arab, Portugis menaklukkan Malaka. Ketika menduduki Malaka, Portugis mengerahkan kekuatan 1200 prajurit dan 18 buah kapal. Sebelumnya terlebih dulu menaklukkan Goa di India. Mengapa Goa begitu mudah ditaklukkan? Itu akibat perjanjian persahabatan antara Kerajaan Hindu setempat dengan Portugis, untuk menghadapi Islam yang dianggap sebagai musuh bersama.

Bagaimana eratnya motif dagang dan agama dikemukakan oleh d' Albuquerque -- panglima Portugis ketika memberikan pengarahan kepada anak buahnya, ..... jasa yang akan kita berikan kepada Tuhan kita dengan mengusir orang Moor (Islam-Arab) keluar dari negeri ini adalah memandulkan agama Mohamed sehingga api itu tak akan pernah menyebar lagi sesudah itu. (Mr Hamid Algadri, Politik Belanda terhadap Islam dan keturunan Arab di Indonesia).

Sementara itu, ketika Portugis menaklukkan Malaka, Islam sudah menyebar di kepulauan Nusantara. Karenanya, ketika Portugis melakukan kerja sama dengan Pajajaran dengan membangun loji (benteng) di Sunda Kalapa, para tokoh Islam merasa tersinggung. Dalam suatu pertemuan di Cirebon, para walisongo sepakat untuk menghukum Pajajaran dan Portugis. Tugas diserahkan kepada Pati Unus yang kemudian menunjuk Fatahillah Khan sebagai panglima perang. Setelah mengusir Portugis dan menaklukkan Pajajaran (1527), berakhirlah kerajaan Hindu di Nusantara.

Kita kembali dulu ke saat-saat perjanjian kerja sama pertahanan Portugis-Pajajaran, yang berpusat di Pakuan (Bogor). Untuk mencapai ibukota Pajajaran ini, ekspedisi Portugis menempuh jalur sungai (Ciliwung) selama dua hari dua malam. Tapi pihak Portugis ingin datang ke pusat rempah-rempah, di Indonesia bagian Timur. Maka berlayarlah ekspedisi Portugis terdiri dari tiga kapal menuju kepulauan Maluku. Salah satu kapalnya (El Sabaya) tenggelam di Pulau Sakudi di dekat Madura.

Menurut sejarawan dan pimpinan Lembaga Persahabatan Indonesia-Portugal, Rushdy Hoesein, kini ada upaya-upaya untuk mengadakan penelitian dan mengangkat kembali kapal abad ke-16 yang tenggelam itu. Menurutnya, ketika tenggelam kapal itu membawa berbagai barang hadiah untuk para sultan di Indonesia bagian Timur. Dua kapal lainnya berhasil sampai ke Indonesia Timur. Kala itu rempah-rempah merupakan komoditi penting di Eropa untuk mengawetkan daging dan melawan hawa daging. Portugis mendapatkan jalan ke jalur pusat rempah-rempah dari seorang pedagang Romawi yang mereka tangkap di Malaka.

Jalur pelayaran rempah-rempah tersebut dirahasiakan Portugis. Tapi rahasia itu dibocorkan oleh Heaygen van Linschaten, seorang warga Belanda yang menjadi pegawai di kapal Portugis.

Ketika Malaka ditaklukkan Portugis -- dengan motif dagang dan agama -- pada ab ad ke-16 perang salib di Timur Tengah masih berlangsung, dan di daerah itu pada akhirnya orang Kristen menderita kekalahan yang menentukan. Rupanya semangat perang salib juga berpengaruh di Nusantara.

Terlihat dari tiga kali ekspedisi pasukan-pasukan Islam dari Tanah Jawa (Jepara dan Demak) serta Sumatera (Aceh) menyerang Malaka. Diantaranya dipimpin oleh Pati Unus sendiri. Sekalipun gagal dalam mengusir Portugis dari Malaka karena persenjataan yang tak seimbang, tapi semangat jihad mereka untuk mengusir penjajah patut diacungi jempol.

Menurut Mr Hamid Algadri, penyebaran Islam di kepulauan Indonesia yang begitu cepat sering dipertanyakan setelah Majapahit jatuh dan Demak berdiri. Jawabannya adalah: Agama Islam telah tersebar lama di Pulau Jawa sejak masa Kerajaan Hindu Majapahit. Jauh sebelum orang Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis, memasuki kepulauan Indonesia.

Dari tulisan peneliti sejarah Barat dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang Arab sudah mencapai Indonesia sebelum Islam. Sesudah Islam hubungan terus berlangsung. Hubungan itu demikian eratnya sehingga banyak kerajaan di pantai Jawa didirikan oleh orang keturunan Arab. Dan, mereka memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam.

(Alwi Shahab )

Cobra Jinakkan Preman

Di Jakarta dan berbagai daerah kini bermunculan spanduk-spanduk dengan huruf besar, Rakyat Menolak Premanisme. Spanduk-spanduk itu menunjukkan kebencian rakyat terhadap preman, bahkan mereka dianjurkan untuk melawan, sekalipun kenyataannya kejahatan para preman makin mengganas.

Meskipun ratusan di antara mereka telah didor, preman terus ada. Kapolri Jenderal Pol Sutanto juga memiliki target untuk memerangi dan memberantas preman, tapi berbagai tindak kejahatan terus terjadi. Akibat keadaan Jakarta yang tidak aman, banyak investor yang menghentikan niatnya untuk menanamkan modal di sini.

Melihat premanisme yang sudah makin menakutkan, saya teringat pada satuan Cobra pada tahun 1950-an dan awal 1960-an. Pimpinan organiasi ini adalah putra kelahiran Bangka, Kemang, Jakarta Selatan. Dia seorang militer. Ketika membentuk Cobra ia berpangkat Kapten dan anggota KMKBDR (Komando Markas Kota Besar Dajakarta Raya). Ia dibesarkan di daerah Senen, Jakarta Pusat. Sampai akhir hayatnya (meninggal 9 September 1982 dalam usia 59 tahun), ia lebih dikenal dengan sebutan Kapten Syafi'ie -- sekalipun kala itu sudah berpangkat Letkol.

Tapi, sebelum kita menguraikan keberhasilan Cobra dalam memberantas preman, sebaiknya kita mendatangi kawasan Kampung Melayu Kecil dekat majelis taklim dan perguruan At-Thahiriyah. Sampai tahun 1970-an, di sini terdapat Gang Alhadad, namun kini sudah berganti nama. Nama ini mengacu pada nama tokoh masyarakat Sayyid Muhammad Alhadad.

Keturunan Arab dari Hadramaut itu memiliki kemampuan ilmu silat. Lalu kepandaiannya itu diturunkan pada putranya, Sayyid Abdulkadir Alhadad. Orang lebih banyak memanggilnya Mi Kadir. Menurut cucunya, Umar Alhadad (64), diantara para murid kakeknya terdapat Imam Syafi'ie atau Bang Pi'ie.

Beberapa jagoan Betawi seperti H Dahrif dari Klender, Bekasi, KH Mohd Nur dari Pondok Rangon, Bekasi, termasuk murid Sayyid Kadir. Menurut tokoh Betawi, H Irwan Sjafiie (77), yang pernah dekat dengan Imam Syafi'ie, selain ahli main pukulan, Mi Kadir juga memiliki bermacam ilmu, dan tentu saja ilmu agama. Di kediamannya di Jatinegara, kata H Irwan, dia menyediakan kamar khusus bagi muridnya, Imam Syafi'ie.

Begitu berwibawa dan kharismatiknya Sayid Abdulkadir Alhadad ini, hingga bila ada keributan antar-jagoan, dia cukup mengirimkan utusannya dan menyampaikan salamnya. Dan, hanya dengan menyebut namanya, keributan sudah berakhir. Sayyid Abdulkadir lahir di Jatinegara tahun 1896 dan meninggal dalam usia 62 tahun. Ketika almarhum sakit hingga wafatnya, Letkol Syafi'ie, yang kala itu tengah menempuh pendidikan di SESKOAD Bandung, tiap Sabtu dan Minggu mendatanginya. Termasuk membantu ongkos pengobatannya.

Baiklah kita kembali ke organasasi keamanan Cobra. Ada kisah tersendiri dia menamakan demikian. Pada pertengahan 1950-an di bioskop REX Senen (kini pertokoan) tengah diputar film Darna. Film Pilipina yang jadi box office di Jakarta itu banyak menampilkan ular cobra. "Kebetulan kala itu Bapak juga ikut dalam orkes melayu yang bernama Cobra," tutur Asmawi Syafi'ie (62), putra Imam Syafi'ie, kepada penulis beberapa waktu lalu.

Anggota Cobra banyak dari kalangan pejuang kemerdekaan yang pada masa revolusi fisik menjadi anak buahnya. Sayangnya, setelah kemerdekaan banyak di antara pejuang itu yang tidak mendapat tempat di militer. Agar jangan sampai mereka 'salah jalan' oleh Bang Pi'ie mereka dikumpulkan dalam Cobra.

Cobra melakukan disiplin yang sangat keras terhadap para anggotanya. Menurut Asmawi, anggota yang menyeleweng seperti melakukan kejahatan akan ditindak tegas. Tapi, terlebih dulu ditanyakan kepadanya alasan perbuatannya. Jika alasannya tidak punya pekerjaan dan modal, maka Bang Pi'ie memberinya modal. Tapi, jika setelah mendapatkan bantuan orang bersangkutan kembali melakukan kejahatan, tidak akan diberi ampun.

"Biasanya bapak memukulnya dengan buntut ikan pari yang berduri tajam dan bergerigi. Hukuman itu lebih baik dibandingkan kalau ayah memukul dengan tangan. Apalagi tangan kirinya yang menyimpan pukulan maut. Tidak peduli orang sekuat apapun, dia tidak akan tahan menghadapi pukulan tangan kiri bapak," ujar putranya.

Menurut Haji Irwan, yang pernah dekat dengan almarhum, sukses Cobra dalam membantu menciptakan keamanan di Jakarta tidak lepas dari pendekatan Bang Pi'ie. Termasuk kedekatannya dengan ulama, yang di Betawi kala itu merupakan tokoh yang dihormati. "Saat itu banyak toko dan tempat hiburan di Jakarta yang menempatkan foto Imam Syafi'ie. Biasanya diletakkan dekat meja kasir," ujar Asnawi.

Menurut Irwan, adanya foto jago Betawi itu biasanya merupakan jaminan bahwa tidak ada yang berani mengganggu tempat tersebut. Para preman Jakarta kala itu benar-benar dikendalikan dan hampir-hampir dibuat tidak berkutik oleh Cobra. Sebagai contoh, seorang yang kehilangan atau kecopetan di suatu tempat, ia dapat mengadukan kepada tokoh masyarakat setempat. Biasanya barang yang dicuri atau dicopet itu bisa ditemukan dalam beberapa hari. Dalam mengamankan Jakarta, Imam Syafi'ie berpegang pada prinsip, "Cari makan di Jakarta silahkan. Tapi kalau ganggu gue jangan macam-macam."

Imam Syafi'ie, dalam mengamankan Jakarta, mendapatkan bantuan dari dua orang tangan kanannya, Ahmad (Mad) Bendot dan Saumin, Keduanya juga sangat ditakuti. Mengingat jasa-jasanya semasa revolusi dan mengamankan Jakarta, Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) pernah mengusulkan agar nama salah satu jalan di kawasan Senen mengabadikan nama Imam Syafi'ie.


(Alwi Shahab)

Mandi Merang Nyambut Puasa

Jakarta tahun 1950-an masih penuh pepohonan. Tidak gersang seperti sekarang. Air sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta masih bersih. Demikian pula sejumlah sungai lainnya. Sungai-sungai itu masih dapat digunakan untuk mandi, mencuci, dan mengambil wudhu. Untuk itu dibangun banyak getek di kiri kanan sungai.

Ada sesuatu yang unik yang kini sudah tidak terdapat lagi di Jakarta. Ketika itu, sehari menjelang bulan suci Ramadhan, di sekitar getek-getek itu, para ibu, termasuk gadis-gadis, dengan berkemben melakukan siraman (mandi keramas) untuk membersihkan seluruh tubuhnya.

Acara siraman itu dengan menggunakan merang, yakni batang padi yang dibakar. Merang itu direndam kemudian dioleskan ke seluuruh tubuh, mulai dari tambut sampai mata kaki. Maklum, kala itu yang disebut shampo belum ada dan belum dikenal. Meskipun banyak juga yang rambutnya berketombe dan kutuan. Tapi nama ketombe juga belum menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia.

Siraman dengan air merang bukan hanya dimaksudkan untuk membersihkamn badan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah membersihkan hati. Kala itu, untuk mandi, sebagian masyarakat masih menggunakan sabun cuci. Sabun yang terkenal kala itu adalah sabun 'cap tangan'.

Kecuali Lifebouy, sabun-sabun mandi seperti Lux dan Camay, harus dibeli dari inang-inang yang berbelanja di Singapura. Waktu itu, untuk membeli barang-barang impor kita mendapatkannya dari para inang yang banyak berbelanja di Singapura. Atau, membeliunya di black market, seperti di Pasar Ular Tanjung Priok.

