Tuesday, March 21, 2006

Bung Karno Mengganyang You Can See

Ganyang (mengganyang), menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti memakan mentah-mentah, memakan begitu saja, menghancurkan, mengikis habis dan mengalahkan lawan (dalam pertandingan).

Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno kata tersebut banyak dipakai. Ketika konfrontasi dengan Malaysia misalnya, tidak terhitung banyaknya demo meneriakkan 'ganyang Malaysia'. Demikian juga saat-saat meruncingnya hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat, muncul 'Ganyang nekolim' (neo-kolonialisme, kolonialisme dan imperialisme).

Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1964, Bung Karno memberikan judul pidatonya Tahun Vivere Pericoloso (Tavip). Ia menginstruksikan seluruh rakyat untuk melaksanakan Tri Sakti Tavip. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Dalam masalah yang terakhir ini, Bung Karno menentang keras apa yang disebutnya 'musik ngak ngik ngok', literatur picisan, dan dansa-dansi gila-gilaan. Menurut Bung Karno kaum imperialis ingin merusak moral bangsa Indonesia melalui penetrasi kebudayaan.

Dalam soal kepribadian, Bung Karno juga menginginkan agar dalam berpakaian pun mencerminkan kepribadian Indonesia. Tidak heran kalau pakaian you can see, yang memperlihatkan ketiak, juga menjadi sasaran tembak. ''Ganyang you can see,'' teriakan yang sering terdengar bila melihat orang berpakaian demikian.

'Pengganyangan' itu tidak hanya terjadi di Jakarta. Saya pernah mengikuti Menteri Negara Oei Tjoe Tat, pada pertengahan 1960-an, ke Kalimantan Barat. Dari sebuah losmen, sejumlah anak muda meneriakkan ''ganyang you can see'' kepada seorang wanita yang berpakaian demikian. Terlihat bagaimana merah padamnya muka wanita tersebut menahan malu. Ia cepat-cepat menghindar dari kerumunan massa yang berteriak-teriak itu.

Dalam kaitan dengan you can see itu, perusahaan kosmetik Rexona punya iklan yang disebut Ketty Dance, yakni tarian sejumlah perempuan dengan memperlihatkan ketiaknya. Bukan rahasia lagi, para pembawa acara di televisi bukan hanya berwajah cantik, tapi kebanyakan juga mesti berpenampilan berani. Demikian pula para penari latar dan penyanyi, merasa kurang afdhol kalau tidak menggoyang-goyangkan pinggulnya.

Menurut Munif Bahasuan (71 tahun), yang lebih 50 tahun berkecimpung di dunia dangdut, ketika dangdut masih bernama Orkes Melayu mereka tampil sangat sopan. Penyanyi wanitanya berpakaian kebaya, sedangkan prianya memakai teluk belanga. Ada foto yang sering disiarkan ketika Bung Karno bertari lenso dengan putrinya, Megawati Sukarnoputri. Megawati menggunakan baju kebaya dan kain batik, busana wanita yang dominan saat itu.

Masih menurut Munif, dahulu yang disebut goyang pinggul tidak ada. Kalau sekarang tidak terhitung banyak jenisnya. Ada goyang ngebor, goyang ngecor, goyang patah-patah, goyang kayang dan entah apa lagi namanya. Tidak heran kalau RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) disahkan mereka tidak setuju. Bagi televisi pertunjukan semacam itu bukan saja dimaksudkan untuk mengejar rating, tidak peduli dengan mengeksplorasi sensualitas. Padahal ketika Bung Karno melarang you can see tidak ada masalah di masyarakat.

Dalam kaitan dengan RUU APP, saya ingin sedikit mengutip pengamatan Moammar Emka, penulis buku Jakarta Undercover dan pemerhati kehidupan malam, ketika beberapa waktu bersama saya jadi pembicara dalam 'Program Persiapan Calon Pemimpin DPW PKS DKI Jakarta.

Jakarta sebagai kota metropolitan (dan kota-kota besar lainnya), tak lepas dari kehidupan malamnya. Ratusan tempat hiburan malam berlomba-lomba membuka pintu lebar-lelbar dengan aneka menu spesial menggoda, dari kafe, bar, pub, diskotek, karaoke sampai klub. Nafas kehidupan malam itu, pada akhirnya juga menghembuskan bau lain yang tak sedap karena dalam prakteknya tak semua tempat hiburan beroperasi sebagaimana mestinya.

Diskotek kini tak hanya sebagai ajang berdisko semata, tapi juga sebagai ajang untuk meneguk kenikmatan 'surga ekstasi dan seks'. Karaoke tak lagi sebagai tempat rileksasi ditemani ladies-escort, tapi juga sebagai prive room untuk mendapat layanan spesial dari penari striptis, seks shashimi sampai kencam one short time.

Kalau dilihat dari kaca mata industri, kata Moammar Emka, Jakarta tak ubahnya seperti sebuah medan yang tiap hari, bahkan tiap jam, selalu berdenyut oleh banyaknya transaksi seksual. Saking banyaknya industri seks yang ada di Jakarta, saya sampai berani membuat satu kesimpulan bahwa Jakarta sudah menjadi medan sex show supermarket. Bagaimana tidak? Jumlah tempat pijat, sauna, karaoke dan hotel yang menyediakan pelayanan sensual, jumlahnya tak kalah banyak dengan supermarket.

Kita tidak ingin dekadensi moral yang sudah merusak kepribadian bangsa terus meningkat tanpa kendali. Karena itu, memang diperlukan perangkat UU yang mengatur pornografi dan pornoaksi.

(Alwi Shahab )

Kenangan Masa Kecil di Batutulis

Berbelok kearah kiri setelah melewati Jl Juanda, Jakarta Pusat, kita memasuki Jalan Pecenongan. Gedung paling ujung yang terletak antara Jl Juanda dan Pecenongan terdapat kantor PT Astra. Gedung yang cukup besar dan terletak di hook ini dulunya toko buku dan percetakan Van Dorp, milik Belanda.

Boleh dikata, Van Dorp toko buku terbesar dan terlengkap di Jakarta kala itu. Gunung Agung dan Gramedia belum muncul. Seperti juga berbagai perusahaan milik Belanda, toko buku itu 'diambil alih' pertengahan 1950-an akibat sengketa Irian Barat (Papua). Di kiri Jalan Pecenongan, dulu terdapat Gang Bongkok. Gang buntu yang dihuni warga Betawi. Mereka banyak yang berprofesi sebagai tukang penatu. Baju dan pakaian mereka cuci di Kali Ciliwung yang jaraknya tidak lebih dari seratus meter. Masih di Jalan Pecenongan, di sebelah kiri jalan menuju arah Sawah Besar terdapat Gang Abu.

Saya punya cukup banyak pengalaman ketika masa kanak-kanak tinggal di kampung ini. Seperti juga Gang Abu, banyak jalan yang sudah menghilang. Ada yang karena diganti namanya, banyak juga yang tergusur menjadi pertokoan dan pencakar langit. Semua lorong atau jalan di sini menjadi Jalan Batutulis I sampai XX.

Di Gang Abu dulu banyak berdiam keturunan Arab berdampingan dengan warga Betawi. Seperti almarhum M Asad Shahab, pendiri kantor berita Arabian Press Board (APB), pada tahun 1940 sampai 1950 tinggal di Gang Panjang (kini Jalan Batutulis I). Ketika revolusi fisik, APB berjasa besar menyiarkan proklamasi kemerdekaan ke negara-negara Arab, sehingga Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI. Di Gang Panjang terdapat sasana tinju, yang pada 1950-an dan 60-an menghasilkan banyak petinju terkenal seperti Bobby Nyoo dan Jacky Nyoo.

Di Gang Lebar (kini Jalan Batutulis XIII), kala itu terdapat rumah kediaman KHM Syafi'i Alkhadzami, yang kini mengajar dan membuka majelis taklim di belasan tempat. Ia pernah menjadi ketua MUI DKI Jakarta (1985-1990). Dalam usia 9 tahun dia telah khatam Alquran seperti juga banyak dilakukan anak Betawi kala itu. Kiai ini pernah mengajar di Masjid Gang Abu, berseberangan dengan rumah Habib Husein Alaydrus, cicit pendiri masjid Luar Batang, Pasar Ikan.