Kala itu, di bulan puasa (untuk menghormati yang sedang berpuasa), rakyat tidak berbuat sesuatu yang menyolok. Misalnya merokok atau makan minum di luar rumah, yang kini tanpa mengenal malu banyak dilakukan justru oleh mereka yang beragama Islam. Maklum, ketika itu -- khususnya di kampung-kampung warga Betawi -- tak ada warung makanan yang buka selama Ramadhan.

Kini, paling satu dua hari saja warung-warung makanan dan minuman tutup. Kalaupun ingin menghormati bulan puasa, paling-paling diberi semacam krei sebagai kamuflase seolah-olah tutup. Padahal, di dalamnya terjadi kegiatan, tanpa mengindahkan bulan Ramadhan.

Meskipun rakyat Jakarta, khususnya warga Betawi, menyigrakan untuk menyuguh tamu dengan makanan dan minuman. Tetapi bila orang datang bertamu di bulan Ramadhan, pada siang hari, tidak satu tetes air pun suguhan yang akan keluar. Meski air teh sekalipun. Begitu kentalnya rasa keagamaan rakyat Betawi, hingga sejak usia enam tahun mereka dianjurkan untuk berpuasa, sekalipun hanya setengah hari.

Kembali kutika rakyat Betawi menyambut puasa, sehari sebelumnya orang telah mulai bergumbira dengan memukul bedug sepanjang hari hingga magrib. Hanya berhenti sebentar dekat waktu dzuhur dan ashar. Para ibu memasak lebih enak dari hari-hari biasa.

Perkataan ''mencari dalam 11 bulan untuk satu bulan'' masih ada juga yang ditrapkan di Condet hingga kini, tulis Ran Ramelan dalam Condet Cagar Budaya Betawi. Artinya, sebelas bulan lalu orang berusaha sekuat tenaga, dan dalam bulan puasa ini orang bersenang-senang dengan hasil tadi.

Tapi, bagai orang-orang tua kata-kata di atas diartikan, ''Mencari 11 bulan buat satu bulan''. Bagi orang tua-tua, seperti saya alami sendiri ketika tahun 1950-an tinggal di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat. Setelah shalat tarawih, biasanya kami terus tadarusan membaca kitab suci Alquran hingga banyak yang tamat tiga kali dalam bulan itu. Mereka tinggal di masjid -- yang sekarang dikenal dengan istilah ihtikaf -- untuk beribadah, tahajud, dan berbagai amalan lainnya hingga subuh. Siangnya mereka tidur.

Kala itu, pada siang dan malam hari, dari rumah-rumah warga terdengar ayat-ayat suci Alquran dibacakan. Seperti H Muasim, seorang alim di Kwitang, benar-benar ingin memanfaatkan ibadahnya. Dia tidak mau menceritakan hal-hal yang buruk, misalnya menggunjing kejelekan orang lain, agar tidak mengurangi pahala puasa, seperti yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW.

Sementara, sebulan sebelum puasa, telah dibentuk suatu panitia 'andilan' atau 'arisan' sapi. Seperti yang terjadi di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, untuk mendapatkan satu kg daging sapi, tiap peserta membayar Rp 1.500 per minggu, selama 40 minggu. Ada yang ikut andilan untuk mendapatkan daging -- yang akan dibagikan 2 hari jelang lebaran -- 3-10 kg. Daging sapi diberikan pada saat-saat orang lagi memasak ketupat.

Ketika itu, harga sapi sekitar Rp 65 ribu per kg. "Kalau kemudian harga daging sapi naik, itu sudah resiko," ujar seorang pimpinan arisan. Hari memotong sapi itu sangat sibuk. Mereka menyebutnya, harian motong kerbo/sapi. Semuya daging dan kepalanya dibagi rata, disaksikan para anggota andilan. Hanya kulitnya tidak dibagikan untuk 'surat merah' -- surat izin memotong hewan. Tradisi ini masih berlangsung, terutama di daerah-daerah pinggiran Jakarta.

Kurang afdhol kalau kita tidak menceritakan kegiatan ibu-ibu memasak untuk keperluan buka dan sahur. Mereka biasanya membuat pacar cina< I> atau kolak, dan kolang kaling untuk tanda berbuka. Selesai shalat magrib dilanjutkan dengan makan nasi beserta lauk pauknya seperti sayur asem, sayur lodeh, kari, semur telor atau daging.


(Alwi Shahab )

Melacak Nama-nama Kampung

Jakarta yang telah berusia lima abad memiliki ratusan nama tempat dan kampung. Berdasarkan kajian arsip, wawancara dengan tokoh masyarakat dan narasumber ternyata penyebutan nama tempat dan kampung itu tidak hanya sekedar nama. Tapi punya riwayat sendiri-sendiri, yang usianya juga sudah ratusan tahun. Seperti nama tempat yang memakai kata 'bukit'. Misalnya Bukit Duri, Bukit Duri Tanjakan, dan Tanah Abang Bukit. Namun, sekarang bekas bukit-bukit itu sudah tak terlihat lagi. Hanya saja, kalau kita bersepeda terasa jalannya menanjak.

Di Jakarta yang berpenduduk lebih 10 juta jiwa juga banyak tempat yang berawal dari kata bulak. Misalnya saja Bulak Rante di Jakarta Timur. Di Jatiwaringin ada Bulak Cabe dan Bulak Sempir. Bulak Temu di Teluk Pucung, Bekasi. Lalu apa arti bulak? Bulak adalah tanah kebun yang dikelilingi sumber air. Maklum di zaman baheula Jakarta juga banyak memiliki resapan air. Kini sumber-sumber air itu sudah 'almarhum'. Bahkan puluhan situ atau rawa juga hilang akibat 'kejahilan'manusia. Banyak sekali nama yang dimulai kata rawa.

Sekarang ini Kebayoran Baru merupakan kawasan elit. Kemacetan terjadi hampir di semua jalan. Mungkin banyak yang tidak tahu, bahwa Kebayoran berasal dari kata kabayuran. Artinya tempat penimbunan kayu bayur, yang sangat baik dijadikan kayu bangunan karena kekuatannya serta tahan terhadap serangan rayap. Bukan hanya kayu bayur yang biasa ditimbun di kawasan itu pada jaman dulu. Tapi juga berbagai jenis kayu lainnya. Kayu-kaayu gelondongan yang dihasilkan kawasan tersebut dan sekitarnya dianbgkut ke Batavia melalui Kali Krukut dan Kali Grogol, dengan cara dihanyutkan. Maklum kedua sungai itu di masa lalu cukup lebar dan dalam.

Sekitar tahun 1938 di kawasan Kebayoran sempat direncanakan akan dibangun sebuah lapangan terbang internasional, namun batal karena pecah perang dunia kedua (1942-1945). Dan di tempat yang akan dibangun bandara internasional itu lantas dibangun kota satelit Kebayoran Baru (1949). Kala itu arealnya hanya seluas 730 ha yang menurut rencana hanya akan dihuni 100 ribu jiwa. Sekarang ini, dari sekitar 10 juta penduduk Jakarta, beberapa juta tinggal di Kebayoran. Hanya setahun setelah kota satelit dibangun, HAMKA, ulama yang dekat dengan rakyat kecil, membangun Masjid Al-Azhar. Masjid terbesar di Jakarta kala itu sebelum dibangun Istiqlal (Kemerdekaan).

Pengarang FDJ Pangemanann di bukunya menyebutkan bahwa pada abad ke-19 Kebayoran masih berupa hutan belukar. Belum terdapat desa-desa. Hingga Kebayoran dijadikan sebagai tempat pelarian para perampok dan penjahat dari kejaran Kompeni. Menurut Pangemanann, suatu tempat yang bernama Bukit Kebayoran, dijadikan tempat pelarian para penjahat.

Dari Kebayoran kalau kita menuju Tanah Abang melewati Karet Tengsin. Kampung ini sekarang sudah hilang akibat modernisasi kota megapolitan. Nama ini berasal dari nama seorang Cina, Tan Teng Sien. Karena baik hati dan banyak memberi bantuan pada masyarakat, maka Ten Sien cepat dikenal. Di daerahnya ketika itu banyak tumbuh pohon karet. Dan, dinamakan Kampung Karet Tengsin.

Di Karet Tengsin sampai 1960-an banyak berdiri industri batik. Ribuan orang yang terlibat di sekitarnya mendapat tambahan penghasilan sebagai pembatik. Terutama, warga dari daerah Senayan, sebelum dijadikan Gelanggang Olahraga Bung Karno (1962).

Dari Karet Tengsin kita melompat agak jauh ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat, yang dibangun awal abad ke-19 sebagai garis pertahanan Van den Bosch. Dari namanya sudah dapat diperkirakan, kawasan itu dahulu merupakan kebun sirih. Sampai awal 1960-an, sirih sangat digemari banyak orang untuk dikunyah-kunyah. Istilahnya makan sirih. Kelengkapannya antara lain adalah kapur (sirih), pinang dan gambir.

Dulu, para nyonya kelas atas umumnya menggemari makan sirih. Karena itu, kalau mereka bepergian disertai empat atau lima orang budaknya yang khusus menyediakan tempat sirih, tempolong (tempat meludah sirih), dan budak yang memayunginya.

Karena kesejukannya, pada pertengahan abad ke-19, Kebon Sirih oleh Belanda dijuluki de nieuwe weg achter het Koningspllein. Atau alam baru di belakang Istana Raja (kini Istana Merdeka). Kemudian, karena di sana tinggal seorang hartawan yang dermawan bernama KF Holle, maka di dekat Kebon Sirih yang kini bernama Jl Sabang disebut Laan Holle.

Sekarang kita makin melompat ke kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sampai 1950-an, kami dari Jakarta Pusat menyebutnya sebagai tempat 'jin buang anak' karena saking terpencilnya. Nama kawasan tersebut diambil dari kontur tanah dan fauna. Lebak berarti 'lembah', dan bulus adalah 'kura-kura yang hidup di darat dan air tawar'. Jadi dapat disamakan dengan 'lembah kura-kura'.

Dari Lebak Bulus kita menuju ke Petamburan, Jakarta Pusat. Pada masa lalu, ketika rumah penduduk masih jarang, banyak ditumbuhi pohon jati. Suatu waktu terjadi peristiwa yang menjadi cikal bakal nama tempat ini. Yakni, meninggalnya seorang penaruh tambur daerah ini dan dimakamkan di bawah pohon jati, sehingga jadilah Jati Petambutan.

Pada awal abad ke-20 perusahaan pelayanan KPM yang memiliki ratusan armada kapal untuk domestik dan mancanegara membangun sebuah rumah sakit di sini. Karena pada 1950-an KPM dinasionalisasi menjadi Pelni, kini rumah sakit itu terkenal dengan RS Pelni.

(Alwi Shahab )

Tradisi Khatam Quran di Masjid-masjid Tua

Ada tradisi yang sudah berlangsung puluhan bahkan lebih dari satu abad di masjid-masjid tua Jakarta dan Bogor, yakni khatam Alquran di bulan Ramadhan. Masjid-masjid tua itu dikelola oleh para ulama yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Memang tradisi itu berasal dari Hadramaut. Di Indonesia, khususnya Jakarta, tradisi itu diikuti masyarakat luas. Bahkan, lebih 80 persen yang hadir bukan keturunan Arab, yang sekitar 90 persen berasal dari Hadramaut.

Besarnya minat masyarakat terlihat dari membludaknya jamaah. Acara biasanya dimulai dengan berbuka puasa bersama, dilanjutkan dengan shalat Magrib, Isya dan kemudian tarawih. Yang hadir hingga memenuhi pekarangan dan pelataran masjid. Meskipun sudah berlangsung ratusan tahun, ternyata yang hadir jumlahnya makin banyak. Mereka datang bukan hanya dari Jakarta, tapi sekitar Jabotabek, Bogor dan sekitarnya. Yang unik, mereka datang tanpa diundang, karena masjid-masjid yang menyelenggarakan acara itu dari tahun ke tahun waktunya tidak pernah berbeda.

Acara khatam Alquran dimulai dengan buka puasa bersama. Hampir seluruh yang datang ke masjid-masjid mendapat makanan berupa nasi kebuli. Satu nampan nasi kebuli beserta lauk pauknya berupa potongan-potongan daging kambing yang ditabur di atas nampan, biasanya untuk empat atau lima orang. Hidangan lainnya adalah gulai atau semur kambing. Agar tidak takut terkena kolesterol, hidangan dilengkapi acar bawang, ketimun, nenas dan paceri, untuk menetralisir lemak.

Di Masjid Kampung Bandan, acara berlangsung pada malam ke-13 (Jumat malam pekan lalu). Menurut Habib Ali Shatri -- pengurus masjid yang telah berusia lebih 200 tahun itu -- tidak menyebarkan undangan. Tapi, masyarakat sudah tahu bahwa tiap tahun di sini tiap malam ke-13 Ramadhan selalu diadakan acara khatam Quran. Masjid Kampung Bandan terletak antara pelabuhan Sunda Kelapa dan pusat rekreasi Ancol, Jakarta Utara. Di sini dimakamkan Habib Muhammad bin Umar Alqudsi (117 H atau 1705 Masehi), sekitar 300 tahun lalu.

Memang acara ini berlangsung pada malam ganjil, karena dipercaya pada saat demikianlah konon turunnya malam Lailatul Qadar, yang pahalanya melebihi 1000 bulan. Juga sudah menjadi tradisi bahwa pada malam ke-17 kegiatan semacam ini berlangsung di Masjid Kramat Luar Batang, Jakarta Utara. Bahkan jumlah jamaah yang hadir lebih besar. Masjid Luar Batang, Jakarta Utara, yang telah direnovasi atas prakarsa Wagub DKI Jakarta Fauzi Bowo, memang tiap hari banyak diziarahi orang, yang datang bukan hanya dari Jakarta tapi juga dari berbagai tempat di Nusantara. Di dekat masjid di makamkan Habib Husein bin Abdullah Alaydrus. Ia meninggal pada 27 puasa 1169 Hijriah atau 24 Juni 1756. Dia dan Habib Alqudsi (Kampung Bandan) merupakan imigran Hadramaut terdahulu.

Pada malam ke-21 Ramadhan, acara berlangsung di Masjid An-Nur di Empang Bogor. Acara ini juga sudah berlangsung lebih satu abad tanpa henti. Di belakang masjid terdapat makam Habib Abdullah bin Muchsin Alatas, pendiri Masjid Taklim di Bogor. Ia membangun masjid ini pada 1318 H -- bertepatan dengan 1900 M. Ia wafat pada 26 April 1933 dan dimakamkan di sebelah barat masjidnya.

Seperti dikemukakan salah seorang kerabatnya, Habib Abdullah Alatas, ribuan jamaah yang hadir seluruhnya dapat berbuka puasa bersama, tanpa ada yang telantar. Begitu banyaknya jamaah, hingga meluber sampai ke pekarangan dan pelataran masjid. Seperti juga di masjid-masjid lain mereka tanpa diundang. Beberapa rumah di dekat masjid Empang, juga membuka pintu lebar-lebar tanpa pandang bulu menyediakan makanan untuk berbuka. Kecuali di 'rumah besar' makanannya adalah kebuli, di rumah-rumah sekitarnya bervariasi. Ada sayur asem, gado-gado, tahu, tempe, di samping tentunya daging kambing dan ikan.

Dua malam kemudian acara serupa berlangsung di Masjid Al-Hawi, majelis taklim dan masjid yang dirintis oleh Habib Muhammad bin Ahmad Alhadad. Kegiatan yang didatangi ribuan jamaah ini juga sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Sejumlah penduduk disekitar tempat ini juga membuka pintu lebar-lebar bagi mereka yang ingin berbuka puasa bersama. Nama Al-Hawi di ambil dari sebuah tempat di Hadramaut, dimana tinggal pencipta ratib Alhadad, seorang sufi ternama Habib Abdullah Alhadad yang hidup 400 tahun lalu.

Tradisi khatam Quran di masjid-masjid tua masih terus berlangsung. Setelah Al-Hawi, pada malam ke-25 bulan Ramadhan acara serupa berlangsung di Masjid Kwitang, Jakarta Pusat. Acara ini juga sudah berlangsung sejak sekitar satu abad lalu, bila diingat pendiri majelis taklim Kwitang itu meninggal pada tahun 1968 dalam usia 100 tahun. Habib kelahiran Kwitang ini telah berdakwah sejak usia 20 tahun. Kini majelis taklim Kwitang sudah generasi ketiga. Setelah Habib Ali wafat diteruskan oleh puteranya, Habib Muhammad, dan kini cucunya, Habib Abdurahman (65 tahun).

Pada acara khatam Quran para jamaah sudah mulai berdatangan pukul lima sore. Dalam menanti saat berbuka mereka melantunkan ayat-ayat suci Alquran, membaca shalawat, dan berbagai bacaan menjelang magrib. Saat azan magrib berkumandang, mereka minum kopi jahe dan kurma. Dilanjutkan makan nasi untuk kemudian shalat Magrib berjamaah. Diteruskan shalat Isya dan Tarawih. Biasanya ada tokoh ulama setempat yang berkhotbah, mengingatkan agar mereka yang berpuasa juga mengeluarkan zakat untuk membantu manusia yang tidak berpunya.

(Alwi Shahab )

Lilies Suryani Pelantun Gang Kelinci

Penggemar lagu-lagu nostalgia Indonesia pasti sudah tak asing lagi dengan lagu 'Gang Kelinci' yang seolah menjadi salah satu lagu wajib dalam setiap acara 'tembang kenangan'. Lagu pertengahan 1960-an yang bercerita tentang suatu gang di sudut Pasar Baru Jakarta ini pada akhir 1990-an kembali populer melalui lantunan suara Rani, penyanyi yang dikenal sebagai spesialis pelantun lagu nostaligia dan mandarin. Siapakah penyanyi aslinya? Tak lain adalah Lilies Suryani, salah satu penyanyi perempuan paling terkenal di Indonesia pada dekade 1960-an dan 1970-an awal.

Kini, di usianya yang menjelang enam puluh tahun Lilies berjuang melawan kanker mulut rahim yang menderanya sejak beberapa tahun terakhir. Seperti kebanyakan nasib seniman lainnya, salah satu 'diva musik Indonesia' di era 60-an ini harus merelakan hartanya satu persatu dijual untuk biaya pengobatannya di Singapura.

Bagi perempuan bertubuh mungil kelahiran Jakarta 58 tahun silam ini, 'Gang Kelinci' telah menjadi semacam anthem dalam setiap penampilannya baik di layar kaca maupun di panggung-panggung off-air. Hampir serupa dengan Ruth Sahanaya, Titi DJ, dan Krisdayanti yang belakangan ini berkolaborasi dalam ramuan Tiga Diva, Lilies bersama Ernie Djohan dan Tetty Kadi kala itu seolah 'meratui' pasar musik pop Indonesia untuk kategori penyanyi perempuan.

Keberhasilan Lilies sebagai penyanyi tak dapat dilepaskan dari peran Zaenal Arifin, gitaris sekaligus pimpinan band Zaenal Combo, backing group Lilies pada banyak rekaman maupun pentas-pentasnya. Zaenal yang juga berperan besar dalam rekaman-rekaman awal Tetty Kadi paham benar kemampuan olah vokal Lilies yang selain pas dalam lagu-lagu bernuansa pop, juga amat klop ketika menyanyikan lagu-lagu bernapas Sunda dan Melayu. Petikan dan riff-riff gitar Zaenal seolah nyawa yang tak terpisahkan dari lagu-lagu yang didendangkan Lilies. Teknik bermain gitar Zaenal yang unik di lagu Lilies antaranya bisa terdengar di lagu 'Kisah Ali Baba'.

Pada intro lagu tersebut Zaenal memetik senar gitar secara cepat namun tidak ditekan secara penuh sehingga menghasilkan suara gemelitik yang menimbulkan fantasi mistis. Teknik ini juga dilakukan gitaris Edward van Halen dalam 'Eruption'.

Selain 'Gang Kelinci', beberapa lagu Lilies yang populer seperti 'Asmara', 'Ulang Tahunku', adalah ciptaan Titiek Puspa. Namun demikian, bukan berarti ia hanyalah artis yang sekadar pandai dan tahu urusan menyanyi saja. Sejak usia belasan, penyanyi yang sejak dahulu hingga kini berambut cepak ala Connie Francis ini banyak menulis dan menggubah sendiri lagu-lagu yang dibawakanya.

Nomor-nomor seperti 'Lenggang Kangkung', 'Ratapan Sang Bayi', 'Air Mata', 'Tepuk Tangan', dan 'Ujung Pandang' adalah beberapa contoh lagu yang diciptakan sendiri oleh Lilies dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Salah satu ciptaannya 'Si Baju Loreng' yang bertemakan kekaguman seorang gadis terhadap seorang anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Ini menjadi lagu yang menjadi pengobar heroisme tersendiri di pertengahan 1960-an.

Sebagai artis muda nan populer pada masanya, biduanita yang kerap tampil menghibur Bung Karno ini juga tidak bebas dari hembusan gosip tak sedap. Pada akhir Juli 1966, pers menuduh Lilies banyak tingkah karena ia dikabarkan meminta disediakan roti tawar saat tampil di Sumedang. 'Lagi-lagi Lilis Bertingkah', demikian judul berita pada harian Suara Merdeka tertanggal 25 Juli 1966 mengutip kantor berita Antara yang menceritakan kerepotan panitia yang harus membeli roti dari Bandung karena tidak ada satu pun yang menjual roti di Sumedang. Diberitakan pula ia minta dijemput dengan polisi pengawal dengan sirine yang harus dibunyikan. Perihal permintaan roti tawar ini Lilies menyatakan bahwa selain dia tidak suka nasi, hal itu dilakukannya atas anjuran dokter berhubung dengan penyakit yang dideritanya. Soal sirine yang harus dibunyikan, Lilies menganggapnya sebagai hal yang wajar jika panitia menghendaki seraya membantah bahwa dirinyalah yang meminta hal tersebut untuk dilakukan.

Selain dikenal dengan lagu-lagu pop dan Sunda, Lilies juga dikenal sebagai pelantun lagu-lagu gambang kromong, lagu khas Betawi. Boleh dikatakan, sebelum Benyamin Suaeb, Lilies Suryanilah penyanyi pertama yang berjasa besar mempopulerkan musik berirama gambang kromong dalam bentuk rekaman. Pada beberapa lagu seperti 'Dikasih Ati Minta Limpe', 'Lagi-lagi Sayur Asem', dan 'Perancang Mode', Lilies menunjukkan keluwesannya melantunkan lirik-lirik yang kocak dan menggoda dengan logat yang menggelitik khas Betawi. Hingga kini lagu-lagu Lilies Suryani baik yang berirama melayu, pop, maupun gambang kromong masih dapat dijumpai di toko-toko rekaman meskipun tidak dalam format album aselinya.

Sebagai orang yang menggeluti dunia tarik suara dan panggung selama tak kurang dari empat dekade, suka duka dalam berkarya sudah kenyang dilakoni oleh Lilies. Dalam penampilannya di TVRI sekira 2005 lalu ia menceritakan nasib sialnya ketika show di Purwokerto pada 1960-an. Selesai manggung, panitia yang mendatangkannya kabur begitu saja. Terpaksalah ia menjual cincin emasnya sebagai ongkos pulang naik kereta api yang kala itu penuh sesak dengan pedagang sayur dan ayam. Beberapa tahun lalu nasib kurang mujur juga sempat menimpa Lilies. Rumahnya dimasuki pencuri yang berhasil membawa beberapa perhiasan emas miliknya. Dalam penuturannya pada media infotainment kala itu penyanyi yang selalu tersenyum ini tetap bersyukur dan menganggapnya sebagai cobaan hidup dan mengikhlaskannya sebagai bagian dari kehendak Sang Maha Pencipta.
Penulis adalah dosen Fak Hukum Unsoed Purwokerto

(Manunggal Kusuma Wardaya/KPMI)

Sikap Tengah-tengah

Dalam situasi negara penuh gejolak seperti sekarang ini, kisah-kisah keteladanan Nabi Muhammad SAW patut direnungkan. Sikap lapang dada, ampunan, dan cinta kasih beliau banyak sekali dan tak berkesudahan.

Beliau adalah sosok pemberi yang tak merasa takut akan kemiskinan. Beliau tak pernah menyimpan uang barang satu dirham. Waktu wafat, baju rantainya masih tergadai pada seorang Yahudi. Rasulullah SAW meringkaskan inti kepribadiannya dengan ungkapan berikut, "Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku dan cinta kasih adalah aliran pahamku. Ingat pada Allah itulah temanku. Adapun keprihatinan, itulah kawanku. Kesabaran adalah busanaku, ilmu senjataku, berjihad adalah perangaiku, dan shalat itulah penawar hatiku."

Bagaimana sederhananya hidup Nabi SAW, istrinya, Aisyah berkata, "Rasulullah tak pernah penuh perutnya oleh makanan. Sebagian besar masanya dilalui dengan berpuasa." Pernah kukatakan kepada beliau, "Kiranya tuan makan secara yang cukup untuk sekadar kenyang."

Beliau menjawab, "Hai Aisyah! Buat apa dunia ini bagiku. Para rekanku, Rasul-rasul Ulul 'Azmi telah bertahan atas hal-hal yang jauh lebih berat daripada yang kurasakan. Kemudian mereka pergi menghadap Allah dan mereka diganjar Allah dengan ganjaran berlipat ganda. Aku malu, kalau sampai menikmati hidup ini, kelak aku tak mencapai martabat mereka. Tak ada sesuatu yang melebihi hasratku untuk mengejar rekan-rekanku itu."

Namun, Nabi SAW tak menolak pemberian hadiah berupa santapan enak atau pakaian yang agak halus. Yang enggan dilakukan ialah mencari-cari kehidupan yang enak, mengangankannya atau memusingkan diri mendapatkannya. Karena itu, beliau membiasakan diri hidup tak berpunya, lapar, dan sekadar yang memadai bagi kehidupannya.