Di Jalan Pecenongan dulu terdapat toko buku dan penerbit G Kolff & Co. Kolff merupakan toko buku dan percetakan pertama di Jakarta, berdiri pada 1848. Pendirinya seorang Belanda bernama Johannes Cornelis Kolff. Mula-mula berkantor di Buiten Nieuwpoort (kini Pintu Besar Selatan). Kolff juga aktif di bidang pers. Dialah yang menyeponsori surat kabar terkemuka di Indonesia: Java Bode. Kantor Kolff di Pecenongan, sekarang menjadi Hotel Red Topp. Di sini juga terdapat Hotel Imperium, disamping perkantoran, restoran, dan showroom beberapa perusahaan mobil besar. Boleh dikata kini sudah tidak ada lagi rumah tinggal di Pecenongan.

Hal yang sama juga kami dapati di Jalan Batutulis, yang terletak di sebelah kirinya. Di sinilah Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo pernah tinggal semasa anak-anak. Dia tinggal bersama kakeknya, H Abdul Manaf, yang pada masa itu menjadi salah seorang tokoh NU. Kesetiannya pada NU ditularkan pada puteranya, H Syah Manaf. Seperti juga kakek dan pamannya, Ir Fauzi Bowo mengikuti jejak mereka menjadi ketua NU Jakarta Raya. Bersebelahan dengan kediaman kakeknya, terdapat rumah SMR Shahab. Dia adalah importir film-film Mesir dan pengelola bioskop Alhambra, di Sawah Besar. Bioskop ini khusus memutar film-film Mesir, sebelum tersaingi film India. Di depan bioskop terdapat Pasar Ciplak, tempat para seniman sering berkumpul.

Di Jalan Batutulis terdapat kluster tempat mendidik calon biarawati Katolik. Tempat ini terbentang dari Jalan Juanda hingga Jalan Batutulis, yang panjangnya lebih dari 500 meter. Pada masa VOC (1602-1799) agama Katolik dilarang berkembang di seluruh daerah kompeni. Baru pada 1806, ketika Louis Bonaparte menjadi Raja Belanda, agama Katolik boleh berkembang. Louis adalah adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte, yang berhasil menaklukkan Belanda. Pihak Prancis menyatakan memberikan perlindungan yang sama terhadap semua agama. Pada 8 Mai dicapailah kesepakatan antara Raja Louis Bonaparte dan Vatikan, hingga agama Katolik dibolehkan berkembang di Nusantara.

Penduduk Tugu, Jakarta Utara, yang beragama Protestan, dulunya Katolik. Mereka diberikan tempat tersebut setelah mengganti agamanya jadi Protestan. Di Depok, bekas keturunan budak telah dibebaskan oleh Chastelein, setelah mereka masuk Protestan. Berbelok ke kiri dari Jalan Batutulis, terdapat Jalan Juanda III. Dulu bernama Gang Thieubalt (Gang Tibo, kata orang Betawi). Jalan yang kini hanya dihuni perkantorn, rumah makan, dan berbagai tempat bisnis lainnya, mengabadikan seorang Belanda, Alfred Thiebault. Memulai karir sebagai guru, ia kemudian menjadi pengelola klub hiburan militer Concordia di Lapangan Banteng (kini menyatu dengan Depkeu). Kemudian jadi pengelola Klub Hiburan elit Belanda, Harmonie. Kini bagian dari gedung Setneg.

Di Gang Thiebault terdapat toko roti Bogerien, yang kesohor di Jakarta sampai 1950-an. Di sini juga terdapat rumah makan Italia Chez Morio yang banyak didatangi anak-anak muda. Di dekatnya terdapat Masjid Kebon Kelapa. Di masjid ini, sejak 1940-an dikembangkan ajaran tarekat oleh KH Abdul Fatah. Di dekatnya terdapat Brendesch Laan (kini Jalan Batuceper). Kemudian Gang Bedeng. Bedeng berasal dari nama pengusaha es warga Belanda: Buddungh. Di Gang Bedeng tinggal seorang ahli fikih kenamaan, almarhum Habib Abdullah Shami Alatas. Banyak ulama Betawi yang berguru kepadanya. Di kawasan ini sekarang hampir tidak terdapat lagi perumahan. Rupanya Jakarta berkembang terlalu cepat, sehingga di kanan-kiri jalan-jalan raya sudah hampir tidak tersisa lagi rumah-rumah tinggal.

(Alwi Shahab )

De Javasche Bank dan ''Gunting Sjafruddin''

Ketika terjadi Perang Diponegoro (1825-1830), pihak Belanda jadi kewalahan. Bukan saja perang yang dikobarkan seorang pangeran keraton Yogyakarta ini menelan banyak korban, tetapi kerugian keuangan yang amat besar di pihak Belanda. Kerugian diperkirakan 20 juta gulden, jumlah yang amat besar kala itu. Untuk itu Belanda meminjam ke sana-ke mari, termasuk utang dari luar negeri.

Untuk itu diperlukan lembaga perbankan. Dan dibangunnya De Javasche Bank pada 21 Januari 1828 di kota tua Batavia. Tepatnya di Jalan Pintu Besar Selatan, berhadapan dengan stasiun kereta api Beos (Jakarta Kota). Gedung yang hingga saat ini masih berdiri megah pada 1913 diperluas dan direnovasi. Lantainya dari granit yang didatangkan dari Bavaria (Jerman), kaca-kaca jendela aneka warna dari Delft dan gentengnya dari Belanda. Sebelumnya, tempat ini merupakan rumah sakit militer, ketika sebagian besar warga Eropa masih tinggal di kota lama (Sunda Kelapa-Pasar Ikan).

Tanpa dukungan cadangan emas, De Javasche Bank mengeluarkan uang kertas dan meminta masyarakat menukarkan uang emasnya. Kala itu, masyarakat umumnya tidak percaya pada bank. Mereka lebih suka menyimpan uang di bantal. Kini, masyarakat sudah bank minded dan bank beroperasi sampai ke desa-desa terpencil. Tidak terhitung banyaknya ATM merebak di berbagai tempat, sebagai bagian dari persaingan antar bank. Tapi, sejarah juga mencatat banyaknya kasus perbankan, terutama sejak deregulasi perbankan 1990-an. Dan kini, makin diperparah dengan kredit macet yang jumlahnya triliunan perak.

Pada tahun 1953, De Javasche Bank dinasionalisasi oleh Bank Indonesia. Karena sebagai negara merdeka harus memiliki bank sentral sendiri. Sampai 1980-an, kantor pusat BI masih di bekas gedung De Javasche Bank, untuk kemudian pindah ke Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Sedangkan gedung lama dijadikan sebagai kegiatan Litbang BI. Ketika Sjafruddin Prawiranegara menjabat Menteri Keuangan, pada 1950 di bebarapa daerah masih beredar uang ORI dengan sebutan 'uang putih', bersama uang NICA yang disebut 'uang merah'. Ia pun memerintahkan agar seluruh 'uang merah' dan uang De Javasche Bank yang bernilai lima rupiah ke atas digunting jadi dua bagian. Potongan bagian kanan tidak berlaku, sedang bagian kiri dengan nilai setengah (50 persen). Upaya yang dilakukan Syafruddin waktu itu terkenal dengan nama ''gunting Sjafruddin''.

Peristiwa lebih setengah abad lalu itu, dampaknuya sangat luas bagi masyarakat saat itu. Sanering ini baru diketahui secara luas pada sore hari setelah sebelumnya diumumkan melalui radio -- waktu masih sedikit pemilik radio -- Mereka yang mendengar siaran radio dan dari mulut ke mulut berbondong-bondong menyerbu toko dan pedagang. Membeli apa saja tanpa tawar menawar. Di Pasar Senen banyak pemilik toko terkecoh ketika dagangannya hampir ludes baru mengetahui nilai uang tinggal separuh. Banyak orang yang stress. Apalagi mereka yang baru saja menjual barang berharga. Banyak transaksi yang menjadi gagal dan batal. Tapi, dengan cara itu Sjafruddin mengurangi jumlah uang beredar, dan mengendalikan inflasi.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Asem Reges

Pasar Asem Reges terletak di kawasan Sawah Besar atau Sao Besar kata orang Betawi. Untuk mencapai pasar yang telah berusia lebih satu abad ini, dari Jl Pecenongan kita menuju Jl Taman Sari (Jakarta Barat). Asem Reges kini terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan suku cadang kendaraan bermotor di Ibukota.

Dulu pasar itu merupakan pusat perdagangan sepeda. Maklum sampai 1950-an sepeda merupakan salah satu alat transportasi utama di Jakarta. Para pegawai, dan terutama para murid dan mahasiswa, saat sekolah dan kuliah memakai sepeda. Termasuk nonton bioskop dan pergi ke tempat hiburan dengan pacar. Di tempat-tempat ini terdapat tempat penitipan sepeda.