Dengan begitu, beliau dapat memberi suri teladan dari bimbingan Islam itu, yakni sebagai agama yang sedang-sedang saja. Tidak membenarkan hidup memantangkan urusan biologi secara membunuh syahwat. Tetapi tak juga rakus dan lahap memenuhi syahwat.

Insan pun akan bebas dari dominasi diri sendiri dan dominasi orang lain. Itulah kemerdekaan, yaitu membebaskan diri dari segala desakan keinginan, sehingga syahwatnya menaklukkannya untuk mencapai sesuap nasi atau sehelai sandang.

Itulah sikap tengah-tengah. Itulah jalan lurus, sirath almustaqim, yang lebih kecil dari sehelai rambut yang memisahkan antara sikap terlalu mementingkan diri dan terlalu mengabaikannya. Nabi yang tak pandai membaca dan menulis, tapi mengungguli orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Dan orang mulia inilah yang dalam Alquran digambarkan oleh Allah, "Engkau berada dalam perangai yang luhur sekali."

(Alwi Shahab)

Pelabuhan Tanjung Priok 1890

Aktiivitas di Pelabuhan Tanjung Priok dan tiga pelabuhan lainnya awal pekan lalu lumpuh total akibat aksi mogok Organda. Mereka menolak kutipan PPN sebesar 10 persen pada jasa angkutan pelabuhan. Di Priok saja potensi kerugian mencapai Rp 50 miliar. Sejak bulan lalu, Organda juga mengancam untuk mogok karena sudah kagak tahan lagi, terhadap pungli di pelabuhan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pungli yang dilakukan secara berjamaah ini mengakibatkan kerugian negara miliaran rupiah per tahun. Tapi yang terjadi bukan hanya pungli dan pemerasan terhadap para sopir angkutan yang beroperasi di pelabuhan. Tapi kagak keitung banyaknya penyelewengan lain, yang dilakukan baik secara transparan maupun bisik-bisik. TST (tahu sama tahu) istilah yang dikenal sejak tahun 1950-an bukan rahasia lagi di pelabuhan yang mulai berfungsi 1885. Seperti ekspor dan impor fiktif serta penyelundupan, yang konon mengakibatkan kerugian negara trilyunan rupiah. Yang menyedihkan hampir semua oknum berbagai instansi ikut terlibat.

Baiklah kita simak keberadaan Pelabuhan Tanjung Priok, yang dibangun untuk menggantikan Pelabuhan Sunda Kelapa. Sejak awal dibangunnya Batavia (1619), keberadaan pelabuhan yang terletak di Muara Ciliwung ini menimbulkan banyak masalah. Situasi makin gawat setelah teerjadinya gempa bumi bulan Januari 1699. Hingga mulut pelabuhan terendam pasir dan lumpur. Pada 1827 kapal yang bersandar di Sunda Kelapa semakin jauh dari daratan. Hingga diperlukan perahu-perahu untuk bongkar muat. Akibat biaya bongkar muat yang mahal, pada 1860-an diambil keputusan untuk membangun pelabuhan baru.

Pada waktu hampir bersamaan, mulai banyak berdatangan kapal uap dari Eropa menggantikan kapal layar. Setelah dilakukan survei yang cukup lama, maka dipilihlah Tanjung Priok, 9 km sebelah timur Pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan baru. Pembangunan dimulai Mei tahun 1877 dan baru usai keseluruhan tahun 1885 atau 7 1/2 tahun setelah dibukanya Terusan Suez, yang menyebabkan jarak tempuh pelayaran dapat diperpendek.

Ketika pelabuhan Sunda Kelapa hendak dipindahkan ke Priok, banyak kantor dagang dan niaga yang berpusat di Jalan Kalibesar yang memprotes. Karena kala itu, jarak dari Jakarta Kota ke Tanjung Priok dianggap cukup jauh. Di samping itu, ketakutan para pengusaha karena Tanjung Priok merupakan pusat malaria, penyakit mematikan kala itu, hingga mengancam para pekerjanya. Karenanya kantor dagang mereka tetap berada di kawasan Kalibesar yang hingga kini masih kita dapati dan dilestarikan sebagai gedung tua.

Yang terlihat di foto adalah kapal SS Swaerdecroon milik perusahaan pelayaran KPM (Koninklijke Pakeetvaard Maatchappij) yang tengah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok pada tahun 1890. Kapal uap yang tengah sandar di Pelabuhan Tanjung Priok ini beratnya 641 gross tons. Nama kapal ini untuk mengabadikan Hendrik Zwaardecroon, gubernur jenderal VOC (1718-1725).,

Pada 1906 kapal ini dijual pada perusahaan pelayran Jepang, dan namanya dirubah 'Kimigayo Mayo'. Kapal berbendera Jepang ini kemudian melakukan pelayaran dari Batavia ke Shanghai pulang pergi.

KPM sejak 1891 melakukan rute pelayaran di 30 pelabuhan di Indonesia, enam di antaranya melalui Priok. Pokoknya selama ditangani oleh KPM, hampir tidak pernah terjadi kesulitan pelayaran di berbagai kepulauan di tanah air. Pada 1927, KPM memiliki armada sebanyak 136 buah kapal.

KPM dinasionalisasi pada tahun 1957, saat memburuknya hubungan antara RI - Nederland akibat persoalan Irian Barat (Papua). Sejak saat itu bernama Pelni. Bukan hanya KPM, semua perusahaan Belanda di waktu bersamaan juga dinasionalisasi. Para buruhnya memenuhi anjuran Presiden Sukarno untuk mengambil alih semua perusahaan Belanda, yang disiarkan secara luas melalui RRI.

Bung Karno pernah marah, ketika seorang wartawan foto Antara mengambil foto rakyat tengah rebutan 'menyapu' beras yang tercecer dari pelabuhan Tanjung Priok. Bagi Bung Karno foto yang memperlihatkan rakyat tengah rebutan mengambil beras yang tercecer, mencoreng nama baik pemerintah.

(Alwi Shahab)

'Obat Kuat' dari Cina

Laki-laki sebagai superior rupanya kagak mau kalah dengan wanita, termasuk dalam hubungan intim. Pokoknya pria ingin tampil luar biasa. Paling takut kalau sampai dianggap 'loyo'. Karenanya, tidak heran kalau kini sudah tidak terhitung lagi banyaknya kios yang menjual obat kuat. Bukan hanya di Jakarta, tapi seperti layaknya penyakit sudah mewadah sampai ke kota-kota kecil dan daerah pinggiran. Namanya pun beribu macam, terpampang dengan huruf-huruf besar.

Karena umumnya yang dijual obat impor dari Cina, nama kios ikut-ikutan memakai nama Cina. Seperti A Kiong, A Ceng, A Hong, tentu saja dengan mempopulerkan obat-obat yang sudah terkenal seperti Viagra. Menjamurnya kios 'obat kuat', tentu saja karena peminatnya cukup banyak. Obat-obatan Cina, termasuk obat kuat, sejauh ini harganya memang lebih murah katimbang obat produk negara lain. Begitu trend-nya obat kuat Cina, sehingga jamu-jamu lokal yang menawarkan jenis obat yang sama sengaja memakai label buatan Cina.

Kita tidak tahu bagaimana khasiat obat kuat, yang dengan huruf-huruf besar mereka namakan obat hot atau penambah gairah seks. Tapi yang jelas, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) telah menemukan 15 produk ilegal obat kuat tradisional yang dicampur bahan kimia obat keras sidenafil sitrat. Penggunaannya, menurut BPPOM, harus selalu di bawah pengawasan ketat dokter setelah ada diagnosa pasti tentang disfungsi ereksi. Sampai diingatkan begitu berbahayanya jenis obat ini, mereka yang berpenyakit jantung misalnya, 'bisa mati di ranjang'.

Di antara nama jamu dan kapsul produk ilegal yang dicampur sidenafil sitrat adalah Jamu Sehat Pria Seksi Samiaji, Jamu Pasihot Andalan Pria Perkasa, Obat Kuat dan Tahan Lama Pegasus Kuda Terbang, Penambah Vitalitas Pria -- dan masih banyak lagi dengan nama dan merek seram-seram.

Rupanya, masalah seks mendapat perhatian dalam acara-acara talk show di televisi-televisi. Tidak kalah gencarnya di media cetak, seperti suratkabar, majalah, tabloid, menjadi rubrik, yang banyak penggemarnya. Karena itulah, nama pakar seksologi, seperti Boyke Dian Nugroho, Naek L Tobing, dan Wimpie Pangkahila, tidak kalah popoler dengan pakar-pakar politik, ekonomi dan hukum.

Rupanya kecenderungan semacam itu bukan hal baru. Pada tahun 1960-an dan 1970-an misalnya, di berbagai media juga sering didapati iklan jenis obat kuat. Judulnya juga kagak kalah menyeramkan dari iklan dan reklame di kios-kios obat kuat. Sebuah tabib dari Pakistan di Sawah Besar menjual obat kuat dengan judul, ''Nafsu besar tenaga kurang, seperti rayap makan kayu.'' Sang tabib ingin menawarkan 'keperkasaan' bagi pria yang dikatakannya lemah syahwat.

Ada pula seorang tabib yang menawarkan pria yang dikatakannya tidak 'normal' akan menjadi 'kencang' kembali setelah minum obatnya. Di tahun-tahun tersebut, memang para tabib dari Pakistan yang lebih banyak menjual obat kuat. Termasuk obat dan ramuan untuk para ibu agar 'disayang' sang suami.

Pada tahun 1950-an, beberapa pedagang kaki lima tiap malam menggelar lapak di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mereka menjual tangkur buaya, yang dikatakannya sebagai obat kuat dan 'tahan lama'. Bentuknya seperti cincin, setelah diminyaki, tengahnya dimasuki benang untuk diikatkan ke pinggang. Pengobatan yang populer di kaki lima tahun 1950-an itu, kini tidak ada lagi. Rupanya sudah kalah populer dengan pengobatan Cina. Apalagi sejak nama Mak Erot dikenal.

Agak ke belakang lagi, pada zaman Belanda juga ada iklan-iklan semacam itu. Seperti di Harian Bentara Hindia (terbit 1921) ada iklan sebuah buku mengenai hubungan suami-istri. Tapi saya sendiri tidak tahu apa arti Wet dan Rrasia -- judul buku itu. Buku itu dicetak tebal, kentara dari isi iklan: Harga satoe boekoe tebel dan format bewsar 15 goelden tambgah ongkos kirim. Pesanan yang disertakan oewangnya, ongkos kirim frij.

Masih iklan obat kuat, ada judul yang tidak tanggung-tanggung, Sjorga Doenia. Coba simak isinya: Satoe waktoe toean perlu boeka? Adalah djagonja dalampertoeloengan yang teroetama boeat orang lelaki jang tidak dapat perindahan tjoekoep dan sempoerna oleh orang prampoean. Tanggoeng lantes terboekti menjenangken bagi jang pake. Ini obat satu does coema F 5 (goelden) dan bisa pake 15 atawa 20 kali. Boeat yang beli 5 does bisa dapet potongan 20 persen.

Rupanya sejak tempo doeloe kaum hawa sudah mendambakan agar memiliki bentuk tubuh langsing dan indah. Sikmaklah iklan di Majalah Sin Po Agustus 1930: Mode sekarang tidak iidzinkan lagi orang berperoet gendoet. Toean-toean dan njonja-njonja akan merasa girang yang kita sedia sematjam band peroet yang dinamaken MAS (Modern Abdominal Supporter). MAS dengan goemilang berhasil ilangkan peroet gendoet, peroet monjong atawa peroet yang bagaimana besar. MAS djoega bikin itu kita poenya badan jadi lempeng.

Rupanya, ketika itu istilah langsing belum dikenal. Sehingga ibu-ibu ingin sekali badannya jadi lempeng. Produk MAS yang gencar diiklankan belum tentu jelas khasiatnya. Tapi, yang pasti iklan semacam itu kini merebak di televisi. Jadi roda zaman memang selalu berputar.


(Alwi Shahab)

Molenvliet (Jl Hayam Wuruk dan Jl Gajah Mada)

Pasti banyak yang tidak mengira bahwa jalan yang tampak begitu lengang, sepi dan asri seperti terlihat dalam foto ini, kini merupakan pusat kemacetan di Ibukota. Photografer Walter Woodbury mengabadikan kawasan Molenvliet pada tahun 1861-2. Molenvliet artinya molen (kincir) dan vliet (aliran). Karena dulunya di sini terdapat kincir angin meniru sistem pengairan di Belanda. Sampai tahun 1942, kawasan ini Molenvliet terdiri dari dua jalur: Molenvliet Oost (kini Jl Hayam Wuruk) dan Molenvliet West (Jl Gajah Mada). Kedua jalan ini dipisahkan oleh kanal dari Kali Ciliwung, yang dibuat oleh Phoa Beng Gan, kapten Cina kedua. Tembok pembatasnya terlihat di sebelah kanan foto. Begitu padatnya kedua jalan tersebut saat ini, sehingga kendaraan dari Senen menuju Jakarta Kota atau sebaliknya pada saat jam sibuk perlu waktu lebih dua jam.

Gambar ini diambil dari ujung Jalan Majapahit ke arah Harmoni. Rupanya jalan raya kala itu belum diberi aspal, hanya diperkeras. Seperti terlihat keberadaan rumah dan gedung yang cukup besar dan baik, kala itu Molenvliet merupakan kawasan elite orang Eropa dan Tionghoa kaya raya.

Terutama di abad ke-18 dan 19. Warga Belanda dan Eropa umumnya bekerja di sekitar kawasan Kalibesar yang merupakan pusat pertokoan, perkantoran, dan bisnis di Jakarta Kota. Mereka ke kantor pulang pergi naik trem. Ketika foto ini diabadikan trem belum nongol. Baru pada tahun 1869 trem merupakan angkutan yang paling banyak digandrungi, di samping bendi (delman). Tapi pada awalnya trem ditarik beberapa ekor kuda, yang dinamakan trem kuda. Baru pada 1822 muncul trem uap. Untuk kemudian digantikan trem listrik (1900). Trem listrik yang yang mengitari kota Jakarta saat itu, digusur pada tahun 1960. Karena biaya membongkar relnya cukup mahal, maka ditindih dengan aspal.

Banyak yang tidak tahu bahwa sungai di kedua jalan utama Jakarta ini, merupakan sungai buatan. Kapiten Phoa melakukannya dengan 'menyobek' Kali Ciliwung yang dialirkan kesana. Seperti diketahui Jan Piedterzoon Coen mendirikan Batavia di atas rawa-rawa. Hingga bila musim hujan daerah ini terendam dan airnya susah kering. Dan kota pun menjadi sarang nyamuk malaria. Dalam keadaan demikian, kapiten Cina ini merasa terpanggil. Apalagi korbannya banyak etnis Cina. Tidak terhitung banyaknya di antara mereka yang mati. Sementara VOC tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak memiliki uang.

Phoa mulai melakukan penggalian pada 1624 dari ujung Molenvliet, di depan Harmoni sekarang. Akibatnya adanya kanal buatan ini, daerah rawa di sekitarnya menjadi kering, sehingga nyamuk-nyamuk anopheles makin berkurang. Sedangkan hasil buminya dapat diangkut dengan perahu-perahu melalui kanal tersebut.

Di samping membangun kanal, kapiten Phoa juga membangun rumah sakit Cina dengan obat-obatan serba lengkap. Lokasinya sekarang di Jl Pejagalan, Jakarta Kota. Rumah sakit ini 'merana' akibat tersaingi oleh CBZ (kini RS Ciptgo Mangunkusumo). RS Cina kemudian dibongkar gemeenter (dewan kota) karena punya utang verponding selama puluhan tahun. Kemudian masayrakat Cina mendirikan rumah sakit 'Yang Sen Ie' yang kini bernama RS Husada di Mangga Besar. Di Kali Molenvliet sampai tahun 1950'an sering digelar berbagai atraksi. Seperti pesta perahu (pehcun) di malam hari, diiringi tanjidor dan tarian cokek. Di mana para siocia dan kongcu (nona dan pemuda) Cina saling ngibing atau joget istilah sekarang.


(Alwi Shahab)

106 Tahun Gambar Idoep

Bioskop pertama di dunia dibuka di Paris, ibukota Prancis, pada 28 Desember 1895. Pada waktu Indonesia masih bernama Hindia Belanda, pada 5 Desember 1900, diputar gambar idoep pertama di Batavia -- kini Jakarta -- yang diadakan oleh penjajah Belanda.

Saya sengaja menyebut bioskop dengan istilah gambar idoep. Soalnya, sampai 1950-an orang Betawi menyebut bioskop dengan gambar idoep. Dinamakan demikian, karena gambarnya bisa bergerak-gerak. Bioskop pertama di Jakarta terletak di Tanah Abang, Jakarta. Karena pergaulan yang belum bebas kala itu, tempat duduk laki-laki dan perempuan di pisah. Hingga bila pertunjukan usai, penonton saling berteriak memanggil pasangannya.

Pada tahun 1926, Indonesia sudah memproduksi film pertama. Judulnya Loetoeng Kasaroeng, sebuah legenda Jawa Barat. Film ini diproduksi oleh Java Film Co, milik seorang Belanda (L Heuveldrop). Ikut membintanginya, putra-putra Wiranatakusumah (bupati Bandung). Film Indonesia pertama ini diputar selama satu minggu di Bandung, dari 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Lutung Kasarungjuga diproduksi pada 1952 dan 1983.

Masih di masa kolonial, pada 1937 diproduksi film Terang Boelan, kisah romantis di pulau 'impian'. Film ini melahirkan pasangan romantis pertama, Roekiah (1917-1945) dan Rd Mochtar, yang amat laris pada 1938. Roekiah, bintang paling tenar pada 1940-an adalah ibu almarhum penyanyi dan aktor Rachmat Kartolo.

Seperti dituturkan pakar perfilman dan staf Sinematek Indonesia, SM Ardan, setelah proklamasi kemerdekaan, banyak seniman yang hijrah ke kota perjuangan Yogyakarta, mengikuti jejak Bung Karno dan Bung Hatta. Termasuk, Usmar Ismail (1921-1971) dan kawan-kawannya -- D Djajakusuma (1918-1987), Soerjosoemanto (1918-1971), Hamidy T Djamil (1919-1986), serta sejumlah aktor dan artis lainnya. Mereka adalah anggota rombongan sandiwara Seniman Merdeka yang melakukan pentas keliling dalam mengobarkan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan.

Pada Desember 1949 pendudukan Belanda berakhir. Jakarta kembali jadi Ibukota RI. Sampai waktu itu belum satupun perusahaan film milik nasional yang muncul. Hampir seluruhnya produksi perusahaan film milik Belanda dan Cina. Usmar Ismail, seniman yang sejak muda berkecimpung di bidang seni teater, pada usia 29 tahun mendirikan Perfini, perusahaan film berlambang banteng. Syuting pertama produksi pertama Perfini, Darah dan Doa, sebuah film perjuangan, dilakukan pada 30 Maret 1950. Hari itulah yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, yang kini sudah berlangtsung 56 tahun.

Hari Film Nasional itu tidak pernah diakui oleh kelompok kiri/Lekra. Usmar, kelahiran Bukittinggi, 20 Maret 1921, pada tahun 1950-an memang telah menghasilkan film-film box-office. Bahkan, ia salah satu tokoh yang berhasil memasukkan film-film nasional di kelas satu, seperti Metgropole (Megaria), Menteng dan Garden Hall (keduanya sudah jadi pertokoan). Usmar menjadi sutradara, penulis dan produser, dengan film-filmnya, seperti Krisis (1953) diputar selama lima minggu di bioskop Metropole. Kemudian disusul dengan Tiga Dara, yang tidak kalah sukses.

Hampir bersamaan dengan Perfini, seorang tokoh perfilman mendirikan perusahaan film Persari (Persatuan Artis Indonesia) yang kini dilanjutkan oleh putrinya, Camelia Malik. Sebagai pengusaha yang lihay, Djamaluddin Malik lebih berjaya katimbang rekannya, Usmar. Tahun 1952, Persari sudah memiliki studio terbesar di Asia Tenggara, dan sudah melakukan produksi bersama dengan Filipina, film berjudul Rodrigo de Villa dan Leilana.

Bersama Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dikenal sebagai dwitunggal perfilman nasional. Dari kedua orang inilah lahir gagasan besar untuk bidang perfilman. Sayang sekali Djamal pada 1957 menjadi tahanan politik sampai 1959. Dia ikut dalam Liga Demokrasi yang menentang upaya Presiden Soekarno untuk membubarkan DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955.

Selepas dari tahanan, Djamal terjun ke Partai NU. Bahkan menduduki salah seorang Ketua PB-NU. Masuknya Djamal menjadi tokoh penting di NU sebagai kekuatan agama dari poros Nasakom, tidak melenyapkan sentimen pihak kiri PKI dengan Lekra-nya untuk menyerang tokoh perfilman nasional ini. Dan, serangan kelompok kiri secara bertubi-tubi ditujukan kepada Usmar, tanpa memperdulikan prestasinya di dunia internasional. Filmnya, Pejoang (1960) berhasil meraih penghargaan dari Festrival Film Internasional Moskow (1961) untuk peran utama (Bambang Hermanto). Bambang Hermanto, sekembalinya, dari Moskow dielu-elukan ribuan kelompok kiri yang menyambutnya di Bandara Kemayoran.

Sementara, sang produser dan sutradaranya, Usman Ismail, justru tambah dikecam. Dengan begitu Usmar semakin dekat dengan Djamal, yang tokoh NU. Ketika serangan menjadi tambah berbahaya, ia bersama Asrul Sani membidani lahirnya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh NU. Dan, ketika PKI dan golongan kiri membentuk Aksi Pemboikotan Film-film Imperialis AS (Papfias) mereka tidak mengakui 30 Juni 1950 sebagai Hari Film Nasional. Tapi menuntut 30 April 1964 sebagai Hari Film Nasional, saat berdirinya Papfias.

(Alwi Shahab)

Nederlandsche Handel Maatschappij

Foto tahun 1950-an ini adalah bangunan Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) di Jalan Stasion No. 1, Jakarta Kota. Berada di seberang stasion kereta api Jakarta Kota. Gedung berarsitektur Indisch gaya Nieuw-Zakelijk mulai dibangun tahun 1929, dirancang oleh tiga arsitek Belanda, J.J.J. de Bruyn, C. van der Linde dan A.P.Smits. Diresmikan 14 Januari 1933 oleh C.J. Karel van Aalst, Presiden ke-10 NHM saat itu sebagai gedung Factorij Batavia. Setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada masa Presiden Sukarno, gedung ini beralih menjadi kantor Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN), kemudian sejak 1968 sebagai kantor pusat Bank Exim. Sampai akhirnya terbentuk Bank Mandiri 2 Oktober 1998, dan kini menjadi Museum Bank Mandiri.

Setengah abad lalu, seperti tampak di foto, jalan raya Jakarta Kota yang kini hiruk pikuk dan macetnya kagak ketolongan, saat itu tampak sepi tidak menyulitkan bagi orang untuk menyeberang. Di depan gedung yang hingga kini masih tampak megah, terlihat sebuah trem listrik yang datang dari arah Pasar Ikan menuju Harmoni. Dari Harmoni trem menuju Sawah Besar - Gunung Sahari - Senen - Matraman dan Jatinegara. Dari Harmoni juga ada yang menuju Tanah Abang. Pokoknya ketika itu, seluruh jalan raya di Ibu Kota dilewati trem listrik.

Berdekatan dengan trem tampak sebuah mobil merek Moris tahun 1940'an buatan Inggris. Juga sebuah mobil merek Chevrolet tahun 1940'an, yang tengah melintas dijalan yang sunyi. Tahun 1950'an belum satu pun mobil Jepang yang nongol di Jakarta. Maklum negara itu baru kalah perang dengan sekutu ketika di bom atom (Agustus 1945). Mobil buatan Eropa lainnya yang banyak dimiliki orang berduit adalah Fiat (Italia) dan Mercy (Jerman).

Lahirnya NHM punya kaitan dengan sistem tanam paksa yang diarsiteki oleh Gubernur Jenderal Graf van den Bosch (1830-1833). Karena pada 1799 VOC bangkrut akibat korupsi yang dilakukan hampir semua pejabatnya, maka didirikanlah NHM yang membeli barang-barang petani dengan harga murah. Akibat sistem ini ribuan orang dikabarkan mati, karena hasil jerih payahnya dibeli dengan harga sangat murah. Begitu besarnya keutungan NHM - pengganti langsung dan pewaris VOC -- hingga hampir separuh uang dari Hindia Belanda disedot ke Nederland. NHM juga memiliki Escompto Bank NV yang pada tahun 1940'an mengeluarkan surat lembaran saham yang bernilai 200 gulden dan 400 gulden. Setelah Indonesia merdeka oleh Menteri Kehakiman pada 11 Juni 1952 maka saham-saham dengan nilai gulden diubah menjadi rupiah. Pada masa itu nilai rupiah masih tinggi. Tapi sejak 1960'an nilainya anjlok ketika inflasi tanpa mengenal ampun merangkak naik lebih dari 600 persen.

Pada masa Belanda uang pecahan tertinggi 20 gulden, sedang pada masa Bung Karno Rp 20 ribu. Pada 1993 keluar uang pecahan bernilai Rp 50 ribu dengan gambar Pak Harto yang kini tidak laku lagi. Awal tahun 2000'an keluar mata uang Rp 100 ribu, dengan gambar Bung Karno dan Bung Hatta.

Gedung Museum Bank Mandiri yang terdiri dari 4 lantai, luas lahannya 10.039 m2, sedangkan bangunan 21.509 m2. Koleksi yang tersimpan di Museum Bank Mandiri kurang lebih 26 ribu item terdiri dari benda/barang yang punya nilai sejarah, ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan yang mencerminkan proses awal perkembangan dan terbentuknya Bank Mandiri sejak masa Hindia Belanda (NHM, Escompto dan NIHB).