Jl Asem Reges ketika saya datangi awal minggu ini sudah berubah jadi Jl Taman Sari Raya. Dulu Asem Reges jadi nama jalan tersendiri, untuk kemudian menyambung dengan Jl Taman Sari. Ini merupakan peggantian yang kedua kali. Karena pada masa Belanda Jl Asem Reges bernama Droossaerweg. Seperti juga Sawah Besar -- jalan utama di sebelahnya -- kini jadi Jl Sukarjo Wiryopranoto dan KH Samanhudi. Sekalipun demikian nama Sawah Besar tetap lebih populer sampai saat ini.

Dulu, di Asem Reges terdapat pabrik limun terkenal 'Lourdes'. Kala itu, Coca Cola, Pepsi, dan Fanta, belum ada. Pabrik ini memproduksi air Belanda yang kemudian terkenal dengan air soda.

Di belakang pasar Asem Reges terdapat jalan yang hanya bisa dilewati satu mobil. Yakni, Gang Wedana (kini Jl Taman Sari II), Gang Arab (Jl Taman Sari IC), Gang Alfu (Taman Sari III), dan Gang Maphar (Jl Taman Sari IV). Sampai tahun 1960-an, banyak sekali keturunan Arab yang tinggal di kawasan ini.

Nama Jl Wedana menunjukkan bahwa di jalan itu pernah tinggal seorang wedana. Dan, sang wedana itu tidak lain Thamrin Moehammad Thabri, ayah pahlawan nasional asal Betawi, Mohammad Hoesni Thamrin. Thamrin Moehamad Thabri, seperti diuraikan cucunya H Nuh Thamrin dan keponakan Hoesni Thamrin, tinggal dibagian ujung Gang Wedana. Di rumah inilah, keluarga Thabri tinggal termasuk Hoesni Thamrin dan adiknya, Abdillah Thamrin.

Rumah tempat Thamrin dibesarkan itu kemudian menjadi Rumah Bersalin Sawah Besar, dan kini menjadi pertokoan. Ia diangkat jadi wedana tahun 1908 -- jabatan paling tinggi nomor dua untuk golongan bumiputera. Karena itulah, putera-puteranya dapat menikmati sekolah Belanda. Termasuk sekolah di Broeder dan KW Drie (kini Gedung Arsip Nasional di Salemba). KW Drie merupakan sekolah bergengsi pada masa itu, tidak sembarang bumiputera boleh sekolah di sana.

Di Gang Wedana, pada 1917, Thamrin Moehammad Thabri sebagai seorang yang telah menunaikan rukum Islam kelima, dan dididik dari keluarga taat beragama, mendirikan sebuah masjid yang diberi nama An-Nur. Masjid ini dibangun setelah ia pensiun pada 1911.

Kini masjid yang dulunya mushola itu sudah menyatu di antara Gang Arab dan Gang Wedana. Masjid berlantai dua ini dapat menampung 1500 jamaah. Sementara adik M Hoesni Thamrin, Abdillah Thamrin, setelah bermukim selama selama 11 tahun di Mekah, diminta oleh ayahnya untuk mendampinginya mengelola masjid. Kini, masjid cukup besar yang letaknya berdekatan dengan warga Betawi yang masih tersisa itu ditangani oleh H Nuh Thamrin, putra Abdillah Thamrin. Luasnya 1200 meter persegi.

Banyak sekali kegiatan di masjid yang dibangun dan dikelola keluarga pahlawan nasional Hoesni Thamrin itu. Hoesni Thamrin selama masa remaja telah ditempa semangat nasionalis. Ia sering melihat ayahnya menerima tokoh Sayarikat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto. Pahhlawan Nasional Mohammad Hoesni Thamrin dilahirkan 16 Pebruari 1894 atau tiga tahun lebih tua dari Bung Karno, kawan seperjuangannya. Tempat kelahirannya di kawasan Sawah Besar, yang kini hiruk pikuk selama 24 jam, kala itu masih terletak di pinggiran kota Batavia.

Pada masa itu, selama seperempat abad, Batavia telah ikut menjalin perkembangan teknologi dunia. Pada 1869 Terusan Suez dibuka hingga mempercepat hubungan dari Eropa ke Asia, termasuk Indonesia. Telepon kabel telah diperkenalkan di Betawi yang menghubungkan dengan daerah-daerah lain, di samping beroperasinya kapal-kapal uap menggantikan kapal layar. Demikian pula jaringan listrik dan gas dengan dibukanya pabrik gas di Jl Ketapang, dekat Sawah Besar. Jl Ketapang, yang kini diubah jadi Jl KH Zainul Arifin -- yang merupakan kampung kelahiran ibu Hoesni Thamrin, Nurhamah -- terletak di sebelah selatan pabrik gas.

Sementara pelabuhan Tanjung Priok yang menggantikan Sunda Kelapa telah mampu melayani kapal-kapal samudera 8 tahun sebelum kelahiran Husni Thamrin. Akibat mudah dan singkatnya pelayaran dari Eropa ke Batavia, tidak heran pada saat itu mulai banyak berdatangan warga Belanda totok. Penduduk Eropa di Batavia pada 1860-1870 meningkat dari 5.000 menjadi 49.000. Sepuluh tahun kemudian menjadi 60 ribu (Bob Hering dalam buku Mohammad Hoesni Thamrin).

Di Jalan Sawah Besar No 32, tempat tinggal Hoesni Thamrin setelah berkeluarga, ia menghembuskan napas terakhirnuya, setelah beberapa hari sebelumnya kediamannya diperiksa oleh reserse PID. Kediamannya itu kini menjadi ruko yang menjual suku cabang bernama Sumatek. Meninggalnya Thamrin dengan cepat menyebar ke seantero kota. Saat pemakaman Ahad (12/1-1941) keesokan harinya, puluhan ribu warga Betawi berbondong-bondong memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan Betawi yang selalu membela rakyat kecil itu.

Menurut Hering, yang menyaksikan prosesi pemakaman tidak kurang 20 ribu sampai 30 ribu rakyat. Mereka memberikan penghormatan ketika kereta jenazah melewati Sawah Besar, Harmoni hinngga TPU Karet. Di antara para ulama yang mengantar termasuk Habib Ali Kwitang, yang membacakan talkin. Tempat pahlawan nasional ini menghembuskan nafas terakhir, sebelum jadi ruko dan pertokoan, pernah menjadi Percetakan Siliwangi, milik Pak Kartasasmita, ayah mantan menteri pertambangan Ginanjar Kartasasmita.

(Alwi Shahab )

Stasiun Beos dan Roh Jahat

Foto stasiun Beos (Jakarta Kota) diambil saat menjelang diresmikan pada 8 Oktober 1929 atau 76 tahun lalu. Tapi 56 tahun sebelum stasiun ini dibangun, jalan kereta api pertama di Pulau Jawa : dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor) dimulai 1873. Untuk kemudian diikuti dari Jakarta ke Bandung, kemudian ke Yogyakarta (arah selaltan). Kemudian berkembang Jakarta - Cirebon - Semarang dan Surabaya. Juga Tanjung Priok menuju Merak, dan para penumpang yang ingin ke Sumatera disediakan kapal laut.

Nama Beos berasal dari kata BOS, singkatan dari Bataviasezhe Oosterspoorweg Maatschappij nama perusahaan kereta api di masa kolonial. Entah kenapa, kata BOS oleh lidah Betawi kemudian menjadi Beos hingga saat ini. Pada 1887 BOS sudah menambah jalur kereta api ke Bekasi, sepanjang sisi timur kota Batavia melalui Kemayoran, Pasar Senen dan Meester Cornelis (Jatinegara). Ketika stasion Beos mulai dibangun (1927-1928), ia merupakan stasion utama dengan 12 jalur.

Dalam gambar terlihat rel trem listrik, yang mulai beroperasi di Batavia pada tahun 1920'an. Sebelumnya, untuk lalu lintas kota muncul trem berkuda. Satu gerbong berisi 40 - 50 penumpang ditarik oleh empat ekor kuda dari Jatinegara - Jakarta Kota. Harian 'Java Bode' -- koran utama berbahasa Belanda kala itu -- melaporkan, beberapa kali terjadi kuda-kuda ada yang mati kelelahan. Yang juga memusingkan pihak geemente (balai kota) binatang ini membuat kotor jalan raya. Namanya juga binatang buang air besar dan kencing ditengah jalan. Untungnya 12 tahun kemudian (1881) di Batavia muncul trem uap dengan bahan bakar batubara sehingga asapnya sedikit menimbulkan polusi. Menjelang penggantian abad ke-19 ke abad 20 (1899), muncul trem listrik yang beroperasi hampir disegenap penjuru kota. Trem listrik tergusur awal 1960-an saat walikota Jakarta Sudiro. Bung Karno tidak setuju trem dipertahankan di Jakarta. Dia lebih setuju dengan kereta api bawah tanah (metro), yang hingga kini tidak kunjung dibangun.