(Alwi Shahab)

Pasar Ikan - Harmoni - Kampung Melayu

Pasar Ikan, Jakarta Utara 1950-an. Kala itu, bekas markas kompeni (VOC) ini banyak pengunjungnya. Terutama di hari-hari Ahad dan libur. Karena Pasar Ikan memiliki akuarium tempat para muda-mudi saling melempar senyum. Kalau ada kecocokan bisa berlanjut ke pelaminan. Pulangnya orang membeli oleh-oleh biji congklak dari kerang. Main congklok kala itu merupakan kegemaran para gadis dan ibu-ibu untuk meluangkan waktu. Maklum televisi belum ada. Di sini juga dijual akar bahar untuk dijadikan gelang. Konon dapat menyembuhkan penyakit rematik.

Di Pasar Ikan banyak pendatang berziarah ke Masjid Luar Batang, tempat Habib Husein Alaydrus yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18 dimakamkan. Sayangnya, masjid yang sudah berusia lebih dari dua abad itu telah diperbaharui, hingga hilang kekunoannya. Untuk masuk ke Luar Batang, kita harus menaiki jembatan bambu di muara Ciliwung. Berdekatan dengan Luar Batang, di dekat terminal Kota Inten, Jakarta, terdapat meriam si jagur. Inilah meriam besar yang dibawa VOC ketika menaklukkan Portugis di Malaka (1641). Dinamakan demikian, karena bila disundut bunyinya 'jlegar-jlegur'. Di pantat meriam yang panjangnya lebih dua meter itu ada ukiran tangan yang orang sekarang bilang kode senggama. Tapi, aslinya lambang gagah perkasa.

Karena itulah 'si jagur' banyak diziarahi orang. Terutama ibu-ibu yang belum mendapat keturunan. Di samping meriam yang terbuat dari besi baja itu terdapat juru kuncen, yang mulutnya selalu kemak-kemik membacakan doa-doa. Setelah terlebih dulu si peziarah menyelipkan 'doku'. Peziah juga harus membeli 'kembang payung' yang dibuat dari kertas minyak warna-warni. Setelah pulang, payung itu ditaruh di atas kelambu tempat tidur suami istri.

Trem lijn I jurusan Pasar Ikan - Kampung Melayu masih menunggu penumpang di halte Kota Inten. Masinisnya memakai kacamata Ray Band, meniru gaya Tony Curtis, aktor Hollywood paling tampan ketika itu. Sedang kondekturnya tengah menghitung uang talenen ( 25 sen) dan picisan (10 sen), hasil perjalanan Kampung Melayu - Pasar Ikan -- ketika itu disebut uang rece.

Neng - neng - neng - neng. Trempun meninggalkan Pasar Ikan. Lalu berhenti di Faktori -- kantor Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) -- pengganti VOC yang bangkrut akibat hampir seluruh pejabatnya korupsi. Tiba-tiba sang masinis sambil menongolkan kepala dekat jendela memarahi tukang becak yang tidak mau minggir meski kelenangan sudah dibunyikan berkali-kali, "He beca ! Apa lu kagak bisa minggir?"

Tukang becak yang berambut gondrong dan bermuka sangar nyeletuk, "Apaan? Kagak bisa minggir? Gue sih bisa. Lu yang kagak!"

Neng-neng-neng-neng. Trem melewati Markas Polisi Glodok (kini pertokoan Harco). Dulu di sini terdapat penjara. Konon, Bung Hatta pernah dipenjarakan di sini oleh pemerintah kolonial Belanda. Dari Glodok trem melaju ke Lindeteves, nama sebuah perusahaan ekspor impor Belanda di Jalan Hayam Wuruk. Bersama empat perusahaan raksasa Belanda lainnya seperti Geo Wehry, Borsumij, dan Internatio, Lindeteves memiliki ratusan armada termasuk ke mancanegara, sehingga distribusi bahan pangan ke pelosok nusantara berjaloan lancar.

Neng - neng - neng - neng. Trem berhenti di Harmoni, nama sebuah gedung yang kini sudah almarhum. Harmoni Club, yang pada awal 1980-an dibongkar dan jadi gedung Sekretariat Negara di tempo doeloe merupakan tempat pertemuan masyarakat Belanda tingkat atas. Di sini mereka sering berdansa di lantai pualam diterangi oleh lampu-lampu kristal yang gemerlapan. Mereka menikmati makan tengah malam sambil meminum anggur impor dari Eropa di bawah sinar bulan purnama yang ditanami bunga warna-warni.

Di kanal Rijswijk dibatasi jalan Juanda (Noordwijk) dan Risjwijk (Jl Veteran) terdapat patung kecil Hermes bersayap. Menurut mitologi Yunani, Hermes adalah dewa perniagaan. Sementara kedua jalan tersebut pada masa Belanda merupakan pusat perniagaan. Lalu trem setelah melewati Istana Negara, berhenti di depan kantor pos Pasar Baru. Pasar Baru kala itu bersaing keras dengan Glodok. Kalau Anda berpakaian sedikit bagus, akan ditawari dolar, yang harganya di 'bllack market' itu jauh lebih tinggi dari kurs yang ditetapkan BI.

Neng - neng - neng. Dari Pasar Baru trem berbelok ke arah Lapangan Banteng. Pada 1950-an sudah ada niat pemerintah untuk membangun Masjid Istiqlal, yang menurut Bung Karno akan merupakan masjid termegah di Asia, kecuali Masjidil Haram. Masjid ini berdcampingan dengan gereja Kathedral, Menurut Bung Karno dan juga Pak Harto itu sebagai lambang kerukunan beragama di Indonesia.

Setelah menyusuri Pasar Senen yang ramai orang berbelanja, trem berhenti di depan Bioskop Grand yang tengah memutar film Giant, dengan bintang Elizabeth Taylor, Rock Hudson dan James Dean. Ketika berhenti di depan bioskop Rivoli, banyak penumpang turun untuk menonton film Awara yang dibintangi Raj Kapoor dan Nargis. Kemudian trem memasuki Matraman, Sejumlah ibu turun untuk bezoek ke CBZ (kini RSCM).

Sebelum sampai ke terminal Kampung Melayu, trem melewati Pasar Jatinegara dan Bukitduri. Sampai tahun 1970-an di Bukitduri terdapat penjara khusus wanita. Dulu di Bukitduri diuhuni warga keturunan Bali. Mereka adalah para penebang hutan. Untuk melindungi dari perampokan disekitar kediaman mereka yang sedikit berada di bukit diberi pagar berduri. Dari kata pagar berduri inilah lahir nama Kampung Bukit Duri hingga sekarang.


(Alwi Shahab)

Mengamankan Bantaran Ciliwung

Inilah bantaran sungai Ciliwung sekitar tahun 1970'an di salah satu kawasan Jakarta Timur. Air mengalir dengan deras di sungai yang masih lebar dan dalam, sementara pepohonan di sekitarnya sangat rimbun. Kini sulit mencari bantaran sungai yang demikian. Lantaran makin banyak dihuni manusia yang menjadikan sebagai tempat tinggal. Bahkan beberapa di antaranya sudah jadi perkampungan. Tidak heran bila 13 sungai yang mengalir di Jakarta, bukan saja makin dangkal, tapi makin mengecil kelebarannya. Banjir pun tiap saat makin meluas.

Melihat keadaan yang sudah sangat memprihatinkan ini, sejumlah anak di Condet, Jakarta Timur mendirikan 'Wahana Komunitas Lingkungan Hidup Sungai Ciliwung, Condet.' Dengan motto : 'Sebatang pohon seribu kehidupan', para anak muda yang dipimpin Abdulkadir Muhammad dan Budi Setija, telah mengamankan sekitar 20 hektare bantaran sungai Ciliwung di kawasan Condet.

Setelah bekerja tanpa mengenal lelah selama enam tahun, kini hasilnya mulai terlihat. Di markasnya di tepi Ciliwung di Balekambang, mereka menyiapkan ribuan pembibitan berbagai budidaya tanaman, khususnya duku, salak dan melinjo. Ketiga tanaman khas Condet ini, kini semakin langka akibat pesatnya pembangunan perumahan. Sementara, pemborong makin bergairah membangun Condet, yang luasnya 582.450 hektar.

Akibat gagalnya Condet dijadikan sebagai cagar budaya buah-buahan, menurut Abdulkadir dan Budi, ratusan petani buah yang tidak lagi memiliki dan berganti profesi, ingin bekerja kembali. "Untungnya sekitar 80 persen daerah bantaran sungai masih merupakan lahan kosong dan kebun yang tidak terawat," ujar Budi. "Inilah yang ingin diupayakan sebagai lahan konservasi oleh Wahana Komunitas Sungai Ciliwung Condet," ia menambahkan.

Di sini kedalaman sungai masih ada yang mencapai 15 meter. Sekalipun terjadi penyempitan 12 meter, lebar sungai masih mencapai 30 meter. Yang juga perlu diacungkan jempol, dari belasan muda-mudi yang ikut terjun di wahana itu adalah mereka mengadakan Sekolah Alam 'Sawung' (Sekolah Alam Ciliwung). Para siswanya berusia tujuh hingga 12 tahun tiap Jumat.

Di sinilah anak-anak diajar mencintai lingkungan dalam bentuk presentasi, diskusi, kunjungan lapangan, pemutaran film, dan berbagai kegiatan lainnya. Di bandaran yang telah disulap menjadi lingkungan yang sejuk dan asri itu, disediakan perpustakaan, kegiatan berperahu menyusuri sungai sejauh 7 km, dan jalan santai di tengah-tengah pepohonan hijau royo-royo. Kesemuanya merupakan bagian dari 'Wisata Lingkungan Sungai Ciliwung.' Karena itu, tidak heran pada hari-hari Ahad dan libur, anggota Wahana Komunitas Lingkungan Hidup Sungai Ciliwung Condet yang datang mencapai 20-an orang.

Permasalahannya adalah, tidak adanya mushola untuk pengunjung. Padahal, seperti dijelaskan Abdulkadir, biayanya hanya sekitar Rp 10 juta, di samping empat MCK (toilet). Di Condet sekarang ini ada ratusan perusahaan penampung tenaga kerja (TKW dan TKI) serta puluhan pengembang. Mungkin di antara mereka ada yang terketuk hatinya untuk membantu, kata Abdulkadir.

Condet, pada 1975 oleh gubernur Ali Sadikin ditetapkan sebagai cagar budaya buah-buahan. Bahkan berdasarkan SK Gubernur 1989, kawasan di pinggiran Jakarta Timur ini menetapkan Salak Condet dan Burung Elang Bondol sebagai 'Maskot DKI Jakarta.' Kini pohon salak sudah hampir tidak tersisa lagi di Condet, sementara 'Burung Elang Bondol' sudah punah. Setidak-tidaknya inilah yang menyebabkan didirikannya 'Wahana Komunitas Lingkungan Hidup Sungai Ciliwung Condet'. "Guna mencegah hutan kota yang tersisa ini tidak menjadi hutan beton alias tanaman bata," ujar Budi.

(Alwi Shahab)

Kesurupan Roh Halus

Surat-surat kabar dan televisi akhir Maret 2006 lalu ramai memberitakan peristiwa kesurupan massal yang terjadi di sejumlah tempat berlainan. Di awali di pabrik perusahaan rokok kretek Bentoel di Malang. Tidak tanggung-tanggung 30 karyawannya sampai harus diangkut ke poliklinik. Sehari sebelumnya, tujuh siswa SMPN 2, Natang, Jawa Tengah, juga kesurupan.

Pada 21 Maret 2006 kesurupan massal juga menimpa 30 siswa SMA PGRI 2 Banjarmasin. Jumlah itu masih terbilang kecil, karena sepekan sebelumnya 110 siswa kesurupan di Yogyakarta. Rupanya 'roh halus' tidak mau berhenti melakukan aksinya. Setelah Yogya, kasus serupa menyusul di Surabaya dan Bogor, yang juga berlangsung secara massal.

Bagi orang Betawi, kesurupan bukan hal baru. Sudah sejak zaman baheula. Karena itu, tidak heran bila kampung-kampung memiliki orang yang pandai menanganinya, tanpa perlu harus kedokter. H Irwan Sjafii (76 tahun), misalnya, sudah belasan tahun menangani apa yang disebut orang Betawi : 'kemasukan orang halus'. Di kediamannya, di Kampung Duku, Setiabudi, Jakarta Pusat, Bang Piie -- demikian sebutannya sehari-hari -- selalu dicari warga bila ada yang kesurupan.

Pada tahun 1983, ketika menjadi lurah di Petukangan Utara, Kebayoran Lama, ada istri tukang becak yang histeris dan berontak-rontak, karena kesurupan. Kesurupannya cukup lama, dari pukul 09.00 sampai 12.00. Ketika dia mendatanginya, perempuan itu mendampratnya sambil berkata : "Lurah lama baik. Minta izin dulu ketika membangun kantor PKK!"

Rupanya, ketika membangun kantor PKK, Bang Piie ketika itu tidak mau memasang ancak -- terdiri dari telur, kembang 7 rupa, lisong, satu tandan pisang dan uang receh -- seperti kebiasaan masa itu.

"Lurah sekarang pelit. Membangun gedung tidak minta iizin pada penunggunya," teriak perempuan yang kesurupanitu.

"Ini siape", tanya Bang Piie.
"Saya ratu yang menunggu kantor kelurahan," jawab perempuan itu.
"Kalo lu marah jangan masuk sama orang lain. Masuk sama gue!" jawab Bang Piie.

"Lu jangan banyak omong," tantang si wanita, histeris.

Langsung Bang Piie menyundut jempol kakinya dengan rokok yang menyala. "Lu mau pulang kagak?" kata Bang Piie sambil menggertak, "Nanti gue jejelin tai kotok lu!"
Digertak akan dijejelin tai kotok (kotoran ayam), si wanita menjawab, "Iya pulang." Maka dengan badan lesu sadarlah orang itu, setelah kesurupan selama empat jam.

Menurut H Irwan Sjafii, penyebab utama kesurupan karena masalah psikologi dan tekanan jiwa. Karenanya, orang-orang dulu selalu menasehati agar jangan melamun, nanti kemasukan roh halus.

Penulis cerita Betawi 1950-an dan 1960-an pernah membuat artikel tentang kesurupan. Ceritanya, Bang Dulloh, warga Cinangka, dekat Ciputat, Tangerang, sehabis plesiran ke Gedung Arca (Musium Nasional), tiba-tiba kesurupan. Ia menggeletak di depan pintu dengan mata mendelik dan berkaok-kaok, "Aduuuuh, aduuuuuh! Laparr, lapaaarr!"

Seisi rumah dan para tetangga kebingunan. "Ora puguh-puguh (tidak ada apa-apa) kok jejeritan. Orang alus mana nih yang datang?" tanya istrinya. Dengan tubuh menggelepar-gelepar, bang Dulloh berkata, "Guah dari gedong-arca dateng kemari, ora peduli panas, ora peduli ujan!"

"Aduh," jerit istrinya. "Jau-jau dateng ke Cinangka, apa-apaan. Coba tinggal aje di sono. Tapi, apah nih maksudnya nih datang kemari? Bilang dong!" seru beberapa tetangga. "Guah belon senang kalo kagak dijogrogin duren, rambutan, ame ayam bekakak."

"Oooo, mau gegares nyang begituan?" kata bininya. "Baru dikata duren ama rambutan, mau anggur lemot lagi kita bisa adain!" seru istrinya sambil menyuruh anaknya, si Entong, metik rambutan ame duren di kebon. Tak lama kemudian si Entong sudah nongol lagi dengan mendongdong duren tiga biji dan serenceng rambutan.

Lahap sekali Bang Dulloh menyikat apa yang ada di depannya, tapi sekonyong-konyong ia berteriak-teriak lagi, "Kagak ada rasanya. Kagak enak. Gua mau duren jatoan, yang kuning, yang tebal. Jangan kayak ini, bijinya keliatan!"

Karena orang halus di tubuh Bang Dulloh kagak mau juga pulang, maka selang beberapa menit, datanglah Uwa Neot -- seorang kakek-kakek yang kesohor bisa ngusir setan. "Betul-betul kagak mau pulang nih," kata Uwa Neot menghampiri. "Apa lu mau ngerasain dulu pencetan guah?"

Maka, dengan mulut kemak kemik, Uwa Neot memegang tengkuk Bang Dulloh. Dipencetnya jempol kakinya kuat-kuat, hingga Bang Dulloh kontan menjeri-jerit, "Aduuuuuh, aduuuuh!!"

"Nah lu, rasain dah! Ayoh, pulang kagak, ntar gua bejeg terus!" gertak Uwa Neot.

"Bener Wak Neot," sahut orang-orang di sekelingnya.

"Bejeg terus dah, jangan kasih ati!"

"Jejelin tai kotok," yang lain nyeletuk.

Akhirnya, si Ritem, orang halus dari 'gedung arca' yang masuk ke tubuh Bang Dulloh menyerah.

"Ampuuuun, ampuuun dah, sekarang guah mau pulang...."

Maka, Bang Dullah mulai siuman. Matanya berkedip-kedip, tapi ia masih belum sadar betul. "Nyebut ngapah, Bang, jangan diam ajah!"

"Memangnya guah ngapah," tanya Bang Dulloh bangkit sembari mengusap mukanya.

"Abang tadi kesurupan tadi, tau? Baru ngeliat orang-orangan dari batu aje ude kaget, jadi kesurupan...." jawab istrinya.


(Alwi Shahab)

Stadion Ikada Pusat Kegiatan Olah raga

Inilah gambar lapangan Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Jauh sebelum ada Senayan, Lapangan Ikada yang juga disebut Lapangan Gambir merupakan pusat kegiatan olah raga. Nama lapangan Ikada sendiri baru dikenal pada masa pendudukan Jepang, ketika negara itu menduduki Jakarta pada 1942, dan kemudian mengganti sejumlah nama tempat, lapangan dan jalan-jalan.

Dinamai Ikada, karena di lapangan ini para atlet Ibu Kota setiap hari mengadakan latihan-latihan. Tapi yang memanfaatkan lapangan itu sebenarnya bukan hanya para atlet saja. Karena di sekitar lapangan yang luas itu terdapat pula belasan lapangan sepakbola, termasuk lapangan hockey. Di lapangan ini terdapat pula tempat pacu kuda. Termasuk lapangan pacu kuda untuk satuan militer dari kavaleri. Di lapangan inilah sejumlah klub sepakbola pada tahun 1940-an dan 50-an memiliki lapangan sendiri. Seperti lapangan Hercules, VIOS dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas pada kompetisi BVO (Batavia Vootball Organization) dan setelah kemerdekaan digantikan oleh Persija.

Sebelum adanya Senayan (1962), Ikada digunakan sebagai tempat latihan dan pertandingan PSSI. Di tempat inilah sebelum lapangan itu dibongkar diselenggarakan pertandingan-pertandingan sepak bola bergengsi. Termasuk mendatangkan berbagai kesebelasan luar negeri. Nama-nama pemain sepakbola seperti Ramang, Djamiat Dalhar, Tanoto (Tan Liong Houw), Kiat Sek, Van der Vin, bahkan kemudian generasi almarhum Sutjipto Suntoro dan masih puluhan nama lagi selalu bermain di sini. Iswadi Idris dan Bop Hippy yang kemudian menjadi pemain nasional dibentuk dari tempat ini melalui kompetisi-kompetisi gawang (di bawah 14 tahun).

Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-II tahun 1952 di sebelah selatan lapangan ini dibangun sebuah stadion, yang juga diberi nama Stadion Ikada. Proses pembangunan itu singkat, hanya 93 hari. Namun nama itu cukup membekas sehingga nama Stadion Ikada makin dikenal.

Di lapangan inilah pada 13 September 1945 di bawah ancaman moncong meriam dan bayonet Jepang, rakyat Ibu Kota dan sekitarnya mengadakan rapat raksasa untuk lebih mempersatukan rakyat dalam membela kemerdekaan. Tapi karena menghadapi ancaman Jepang dan mencegah rakyat menjadi korban, Bung Karno hanya berpidato sangat pendek. Takut akan terjadi 'banjir darah', Presiden Soekarno menganjurkan agar massa rakyat segera bubar dan pulang ke tempat kediamannya masing-masing.

Almarhum Adam Malik yang hadir dalam rapat raksasa itu dalam bukunya Riwayat Proklamasi Kemerdekaan 1945 menyebutkan bahwa rapat raksasa yang diselenggarakan kelompok Menteng 31 itu tanpa persiapan sama sekali. Menurut mantan Wapres, keadaan itu berbeda ketika Jepang mempergunakan Lapangan Ikada untuk menggembleng semangat ala tiga A (Aku Anti Amerika) yang persiapannya dilakukan selama berhari-hari.

Tentu saja generasi sekarang tidak lagi mengenal lapangan Ikada. Karena tiap orang menyebutnya Lapangan Monas. Lapangan terluas di dunia ini dibangun oleh gubernur jenderal Herman William Daendels (1818). Mula-mula namanya Champ de Mars karena berbarengan dengan kekuasaan Napoleon Bonaparte yang menaklukkan Belanda. Tapi ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Prancis, namanya jadi Koningsplein (Lapangan Raja). Sementara rakyat lebih senang menyebut Lapangan Gambir, yang namanya kini diabadikan untuk nama stasion kereta api.

(Alwi Shahab)

Jl Latuharhari - Menteng

Inilah Jl Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, di masa kolonial Belanda. Terletak di pinggiran kawasan elite Menteng, Jalan Latuharhari merupakan salah satu jalan utama yang menghubungkan Menteng dengan Manggarai, dan Menteng, Jalan Thamrin - Kuningan. Tidak heran kalau kemacetan lalu lintas di sini tidak ketolongan lagi. Padahal sampai awal 1970-an kendaraan dapat leluasa melewatinya. Kini jalan ini dilewati kereta api api KRL yang menghubungkan Bogor-Depok-Tanah Abang.

Dalam masa perkembangan Kota Jakarta sebelum tahun 1945, daerah Menteng dapat disebut daerah muda karena baru dibangun sekitar tahun 1930-an. Ketika banyaknya modal asing yang masuk ke Indonesia, khususnya dari Belanda dan negara-negara barat. Untuk itu perlu dibangun perumahan di Menteng, yang ketika itu penduduknya warga asli Betawi. Tanah untuk pembangunan Menteng dibebaskan pada 1920. Sedangkan pembangunan fisik 10 tahun kemudian dilaksanakan oleh NV de Bouwploeg yang kini menjadi Masjid Cut Mutiah. Sayangnya nama Bouwploeg yang dulu menjadi nama jalan di sini diganti menjadi Jl RP Soeroso. Untungnya nama Boplo diabadikan untuk nama stasiun kereta api di Menteng.

Di seberang Jl Latuharhari terdapat Jl Halimun. Di sini, sampai tahun 1960-an merupakan daerah pelacuran kelas menengah ke bawah. Ratusan pelacur bermukim di sini mencari mangsa. Untuk itu dibangun ratusan rumah dari papan berderet-deret, di tengah-tengah hiburan dangdut hingga jauh malam. Sementara pedagang-pedagang menjajakan dagangannya di meja-meja kecil, dengan penerangan lampu semprong yang di ujungnya diberi warna merah. Sementara di pinggir rel kereta api yang merupakan sebuah taman, kini terdapat rumah-rumah gubuk, yang juga melakukan kegiatan prostitusi.

Pihak aparat keamanan yang dipusingkan oleh penghuni liar yang mengotori dan merusak pemandangan kawasan elite Menteng, kadang-kadang merazia mereka. Sekalipun keberadaan mereka sulit disingkirkan. Padahal di zaman kolonial Belanda ada ketentuan, 30 meter kiri kanan jalan kereta api merupakan milik perusahaan kereta api. Kala itu tidak ada yang berani membangun rumah, bahkan perkampungan seperti terjadi sekarang ini. Nasib yang sama juga dialami oleh bantaran sungai, yang berakibat seringkali terjadi banjir. Para keluarga yang tinggal di dekat Jl Latuharhari mengeluhkan juga keberadaan waria, yang banyak mangkal di sekitarnya. Dalam mencari mangsanya ini, pihak waria rupanya tidak mengenal waktu. Mereka beroperasi tidak tanggung-tanggung. Dari malam hingga beduk subuh baru bubaran.

Banyaknya waria yang beroperasi di sekitar Jl Latuharhari dan daerah Menteng lainnya cukup meresahkan penghuni rumah sekitarnya. Soalnya, seringkali para waria yang berdandan medok dengan seenaknya mengganggu para tamu yang berkunjung ke kediaman mereka. Yang paling menyakitkan, warga yang tinggal di sini tidak luput dari gangguan waria. "Masa kami kalau hendak masuk dan keluar rumah pada malam hari tidak lupa dari colekan waria," kata seorang penghuni. Ketika diadakan operasi terhadap mereka sekitar 1980-an, banyak para wanita yang lari tunggang-langgang. Ada yang sampai nyebur ke kali Malang untuk menghindar tangkapan aparat. Ada di antara mereka, mungkin karena tidak bisa berenang kemudian mati tenggelam.

(Alwi Shahab)

Kisah Ulama-ulama Betawi (II)

Bagian 2 habis

Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren -- sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok -- KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).

Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.

Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Alhabsyi, putera Habib Muhammad Alhabsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.

Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Alhazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.

Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Alhamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Alhamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.

Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Perjuanjgannya kemudiann diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB.

Keluarga Jamalullain termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluiarga Jamalulail.

Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi jurudakwah yang handal. Mereka telah memelopori berdirinya surau-surau di Jakarta -- yang kini menjadi masjid -- seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.

Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggbunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.

Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri.

Kanak-kanak yang mendengar beduk bergembira, lalu belarian ke jalan raya sambil bernyanyi. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui beduk. Akibatnya, seringkali lebaran dirayakan dalam waktu berbeda. Guru Mansyur memahami hal ini. Karena itu, ia memperdalam ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab.

Dalam adat Betawi, guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Ia menguasai kitab-kitab agama dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas guru ada dato'. Dia menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah guru ada mualim. Di bawah mualim adalah ustadz, pengajar pemula agama. Di bawah ustadz ada guru ngaji, yang mengajar anak-anak untuk mengenalk huruf Arab.