Ketika stasiun Beos diresmikan diadakan selamatan untuk mengusir roh jahat, berupa dikuburnya dua kepala kerbau. Satu kepala kerbau dileletakkan dijalan masuk (di dasar jam dinding) dan lainnya di belakang stasion baru. Karena stasion Beos, pengganti stasion lama yang terletak di depan gedung balaikota lama (kini Museum Sejarah DKI Jakarta Jl Fatahillah). Selamatan untuk mengusir roh jahat dengan menanam kepala kerbau merupakan hal lazim ketika itu (mungkin masah ada sekarang). Kalau tidak -- menurut kepercayaan -- gedung atau jembatan yang dibangun minta tumbal berupa manusia yang akan jadi korbannya.

Stasion Beos yang pembangunannya memerlukan waktu satu tahun, diarsiteki Ir FJL Ghijsels, warga Belanda kelahiran Tulung Agunjg (Jatim) 1882. Arsitek lulusan Delf ini juga membangun berbagai gedung di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang dan Makassar. Yang hingga kini masih kita dapati, termasuk gedung Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Medan Merdeka Timur dan gedung Bappenas di Jl Surapati, Jakarta Pusat.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Jalan Pecenongan dan Krekot

Memasuki Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, dari arah Jl Batuceper (di masa Belanda: Brendesch Laan), awal pekan lalu, saya teringat pada Eddy Tansil, megakoruptor yang buron dan menghilang sembilan tahun lalu. Di Pecenongan inilah Eddy memulai usahanya jual beli motor kecil-kecilan, ketika datang dari Makassar.

Dengan cepat usaha Eddy berkembang pesat berkat kedekatannya dengan pejabat kala itu. Ia kemudian dipenjara di LP Cipinang karena dituduh sebagai pembobol Bapindo sebesar Rp 1,3 trilyun. Hanya beberapa saat mendekam di LP Cipinang -- dengan berbagai fasilitas yang hanya di dapat orang berduit -- ia pun kabur setelah menyogok sejumlah petugas LP dengan alasan ingin ke rumah sakit. Mula-mula ia melarikan diri ke Singapura, seperti juga yang dilakukan para pencoleng uang negara lainnya. Dari Singapura, Eddy meneruskan pelariannya entah kemana. Dan tampaknya, pemburuan terhadap Eddy Tansil sudah berakhir. Mungkin kini ia merasa aman setelah mengantongi doku bejibun.

Sejumlah konglomerat yang juga melarikan diri dengan membawa kabur uang ratusan trilyun rupiah mengalami nasib sama seperti rekannya : Eddy Tansil. Sementara ribuan balita menderita busung lapar, dan jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan. Jl Pecenongan kini tidak lagi menjadi pusat perdagangan sepeda motor. Statusnya menjadi lebih tinggi. Belasan show room roda empat berdiri megah di sepanjang jalan tersebut, dan di Jl Batutulis di dekatnya. Sedangkan tempat penjualan motor sudah berpindah sampai ke desa-desa terpencil.

Kini orang dapat membeli motor seperti layaknya membeli kacang goreng. Cukup jaminan KTP. Karenanya gubernur Sutiyoso setuju di Jakarta ada jalur khusus untuk sepeda motor. Karena jumlahnya berabrek-abrek. Jl Pecenongan di malam hari di ramaikan ratusan pedagang makanan dan minuman, yang sejak pukul lima sore mulai memasang tenda-tenda di tepi jalan. Hal yang sama juga kita dapati di sepanjang jalan Batutulis dan Hayam Wuruk. Demikian pula di Jl Krekot dekat Pasar Baru hingga Sawah Besar, dan di puluhan jalan lainnya di Ibukota, yang pada malam hari menjadi tempat jajan. Entah berapa puluh miliar uang beredar di tempat-tempat itu.

Saya yang ketika kecil tinggal di Gang Abu (kini Jl Batutulis X), sering bermain di Pecenongan. Berbelok ke kanan memasuki sebuah gang kecil dari Pecenongan, terdapat Gang Secha (kini Jl Pintu Air II). Mengabadikan nama putri tuan tanah Habib Abubakar Alatas, yang memiliki banyak rumah sewaan di jalan tersebut. Putrinya, yang dikabarkan berparas cantik, lengkapnya bernama Syarifah Secha. Saking cintanya, dia menamakan jalan tersebut dengan nama putrinya. Habib Abubakar yang dimakamkan di TPU Wakaf di Tanah Abang (sudah dibongkar pada masa gubernur Ali Sadikin), ketika berada di Hadramaut memiliki seorang putra Ir Haydar Alatas, yang kemudian menjadi Presiden Yaman Selatan. Setelah Yaman Selatan dan Yaman Utara bergabung, ia menjadi PM Yaman.

Karena berseteru dalam masalah politik, Haydar Alatas hengkang ke Amerika Serikat, dan kini berada di Jeddah, Arab Saudi. Ayahnya Abubakar Alatas meninggal dalam usia 80 tahun pada 1952. Sedangkan adiknya dari lain ibu Secha, yang namanya diabadikan untuk jalan meninggal saat belum bersuami. Masih bagian dari Pecenongan, dahulu terdapat Gang Belle dan Gang Kelekamp. Yang terakhir ini mungkin nama seorang tokoh Belanda yang pernah tinggal di sini. Karena di Ibukota, ketika masih bernama Batavia, banyak nama jalan dan gang tokoh masyarakat Belanda, di samping mengabadikan masyarakat setempat.

Seperti, Gang Anderson (Jl Kartini I, Pasar Baru), Gang Kow En Lie (Kartini II), Gang Chaulan (Jl Hasyim Ashari), Laan Holle (Jl Sabang), Gang Thomas (Tanah Abang V), Laan de Bruin Kops (Tanah Abang III), Laan Travelli (Tanah Abang IV), Gang Eduard (Jl Asem Reges II) dan masih ratusan nama jalan lagi yang mengabadikan tokoh masyarakat yang pernah tinggal di tempat tersebut. Masih di kawasan Pecenongan, terdapat Gang Ceylon, nama Srilangka ketika itu. Pada awal penjajahan Belanda, Ceylon merupakan salah satu jajahan negeri kincir angin. Banyak orang yang berasal dari Ceylon tinggal di Jakarta. Tapi yang jelas, di Jl Ceylon No 1 pernah tinggal almarhum MH Munawar, wartawan Harian Merdeka sejak koran yang dipimpin almarhum BM Diah ini terbit (Oktober 1945).

MH Munawar yang pernah bertugas meliput kegiatan kepresidenan di masa Bung Karno, pernah menjadi pengurus PWI Pusat. Pada tahun 1960-an dia diangkat menjadi atase pers di Malaysia. Pada 1962, saat terjadi konfrontasi RI-Malaysia, ia dipindahkan oleh Menlu Subandrio dengan jabatan yang sama di Italia. Orang Palembang ini menikah dengan Nawangsih, mojang Sunda yang berasal dari Sumedang. Istrinya ini berprofesi sebagai bidan, yang menangani kelahiran dari Pecenongan, Sawah Besar, hingga Jakarta Kota. Maklum, ketika itu rumah sakit bersalin masih jarang di Jakarta. Putranya, Kemal Munawar SH menjadi seksretaris presiden sejak masa pemerintahan Habibie.

Di Gang Ceylon terdapat markas BBSA (Bangka Biliton Sport Association), perkumpulan sepakbolabola divisi I Persija tahun 1950-an dan 60-an. Di ujung jalan Pecenongan menuju Asem Reges (kini Jl Taman Sari), terdapat Jl Krekot Raya (kini Jl Samanhudi).Di Krekot terdapat bioskop Cinema, dan pada 1960'an ketika nama-nama asing harus diganti, bioskop ini bernama Krekot. Sedangkan di ujung Gang Ceylon setelah melewati jalan kereta api, terletak Jl Pintu Air. Di sini terdapat bioskop Astoria, yang kemudian juga diganti jadi Satria. Di dekatnya terdapat bioskop Capitol, depan masjid Istiqlal. Pada masa Belanda, Jl Pintu Air bernama Sluisbrug.