(Alwi Shahab)

Kisah Ulama-ulama Betawi (I)

(Bagian 1)

Melaksanakan ibadah haji saat ini -- dengan pesawat udara -- hanya perlu waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama pelayaran.

Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah.

Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Albanjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas, dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.

Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syech Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi'ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.

Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid As'ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.

Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid.

Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.

Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.

Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi'ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tahiriah) itu kini berkembamng pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.

KH Abdullah Sjafi'ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah.

Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi'ie -- perguruannya menghasilkan ribuan orang -- diantara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.

KH Abdullah Syafi'ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.

Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian, yang jamaahnya cukup banyak.

Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front depan Bekas -- Karawang -- Purwakarta. KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai lainnya.

Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafii Al Hazami, mantan ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai SLTA.(Bersambung)

(Alwi Shahab)

Ramai-ramai Berobat ke Singapura

Ketika terjadi booming minyak di awal tahun 1970-an, Presiden Soeharto membangun Rumah Sakit Pertamina di Kebayoran, Jakarta Selatan. Rumah sakit bertaraf internasional itu didirikan dengan tujuan agar investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia tak lagi berobat ke Singapura. Cukup di RS Pertamina saja.

Sebelumnya, Presiden Soekarno juga membangun Paviliun Cenderawasih di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr Ciptomangunkusumo. Ruang khusus very important person (VIP) itu semula diperuntukkan bagi para menteri, pejabat tinggi negara, maupun anggota MPR/DPR yang perlu berobat. Dengan asumsi, mereka adalah orang kaya yang sanggup membayar berapa pun biaya pengobatannya.

Namun rupanya, upaya dua presiden itu tak dapat membendung arus pasien yang berobat ke luar negeri. Dengan moto 'Perawatan Kesehatan Prima Sesuai Kebutuhan Anda', di Singapura, setiap tahunnya lebih dari 200 ribu orang datang ke negara pulau itu untuk mendapatkan perawatan medis bermutu. Data ini dikeluarkan oleh 'Singapore Medicine'.

Sedangkan dari data Dewan Pariwisata Singapura, pada 2005 jumlah wisatawan yang berkunjung ke negara berpenduduk empat juta jiwa ini telah mencapai 7-8 juta wisatawan. Suatu jumlah yang sangat fantastis, beberapa kali lipat lebih banyak dari jumlah wisatawan asing yang masuk ke Indonesia. Yang menarik, dari jumlah 200 ribu orang itu, sebagian besarnya justru pasien asal Indonesia. Jumlah itu belum termasuk yang berobat ke kota-kota di Malaysia, seperti Kuala Lumpur, Malaka, dan Penang, yang nilai mata uangnya lebih rendah dari dolar Singapura.

Data yang dikeluarkan Parkway Group Healthcare, organisasi perawatan terbesar di Asia yang mengelola tiga rumah sakit Mount Elizabeth Hospital, East Shore Hospital, dan Gleneagle Hospital menyebutkan, sekitar 80-90 persen pasien mereka berasal dari Indonesia. Mount Elizabeth Hospital, rumah sakit paling terkenal dari ketiganya, menampung pasien akut berkapasitas 505 tempat tidur.

Tak menentunya masa tinggal pasien yang bisa hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, menyebabkan tumbuhnya rumah sewaan di sekitar rumah sakit yang terletak di pusat perdagangan dan perbelanjaan Orchad Road ini. Pemiliknya pun ternyata kebanyakan orang Indonesia keturunan Tionghoa asal Medan. Rumah sewaan ini seperti yang terlihat di Jalan Kayu Manis, dekat RS Mount Elizabeth Hospital, disewakan cukup murah.

Pasien hanya merogoh 60 dolar Singapura untuk menginap satu hari, dengan kurs Rp 5.650 per dolar-nya. Seperti dituturkan Rudy Haretono (32 tahun), seorang pasien cangkok ginjal asal Palembang, ia lebih memilih rumah sewaan ketimbang tinggal di hotel. Kalau di hotel, ia harus mengeluarkan minimal 80 dolar Singapura per harinya, itu pun kategori hotel termurah. ''Belum lagi ongkos taksi,'' katanya.

Mengapa memilih Singapura? Rudy yang memiliki seorang anak itu menceritakan, ia pernah cangkok ginjal di Guangzhou (Cina Selatan) dekat Hong Kong, empat tahun silam. Guangzhou memang terkenal sebagai tempat pencangkokan ginjal. Tercatat, mantan gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pernah berobat di kota itu.

Namun, katanya, ia merasakan pelayanan di Mount Elizabeth Hospital sangat memuaskan, jauh dibanding saat ia berobat ke Guangzhou. Meski, lebih banyak resep dokter Singapura yang tak bisa ditemui di apotek-apotek Jakarta. Hal lainnya, di Singapura ia lebih leluasa berkonsultasi dengan dokter, yang tak ditemuinya di tempat lain. Ia pun merelakan koceknya keluar lebih banyak, demi kenyamanan pelayanan itu. Seperti, tambahan biaya hingga 50 dolar Singapura untuk setiap setengah jam waktu lebih konsultasi.

Membludaknya pasien Indonesia ke Singapura dan juga Malaysia itu, menjadi fakta tak terbantahkan bahwa rumah sakit di Indonesia --khususnya Jakarta -- tak mampu menarik orang berduit untuk berobat di negeri sendiri. Ironisnya, orang Singapura sendiri hampir tidak ada yang berobat di RS mewah macam Mount Elizabeth Hospital itu. Biaya tinggi menjadi alasan mereka. Kebanyakan warga Singapura lebih memilih berobat di Singapore General Hospital (SGH), rumah sakit terbesar di negeri itu.

SGH berada di bawah Singapore Health Service, kelompok organisasi perawatan kesehatan masyarakat yang membawahkan poliklinik untuk penyakit kanker, jantung, mata, kandungan, kanak-kanak, gigi, penyakit otak, syaraf, tulang, dan perawatan penyakit akut.

Sebagai rumah sakit rujukan nasional, tak kurang 1.500 tempat tidur dan 400 dokter spesialis berbagai macam penyakit, disediakan. Di Indonesia, SGH ibaratnya adalah RSCM. Tentu saja, biayanya lebih murah dibanding Mount Elizabeth Hospital. Walau dari sisi pelayanan tak disangsikan.

Penulis membuktikan sempurnanya layanan rumah sakit ini saat berobat ke bagian Singapore National Eye Centre (SNEC). Cukup dengan menelepon dr Yeo Kim Teck -- senior konsultan SNEC -- pada keesokan harinya, dokter mata terkenal di Singapura itu sudah bisa ditemui.

Dalam waktu singkat, obat juga dapat diambil dengan leluasa di apotek di salah satu ruangan SNEC. Tak ada calo obat berkeliaran di tempat ini. Kejadian yang mungkin tak dijumpai ketika ada di rumah sakit di Indonesia.

( alwi shahab)

Hikayat Kebon Sirih Sejak 1927

Inilah suasana pagi hari di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, yang diabadikan fotonya pada tahun 1927. Jalan yang kini hiruk pikuk dan menjadi salah satu pusat kemacetan di Ibu Kota, 79 tahun lalu tampak lengang, di kiri kanannya dipenuhi pepohonan rindang. Mungkin karena diambil fotonya pada pagi hari, yang tampak hanya sado, yang kala itu merupakan angkutan utama di Kota Batavia (kini Jakarta).

Kampung Kebon Sirih (rupanya dulu banyak pohon sirih tumbuh di sini), merupakan salah satu kampung tua di Jakarta. Dibangun pada tahun 1830 atas perintah Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang terkenal dengan sistem tanam paksanya yang membuat bencana kepada masyarakat banyak. Ia membentuk sebuah lingkaran apa yang disebut Defensielijn Van den Bosh atau Garis Pertahanan Van den Boosh yang disebut Weltevreden. Yakni wilayah sekitar Gambir (kini Monas). Di sinilah tempat pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di Jl Kebon Sirih, terdapat kantor DPRD DKI Jakarta, yang terletak di bagian belakang dari Balai Kota, yang dibangun pada awal abad ke-20.

Kebon Sirih, yang berdekatan dengan kawasan elite Menteng, merupakan salah satu pemekaran Batavia ke arah selatan. Ujung bagian selatan Kebon Sirih, terdapat Jl Parapatan. Di sini Bung Karno membangun patung petani suami istri. Ketika terjadi Gerakan 30 September, banyak pihak yang menghujat patung ini, karena si petani menyandang bedil dipinggangnya. Maklum, menjelang G30S (September 1965), PKI dan ormas-ormasnya menuntut agar 15 juta petani dan buruh dipersenjatai sebagai angkatan ke-5. Usulan ini ditentang keras pihak ABRI yang mengakibatkan terjadinya konflik antara PKI dan AD.

Kebon Sirih terkenal dengan ratusan pengusaha kecil yang berkarya dalam industri jok. Hikayat Kebon Sirih sebagai pusat industri jok di Jakarta, dimulai tahun 1928. Tentu saja ketika itu, saat mobil belum banyak ngonol di Jakarta, para pengusaha kecil diisi membuat jok untuk delman dan sado. Pada tahun 1950-an mereka juga membuat jok untuk becak, ketika kendaraan beroda tiga ini menjadi raja jalanan di Ibukota. Kini, para perajin jok lebih banyak membuat pesanan untuk mobil. Ketika industri jok tengah berkembang, terutama di masa Pak Harto saat perusahaan mobil PT Astra menjadikan mereka sebagai anak angkat khusus dibidang pembuatan jok. Kala itu, anak-anak di sekitar Jl Kebon Sirih Timur Dalam tidak ada yang menganggur. Masih di usia belasan, mereka sudah ikut membantu orang tua atau teman.

Karena industri jok di Kebon Sirih sudah berlangsung lebih tiga perempat abad, maka pekerja jok sekarang ini merupakan generasi ketiga. Tapi keberadaan mereka menjadi terganggu ketika di daerah ini perusahaan Bimantara membangun gedung megah dan besar, hingga banyak rumah penduduk tergusur. Apabila hal ini terus terjadi dikhawatirkan salah satu kampung tua dan bersejarah di Jakarta ini akan hilang.

Nama Kebon Sirih termashur di mancanegara, karena di Jalan Jaksa yang terletak antara Jl KH Wahid Hasyim dan Kebon Sirih bertabur hotel murah meriah. Tempat berseliweran para turis (yang) berkantong cekak. Di sini juga digelar Pesta Jalan Jaksa. Cap jaksa pada jalan itu telah ada sejak sebelum pewrang dunia II. Konon, dulu jalan itu merupakan tempat pemondokan mahasiswa sekolah tinggi hukum Belanda di Jalan Merdeka Barat. (Kini Departemen Hankam). Namun, para mahasiswa itu tak mampu meraih gelar sarjana hukum (MR), cuma mampu tingkatan jaksa. Jadilah sepotong jalan sepanjang 450 meter itu disebut Jl Jaksa (sampai kini).


(Alwi Shahab)

Penduduk Asli Betawi

Ada yang berpendapat penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah pelbagai suku bangsa dan bangsa-bangsa asing. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Seperti dikemukakan sejarawan Sagiman MD, penduduk Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, yaitu 1500 SM.

Yang pasti penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Tidak dipungkiri memang ada percampuran darah di zaman kekuasaan Hindia Belanda. Mengingat pada masa itu, khususnya pada abad ke-17, 18, dan 19, terjadi percampuran darah ketika warga Cina, Arab, dan Eropa (Belanda), yang umumnya datang di Batavia tanpa istri, mengawini penduduk setempat.

Sementara itu, Yahya Andi Saputra, jebolan Fakultas Sejarah UI, berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah. Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa. Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing. Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa Jawa dan Sunda).

Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu. Pada abad ke-2, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.

Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap.

Pada zaman Tarumagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu.

Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan.

Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7 ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta.

Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.

Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah -- pengaruh para pendatang dari Hadramaut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.

Sejak dahulu kala Jakarta menarik perhatian orang asing. Pada tahun 414 berkunjung ke Jakarta seorang kelana Tiongkok bernama Fa Hiiiien. Ia melihat banyak rumah di pesisir. Banyak penduduk Jakarta yang menangkap ikan di laut. Jakarta banyak disukai orang asing karena air minumnya yang jernih. Juga di sini dihasilkan tuak yang diambil dari pohon nira.

Pada abad ke-12 pelabuhan Sunda Kelapa ramai dikunjungi pelaut-pelaut asing. Kemudian hari sebagian dari mereka menjadi penduduk Jakarta. Ketika Jan Pieterzoon Coen mendirikan Batavia (Mei 1619), penduduk Jayakarta menyingkir sambil mendirikan markas gerilya di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur). Untuk mengisi kekosongan kota, Coen mendatangkan banyak budak dari Asia Selatan dan Bali.

Keberadaan budak yang baru dihapuskan 1860 membuat sejumlah sejarawan asing terkecoh. Mereka menulis bahwa orang Betawi keturunan budak. Padahal sejak 1.500 tahun SM di Jakarta dan sekitarnya sudah bermukim orang Betawi.
(Alwi Shahab)