(Oleh Alwi Shahab )

Segi Tiga Senen 1933

Pasar Senen salah satu pusat pertokoan dan perbelanjaan terbesar di Jakarta, pada 1933 atau 72 tahun lalu masih merupakan pertokoan sederhana dan sekaligus tempat tinggal (ruko). Muhammad Husni (63), pelukis kelahiran Betawi, kini tengah memamerkan sekitar 40'an lukisan di Hotel Santika, Jatipetamburan, Jakarta Barat dalam rangka HUT Jakarta ke-478. Pameran sampai 30 Juni 2005 mengisahkan suasana kota Betawi tempo doeloe, terutama di tahun 1930'an.

Tiga perempat abad lalu, seperti terlihat dalam gambar angkutan kota masih dimonopoli trem listrik yang menggelinding hampir ke segenap penjuru kota. Gerobak kuda kini sudah tidak terlihat lagi. Demikian pula delman yang kala itu banyak berseliweran di jalan raya, di samping sepeda. Sedangkan becak saat itu masih belum muncul. Terlihat sejumlah mobil dan oplet 1930'an buatan Eropa, melaju di jalan yang lengang.

Di belakang toko Avon (kini sudah tidak ada) pada 1950'an terdapat rumah makan Padang 'Merapi' tempat para seniman Senen berkumpul di malam hari hingga jelang subuh. Mereka mendiskusikan kehidupan teater dan film. Antaranya Soekarno M. Noer (ayah Rano Karno), sutradara Wiem Umboh, Syuman Jaya, Misbach Jusa Biran, dan Harmoko, mantan ketua MPR yang kala itu wartawan 'Merdeka'.

Di seberangnya kini Proyek Senen. Di depan proyek terdapat Atrium Senen. Atrium Senen sampai 1970'an merupakan rumah dan toko warga Tionghoa terlihat dari gentengnya yang runcing seperti di negeri leluhur mereka. Pada 1950'an toko terbesar di Pasar Senen: Toko 'Babah Gemuk', kini jadi Ramayana Departemen Store. Saat itu Pasar Senen dan pasar-pasar lainnya di Jakarta, keamanannya dikuasai Kolonel Sjafii, yang dikenal dengan sebutan Bang Pi'i.

Dia memimpin organisasi Cobra yang memiliki jaringan hampir di seluruh Ibu Kota. Kolonel Syafii pernah diperbantukan pada KSAD Jenderal Nasution. Karena sukses dalam ikut mengamankan Jakarta, Bung Karno di akhir jabatannya (1966) mengangkatnya sebagai Menteri Keamanan Jakarta dalam Kabinet 100 Menteri. Bang Pi'i pada masa revolusi fisik menggalang para pemuda Senen dan sekitarnya melawan NICA .

Masih di seberang Avon, pada 1950'an Tjio Wie Tay mendirikan toko buku 'Thay San Kongsi' yang kemudian jadi Gunung Agung. Ia berganti nama jadi Masagung. Toko buku 'Gunung Agung' pertama dibangun di Jl Kwitang, seberang Jl Senen Raya untuk kemudian dikota dan tempat lain. Setelah masuk Islam, ia mendirikan sebuah mushala dan pengajian di Kwitang, di samping membuka toko buku 'Walisongo' di jalan yang sama.

Muhammad Husni, lulusan Fakultas Hukum UI mulai aktif melukis secara full time sejak 2003, setelah pensiun dari PT Timah. Husni merupakan perupa otodidak yang belajar melukis hanya melalui literature dan pengamatan sehari-hari. Dia menjadwalkan akan melukis sekitar 200 obyek sejarah Betawi Tempo Doeloe. Untuk mengingatkan generasi muda bahwa Jakarta yang kini coreng-moreng ketika bernama Batavia sangat indah dan bersih.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Pasar Atom di Noordwijk

Orang Jakarta ternyata memiliki selera humor tinggi. Bahkan, bagi warga Betawi, humor seakan merupakan bagian dari hidup mereka. Mungkin karena kehidupan yang sulit, mereka mengalihkan kepedihan hidup itu melalui humor.

Kualitas humor orang Betawi bisa dibilang cukup berbobot. Seperti ketika Amerika Serikat (Presiden Kennedy) dan Uni Soviet (PM Kruschev) tengah bersaing untuk saling mendahului mengirimkan manusia ke ruang angkasa, maka muncullah nama planet untuk tempat pelacuran di Senen, Jakarta Pusat, yakni Planet Sene.

Sekalipun Planet Senen sudah dibongkar sejak masa Ali Sadikin menjadi gubernur DKI Jakarta, tapi tempat yang terletak di sepanjang stasion Senen itu tetap dikenal hingga saat ini. Pada akhir 1980-an, ketika terjadi perang antara Inggris dan Argentina memperebutkan pulau Malvinas, tempat pelacuran di Bekasi dinamakan Malvinas.

Ketika pada 15 Agustus 1945 Jepang takluk pada sekutu setelah negerinya di bom atom, maka di Jakarta pun ada Pasar Atom. Letaknya di Nordwijk, yang kini menjadi Jl Juanda, Jakarta Pusat. Keberadaan Pasar Atom hanya sekitar dua tahun. Saat itu di pinggir kali Ciliwung, ratusan pedagang menggelar dagangan mereka dari Hamoni sampai ke Pintu Air, Pasar Baru.

Para pembeli di Pasar Atom sebagian besar anggota NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yang datang sejak akhir September 1945, setelah proklamasi kemerdekaan, membonceng tentara sekutu. Di antara tentara sekutu terdapat tentara Inggris dari kesatuan Baret Merah, yang terkenal kelihaiannya dalam bertempur.

Di dalam tentara sekutu juga terdapat pasukan India yang kala itu masih bersatu dengan Pakistan dan Bangladesh. Di antara tentara India ini terdapat 'muslimin' sebutan rakyat untuk tentara yang beragama Islam. Mereka sangat akrab dengan penduduk, seringkali mendatangi kampung, dan shalat berjamaah. Bahkan pasukan sekutu dari India yang beragama Islam itu sering memberikan makanan dan barang kepada penduduk. Ada di antara mereka yang kawin dengan penduduk setempat, dan kemudian masuk TNI.

Pasar Atom, yang mirip dengan komplek pedagang kaki lima, pembelinya juga kelompok-kelompok yang punya hubungan dekat dengan NICA. Mereka tidak berani membeli barang di pasar-pasar yang berada di kampung-kampung. Maklum waktu itu, kalau ada tentara NICA atau mereka yang bersimpati masuk kampung, pulang bisa 'tinggal nama'.

Tentara NICA sendiri kala itu sering menembak mati penduduk yang dicurigai, seperti layaknya pasukan AS dan sekutu di Irak. Seperti diceritakan Ali Shatri (86 tahun), saat berdagang di Pasar Atom ia membeli barang loakan dari Pasar Asem Reges (Sawah Besar), Jakarta Barat. Umumnya merupakan barang 'gedoran'. Setelah proklamasi kemerdekaan banyak warga Belanda yang kediamannya digedor penduduk, hingga dinamakan pula 'zaman gedor-gedoran'.

Tapi, pada tahun 1947, ketika NICA sudah berkuasa di Jakarta, termasuk menangkap walikota Soewiryo, Pasar Atom pun digusur. Para pedagang tidak boleh lagi berjualan dan tenda-tenda dagangannya dibongkar. Beberapa di antaranya ditampung di bagian belakang Pasar Baru.

Sejumlah pedagang menceritakan, kala itu dia menjual rokok buatan Inggris yang banyak didapat dari pasukan Inggris, seperti Player, Capstan, dan Lion. Rokok-rokok buatan Inggris itu dikemas dalam kaleng berisi 50 batang, dan 10 batang yang terbungkus dalam semacam kardus.

Pada masa NICA, untuk menarik hati penduduk, mereka secara rutin memberikan sembako kepada rakyat. Kepada warga yang berpenghasilan tinggi (berdasarkan pembayaran pajak), mereka mendapatkan jatah roti tiga hari sekali secara gratis termasuk keju dan mentega. Sedangkan mereka yang berpenghasilan rendah, mendapatkan jatah beras disamping sardencis dan minyak. Untuk mengambil jatah tersebut diberikan kupon. Karena warnanya kuning, orang menyebutnya 'kartu kuning'.

Rupanya NICA yakin ia akan terus dapat menjajah bumi Nusantara. Buktinya, pada 30 Agustus 1948 Belanda membangun Kebayoran Baru. Untuk membangun kota satelit ini, Belanda menggusur ribuan kediaman warga Betawi seluas 730 hektar. Kampung Betawi yang banyak menghasilkan buah-buahan, persawahan, kala itu terdiri dari kampung-kampung Grogol Udik, Pela Petogogan, Gandaria Noord (Utara) dan Senayan. Sebelum membangun Kebayoran Baru, rencananya ditempat itu Belanda akan membangun bandar udara.

Ketika digusur bukan saja rumah dan bangunan yang dapat ganti rugi. Tapi juga buah-buahan. Dikabarkan lebih dari 700 ribu pohon ditebang dan 26 macam buah-buahan. Sekitar 2000 rumah, bangunan, kios dan kandang ternak (penduduk banyak beternak sapi disamping petani buah-buahan) digusur. Daerah yang tergusur kala itu penduduknya banyak penjual ketupat sayur yang berdagang keliling di berbagai tempat di Jakarta.

Di Kebayoran Baru didirikan sebuah yayasan yang bernama Centrale Stichting Wederopbours (CSW). Kalau kita ke Kebayoran, kondektur bus akan mengerti bila kita menyebut CSW. Tempat itu kini bernama Jalan Sisimangaraja (Kejaksaan Agung) -- tempat yang kini menjadi sangat 'angker' bagi koruptor yang menjadi pencoleng uang negara. Semoga saja para petugas di Kejaksaan Agung semakin berani dalam menindak mereka, sesuai dengan harapan rakyat.

(Alwi Shahab )

Boplo Cikal Bakal Menteng

Gedung yang hingga kini masih berdiri dengan megah, dan menjadi Masjid Cut Mutiah terletak di Jl Gondangdia (kini Jl RP Suroso), Menteng, Jakarta Pusat. Dari gedung inilah dilakukan pembangunan Nieuw Gondangdia (Gondangdia Baru) oleh NV De Bouwploeg untuk kemudian berkembang ke kawasan Menteng. Nama perusahaan real estate pertama ini, kemudian menjadi nama Kampung Boplo. Sampai sekarang dibelakang stasion kereta api Gondangdia, terlletak Pasar Boplo. Sekalipun sudah belasan tahun nama Jl Gondangdia diganti Jl RP Suroso, tapi warga masih menyebut dan mengenal nama sebelumnya. Banyak pihak yang menyesalkan kenapa nama tempat bersejarah ini diganti begitu saja.

Dari gedung NV De Bouploeg ini pula dilakukan pembangunan kawasan Menteng, kota taman pertama di Indonesia pada 1920-an. Ketika Menteng dibangun warga Betawi dipindahkan ke Karet, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Mereka yang tergusur telah meninggikan ganti rugi dari lima sen jadi lima perak (gulden). Sarikat Islam (SI), yang dipimpin HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim dengan gigih berjuang hingga penduduk dapat ganti rugi yang layak saat penggusuran.

Ir Barlage, tokoh arsitek Belanda ketika berkunjung ke Batavia (1920-an), menyebut Menteng sebagai Europese Buurt (lingkungan Eropa). Karena mirip dengan Minervalaan, kawasan elit di Amsterdam. Kalau kawasan di Amsterdam itu luasnya hanya 30 hektar, Menteng 20 kali lebih besar (600 hektare).

Di sebelah kanan De Bouploeg (tidak terlihat), terdapat gedung Kunstkring tempat para arsitek awal abad ke-20 sering berkumpul dan berdiskusi. Gedung yang terletak di ujung Van Heutz Boulevard (kini Jl Teuku Umar), sebagai awal dari arsitektur modern di Indonesia. Karena setelah kiemerdekaan pernah digunakan sebagai tempat Direktorat Jenderal Imigrasi, ia lebih dikenal sebagai gedung Imigrasi.

Pada 1998, ketika Pak Harto lengser, gedung ini dijarah. Semua daun jendela dan pintunya dicuri. Karena beredar berita-berita bahwa gedung ini akan dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto.

Sedangkan gedung NV De Bouploeg, yang kini menjadi Masjid Cut Mutiah, pernah menjadi kantor pos pembantu, dan pada perang dunia kedua (1942-1945) digunakan Angkatan Laut Jepang. Sesudahnya dimanfaatkan oleh Staatssporweg (Jawatan Kereta Api), kemudian oleh Dinas Perumahan (1957-1964). Pada 1964-1970 menjadi Kantor Urusan Agama, sekaligus untuk kegiatan peribadatan. Karena letaknya berdekatan dengan kediaman pejabat tinggi, mesjid ini sering dapat kunjungan pejabat penting. Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto beserta keluarga, usai berhaji (1991), sujud syukurnya di masjid ini.

Dahulu, dihadapan gedung De Bouploeg dibangun monumen untuk apa yang disebut 'mengenang' keberhasilan Jenderal van Heutz 'menaklukkan' Aceh, yang berarti dapat mempersatukan nusantara. Di monumen yang memanjang hingga ke dekat Jl Menteng Raya dan Cikini Raya, di atasnya diberi penumpu tempat berdirinya patung Van Heutz yang tak henti-hentinya memandang dengan wajah yang memancarkan kebajikan. Akan tetapi, kaum nasionalis menilai patung ini sebagai penghinaan terhadap kehormatan rakyat dan membuat hati mereka berontak. Setelah Indonesia merdeka, tanpa mengenal ampun patung ini dihancurkan sama rata dengan tanah.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Boplo Cikal Bakal Menteng

Gedung yang hingga kini masih berdiri dengan megah, dan menjadi Masjid Cut Mutiah terletak di Jl Gondangdia (kini Jl RP Suroso), Menteng, Jakarta Pusat. Dari gedung inilah dilakukan pembangunan Nieuw Gondangdia (Gondangdia Baru) oleh NV De Bouwploeg untuk kemudian berkembang ke kawasan Menteng. Nama perusahaan real estate pertama ini, kemudian menjadi nama Kampung Boplo. Sampai sekarang dibelakang stasion kereta api Gondangdia, terlletak Pasar Boplo. Sekalipun sudah belasan tahun nama Jl Gondangdia diganti Jl RP Suroso, tapi warga masih menyebut dan mengenal nama sebelumnya. Banyak pihak yang menyesalkan kenapa nama tempat bersejarah ini diganti begitu saja.

Dari gedung NV De Bouploeg ini pula dilakukan pembangunan kawasan Menteng, kota taman pertama di Indonesia pada 1920-an. Ketika Menteng dibangun warga Betawi dipindahkan ke Karet, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Mereka yang tergusur telah meninggikan ganti rugi dari lima sen jadi lima perak (gulden). Sarikat Islam (SI), yang dipimpin HOS Tjokroaminoto dan H Agus Salim dengan gigih berjuang hingga penduduk dapat ganti rugi yang layak saat penggusuran.

Ir Barlage, tokoh arsitek Belanda ketika berkunjung ke Batavia (1920-an), menyebut Menteng sebagai Europese Buurt (lingkungan Eropa). Karena mirip dengan Minervalaan, kawasan elit di Amsterdam. Kalau kawasan di Amsterdam itu luasnya hanya 30 hektar, Menteng 20 kali lebih besar (600 hektare).

Di sebelah kanan De Bouploeg (tidak terlihat), terdapat gedung Kunstkring tempat para arsitek awal abad ke-20 sering berkumpul dan berdiskusi. Gedung yang terletak di ujung Van Heutz Boulevard (kini Jl Teuku Umar), sebagai awal dari arsitektur modern di Indonesia. Karena setelah kiemerdekaan pernah digunakan sebagai tempat Direktorat Jenderal Imigrasi, ia lebih dikenal sebagai gedung Imigrasi.

Pada 1998, ketika Pak Harto lengser, gedung ini dijarah. Semua daun jendela dan pintunya dicuri. Karena beredar berita-berita bahwa gedung ini akan dijadikan Museum Ibu Tien Soeharto.

Sedangkan gedung NV De Bouploeg, yang kini menjadi Masjid Cut Mutiah, pernah menjadi kantor pos pembantu, dan pada perang dunia kedua (1942-1945) digunakan Angkatan Laut Jepang. Sesudahnya dimanfaatkan oleh Staatssporweg (Jawatan Kereta Api), kemudian oleh Dinas Perumahan (1957-1964). Pada 1964-1970 menjadi Kantor Urusan Agama, sekaligus untuk kegiatan peribadatan. Karena letaknya berdekatan dengan kediaman pejabat tinggi, mesjid ini sering dapat kunjungan pejabat penting. Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto beserta keluarga, usai berhaji (1991), sujud syukurnya di masjid ini.

Dahulu, dihadapan gedung De Bouploeg dibangun monumen untuk apa yang disebut 'mengenang' keberhasilan Jenderal van Heutz 'menaklukkan' Aceh, yang berarti dapat mempersatukan nusantara. Di monumen yang memanjang hingga ke dekat Jl Menteng Raya dan Cikini Raya, di atasnya diberi penumpu tempat berdirinya patung Van Heutz yang tak henti-hentinya memandang dengan wajah yang memancarkan kebajikan. Akan tetapi, kaum nasionalis menilai patung ini sebagai penghinaan terhadap kehormatan rakyat dan membuat hati mereka berontak. Setelah Indonesia merdeka, tanpa mengenal ampun patung ini dihancurkan sama rata dengan tanah.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Dari Dekrit Sampai PP

Sampaikan kepada rekan Cetak berita ini

Minggu, 03 Juli 2005

Dari Dekrit Sampai PP



Ada dua peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1959 dalam sejarah Indonesia. Pertama, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli untuk kembali ke UUD 1945. Sekaligus membentuk MPRS setelah Konstituante hasil Pemilu pertama tidak berhasil menetapkan Haluan Negara.

Bung Karno, sampai akhir hayatnya berpendapat bahwa demokrasi liberal tidak cocok bagi Indonesia. Dengan bangga ia menyatakan Demokrasi Terpimpinlah yang pantas bagi Indonesia, bukan demokrasi ala Barat. Peristiwa penting lainnya adalah diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 1959, yang memindahkan warga Tionghoa dari pedesaan. Dengan PP itu, semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di pedalaman. Tepatnya di tingkat kecamatan ke bawah. Jadi para pedagang Cina yang banyak membuka usahanya sampai kepelosok-pelosok desa diharuskan hengkang.

Sementara, di Jawa Barat, Panglima Siliwangi Kolonel Kosasih memaksa mereka pindah. Lebih dari 100 ribu orang Cina meninggalkan Indonesia menuju daratan Cina. Diantara mereka terdapat sejumlah pemain bulutangkis. Dan, berkat didikan mereka, RR Cina kemudian menghasilkan pemain-pemain bulutangkis yang handal. Bahkan, ketika Rudy Hartono jadi juara tujuh kali All England, pemain dari RRC tidak diperkenankan bertanding. Di PBB, RRC saat itu dikucilkan. Di organisasi dunia ini Cina hanya diwakili Taiwan, yang punya hak veto.

Tentu saja PP 10/1959 tidak berlaku di Jakarta dan kota-kota besar. Kala itu, di Jakarta dipenuhi warung Cina. Belum banyak muncul warung pribumi. Sebagai contoh di di Jl Kramat II, Kwitang, Jakarta Pusat. Di jalan yang panjangnya kira-kira 500 meter terdapat tidak kurang enam warung Cina. Para pedagang ini umumnya Cina singkeh (totok) yang bahasa Indonesianya masih berantakan. Meskipun begitu, setidaknya mereka terlibat dalam persoalan politik yang menyagkut situasi di daratan Cina.

Kala itu (sejak Mao Ze Dong melakukan pemberontakan di daratan Cina), di Nusantara, warga Cina terpisah jadi dua kelompok. Ada yang pro Mao dan ada yang pro Chiang Kai Sek (yang kemudian terusir dari daratan Cina ke Taiwan). Seperti saat acara penting di negeri leluhur. Ada yang memasang bendera Kunchantang (RRC) dan sebagian bendera Koumintang (Chiang Kai Sek). Sekalipun terjadi perbedaan ideologi tapi dalam ihwal berdagang mereka boleh dipuji kekompakannya. Sebagai alat penghitung mereka gunakan sempoa, yang kini mulai diminati lagi.

Lalu apa yang diperdagangkan di warung-warung itu? Hampir semua kebutuhan rakyat tersedia. Mulai dari beras, gula dan minyak, sampai arang dan kayu bakar. Maklum di rumah-rumah orang memasak menggunakan kayu bakar. Di tiap rumah terdapat semprong dari bambu yang ditiup ke arah kayu bakar untuk menjaga agar api terus menyala. Baru pada akhir 1960-an, kayu bakar digantikan minyak tanah. Tapi nyatanya, sekalipun kayu bakar tidak digunakan lagi, justru keadaannya lebih parah dari tempo doeloe. Pembabatan hutan makin tidak terkendalikan, berkat kerjasama antara cukong, oknum TNI, kepolisian, Pemda, aparat kehutanan dan rakyat.

Hubungan jual beli antara pedagang Cina dan pribumi baik sekali. Di warung-warung itu kita bisa berhutang. Hingga tidak heran banyak pribumi yang menguasai bahasa Cina. Seperti kamsia (terima kasih), seceng (seribu), cepe (seratus), cetah (setalen), ceban (sepuluh ribu), dan masih banyak lagi. Bahkan banyak di antara mereka yang belajar silat gaya Cina, yang disebut kungfu.

Sementara, kawasan China Town, Glodok menjadi pusat perdagangan yang dikuasai etnis Cina. Konon, uang yang beredar di pusat perdagangan Glodok saat itu lebih 60 persen dari jumlah uang yang beredar di Indonesia. Waktu itu, mereka juga menguasai industri batik. Di Jakarta sampai 1960-an banyak terdapat industri batik dengan ribuan pekerja. Seperti di Palmerah, Setiabudi, Senayan, dan Karet Kuningan.

Sementara, orang-orang Arab lebih banyak bergerak dalam jual beli bahan bangunan. Mereka membuka toko-toko di kampung-kampung, menjual cat, kapur, genteng, semen, dan besi beton. Di samping itu, banyak juga yang menjual perabot rumah tangga. Boleh dibilang, merekalah yang memelopori perusahaan properti di Jakarta. Tahun 1950-an baru kecil-kecil. Mereka membeli satu dua rumah tua, untuk kemudian dihancurkan dan dibangun baru. Harga rumah baru dengan tiga kamar, yang sekarang ratusan juta rupiah, kala itu tidak lebih dari satu juta rupiah. Kemudian usaha mereka berkembang. Kini, banyak etnis Arab yang jadi pengusaha real estate.

Sedangkan sejumlah pengusaha pribumi membuka usaha percetakan. Seperti Percetakan Siliwangi di Jl Batuceper milik Ili Sasmita, Penca di Jl Paseban milik H Abdullah, percetakan Pemandangan milik H Tabrani, yang sekaligus menjadi pemimpin redaksi Harian Pemandangan. Dia juga yang sejak 1950-an memiliki Hotel Cipayung, di Cipayung, Bogor, hingga kini. Juga Percetakan Jakarta Pers yang mencetak Harian Pedoman yang dipimpin H Rosihan Anwar.

Kala itu, liburan yang paling digemari adalah nonton film. Saat televisi belum muncul, penonton mau bersusah payah untuk ngantri di loket-loket bioskop. Sebagai warisan Belanda, bioskop dibagi dalam kelas-kelas. Balcon, Lodge, Stalles, dan kelas kambing, di bangku bagian paling depan. Yang paling mengesankan waktu itu adalah keamanan kota Jakarta. Copet hanya ada di trem dan kereta api. Perampokan yang kini merebak boleh dikata jarang terjadi. Motor yang jumlahnya tidak banyak tidak pernah hilang saat diparkir. Pencuri belum secanggih sekarang. Belum terpikir untuk membuat kunci 'Letter T'. Sepeda juga aman. Karena dikunci. Dan yang banyak pencurian 'berco' yang menempel di ban, yang digunakan pada malam hari untuk menyalakan lampu sepeda.

(Alwi Shahab )

Gedung KPM dan Kisah Nyai Dasima

Inilah kantor pusat KPM (Koninkluke Paketvaart Maatchappij), perusahaan pelayaran terbesar di Hindia Belanda, yang setelah diambil alih pemerintah menjadi Pelni (1957). Gedung berlantai tiga kini menjadi kantor Ditjen Perla (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut). Gedung KPM ini diabadikan tahun 1930-an. Terlihat dari puluhan mobil parkir di depan gedung di Koningsplein-Oost No 5 (kini Medan Merdeka Timur), Jakarta Pusat. Seperti merek Austin, Morris, dan Fiat, yang seluruhnya mobil buatan Eropa.

KPM pada 1927 telah memiliki 136 kapal laut, dengan lancar mengarungi seluruh kepulauan di Nusantara dan mancanegara. Di samping mengangkut penumpang, KPM secara tetap mendistribusikan berbagai kebutuhan pokok ke daerah-daerah terpencil. Di samping mengangkut berbagai komoditas ekspor dan imppor. Gedung ini didesain Ir FJL Ghijsells, arsitek Belanda kelahiran Tulungagung, Jawa Timur pada 1916 dan dibangun 1917-1918.

Pada 1957 seluruh perusahaan Belanda di Indonesia diambil alih. Di samping KPM, juga BVM (Batavia Verkeer Maatchappij), yang bergerak dibidang angkutan trem dan bus. Sejak itu lahirlah PPD (Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta), yang pada awal pekan lalu para awaknya melakukan mogok kerja, menuntut pembayaran gaji dan masa depan yang lebih baik. PPD sejak mengambil alih BVM terus menerus merugi. Salah satu sebab kehancuran PPD adalah korupsi, termasuk penyalahgunaan dalam pembelian dan penggunaan suku cacang untuk keperluan armada angkutannya.

Yang tidak pernah terjadi di masa kolonial. Kurang lebih di tempat gedung Ditjen Perla inilah, latar belakang novel historis terkenal Nyai Dasima karya G Francis. Kisah seorang nyai (wanita yang dijadikan gundik dan tanpa dinikah) dari desa Kuripan. Yang letaknya di sebelah kanan dari Ciseeng, setelah menempuh perjalanan dari Parung sejauh 10 km.Kisah Nyai Dasima terjadi di masa pemerintahan Inggris (1811-1816). Dasima gadis cantik dan bahenol menjadi istri simpanan tuan Edward William, salah seorang kepercayaan Letnan Gubernur Sir Thomas Raffles. Walaupun Dasima diperlakukan dengan baik oleh tuannya, tapi ia akhirnya rela dijadikan sebagai istri kedua Samiun, tukang sado dari Kwitang.

Dalam versi G Francis, Nyai Dasima meninggalkan tuan dan putrinya karena diguna-guna Samiun, melalui Mak Buyung. Kemudian diluruskan budayawan Betawi SM Ardan. Dasima memilih Samiun dan meninggalkan tuannya setelah diinsafkan bahwa kawin tanpa nikah (kumpul kebo) suatu perbuatan yang sangat terlarang dalam Islam. Tragisnya, nyai dari Kuripan ini akhirnya dibunuh Bang Puase, jagoan dari Kampung Kwitang, ketika ia dan suaminya hendak nonton tukang cerite di Gang Ketapang (depan Sawah Besar sekitar Jl Gajah Mada). Ia dibunuh atas suruhan Hayati, istri pertama Samiun yang tengah dibakar cemburu. Peristiwa ini terjadi kira-kira di depan Markas Marinir di Kwitang, sebelah toko buku Gunung Agung.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

Bisnis Susu di Segitiga Emas

Lalu lintas di Tanah Abang -- yang tengah berambisi menjadi sentra bisnis terbesar di Jakarta -- makin hidup sejak beroperasi Kereta Rel Listrik (KRL). Tiap hari, sejak subuh hingga malam, ribuan penumpang dari Bogor, Bojonggede, Citayam, Depok, dan sekitarnya, yang bekerja di Jakarta memanfaatkan KRL. Baik saat pergi maupun pulang kantor.

Untuk menunjang sentra industri yang kini tengah dibangun di beberapa lokasi di sekitar Jakarta, Tanah Abang disiapkan akan menjadi salah satu pemusatan monoreal. Bagi mereka yang tinggal di Bogor dan Depok kini lebih senang naik kereta api katimbang mobil pribadi. Apalagi sekarang ini membeli premium harus ngantri, belum lagi kena macet yang sudah makin kagak ketolongan di Ibukota. Naik kereta api bisa menghemat BBM, seperti dianjurkan pemerintah.

Tidak heran kalau penumpang KRL Bogor-Tanah Abang berjubelan. Di antara stasion KA yang dipadati penumpang adalah Stasion Sudirman. Nama baru untuk Stasion Dukuh Atas, salah satu kampung tua di kelurahan Setiabudi. Letaknya diujung Jl Blora dan Jl Kendal. Jl Blora, Jakarta Pusat, sampai 1970-an terkenal dengan Sate Bloranya.

Pada masa gubernur Ali Sadikin, ketika steambath (panti pijat) dan klub malam banyak berdiri di Jl Blora, tukang sate dipindahkan ke Jl Kendal, bersebelahan dengan Blora. Para tukang sate, sop dan gorengan itu awalnya berdagang di pasar Tanah Abang. Di antara pedagang sate terkenal adalah Mat (Muhammad) Kumis. Kini, banyak pedagang sate, sop kaki, dan soto yang menambahkan nama Kumis di belakang namanya. Yang pasti, tidak semua pedagang sate berkumis.

Banyaknya penumpang yang turun dan naik di Stasion Sudirman karena dari sini mereka dengan mudah mendatangi tempat kerjanya di sekitar Jl Jenderal Sudirman, Jl Thamrin, dan Setiabudi. Tapi, ada yang mempertanyakan, kenapa nama Stasion Dukuh Atas kini jadi Stasion Sudirman. Padahal jalan Sudirman baru ada setelah Bung Karno membangunnya awal 1960-an, saat menghadapi Asian Games 1963.

Sedangkan Dukuh Atas sudah berusia ratusan tahun. Berawal dari Kampung Dukuh. Karena letaknya di bagian atas dinamakan Dukuh Atas. Di dekatnya terdapat Kampung Dukuh Bawah, di sebelah timur SMU 3 Setiabudi. Karena terletak di bagian bawah, kampung yang berbatasan dengan Jl Halimau dan Jl Kawin itu dinamakan Dukuh Bawah.

Nama Setiabudi, seperti dituturkan H Irwan Syafe'i (75 tahun), punya arti tersendiri. Ketika hendak dibangun SMA 3 dan kavling-kavling (perumahan) awal tahunm 1950-an, masyarakat Betawi mengikhlaskan rumahnya digusur. Mereka, oleh seorang pimpinan DKI (masih DCI) Jakarta, lantas dijuluki sebagai rakyat yang setia dan berbudi (setiabudi).

Jl Halimun dan Jl Kawi di Kelurahan Guntur, seperti juga daerah Kuningan lainnya, kini telah disulap menjadi hutan beton. Jalan Halimun, pada 1950-1960-an merupakan kawasan pelacuran kelas bawah di Jakarta. Sekarang ini banyak yang mangkal di sekitar Jl Sultan Agung, di pinggir jalan kereta api Jl Latuharhari, bersama para waria yang mangkal hingga subuh.

Di selatan Setiabudi terdapat kampung Karet Belakang, yang oleh warga setempat disingkat Karbela, seperti Bendungan Hilir jadi Benhil, dan Jl Otto Iskandaridinata jadi Otista. Sedangkan Menara Imperium Kuningan yang megah dulu letaknya di Kawi Sawah, karena memang daerah persawahan. Sedangkan Pasar Festival dan Stadion Kuningan sebelum 1970-an merupakan kuburan. Demikian pula sejumlah kantor dan perhotelan yang terletak di dekatnya, termasuk RS MMC. Pekuburan yang luasnya berhektar-hektar itu merupakan wakaf seorang Betawi yang dermawan, dan tergusur ketika dibangun Kuningan.

Seperti dituturkan H Irwan Sjafi'ie, Kali Krukut dekat Pasar Benhil dan RSAL Mintaharjo, dulu banyak buayanya. ''Ketika saya sekolah rakyat, pulangnya saya suka nimpukan buaya yang naik ke darat,'' ujarnya.

Buaya-buaya itu akhirnya menyingkir akibat terpolusi oleh bahan-bahan kimia dari industri batik. Puluhan industri batik sampai 1960-an banyak terdapat di Karet Pasar Baru, Karet Tengsin, Setiabudi, bahkan hingga ke Senayan. Sebagian besar para pengusahanya warga Tionghoa, sedangkan para perajinnya ibu-ibu Betawi, yang membatik di kediaman masing-masing.

Lokasi Gedung Wanita, Departemen Kehakiman, dan puluhan gedung serta kantor pencakar langit, dulu Kampung Karet Pedurenan, yang berbatasan dengan kali dan taman pemakaman umum (TPU) Menteng Pulo, yang hingga kini masih berfungsi. Dulu di belakang RS Mata Aini (Karbela) ada mata air bening yang tidak pernah kering. Mata air tersebut berada di tengah-tengah empang berukuran sekitar 15 X 10 meter.

Masyarakat setempat menggunakan empang tersebut untuk mencuci, mandi dan masak. Di dekatnya terdapat pohon bambu dan beringin hingga oleh penduduk dianggap angker. Kalau sudah magrib, hampir tak ada orang yang berani lewat. ''Banyak hantu dan kuntilanaknya,'' kata H Irwan.

Penduduk di sekitar segitiga emas -- Kuningan, Sudirman dan Gatat Subroto -- disamping sebagian menjadi perajin batik, banyak pula yang berprofesi sebagai tukang sepatu dan konveksi. Sepatu Kampung Pedurenan cukup terkenal, dan menjadi langganan beberapa toko sepatu di Pasar Baru, termasuk toko Sien Lie Seng. Yang terbanyak adalah para pengusaha sapi, yang rata-rata memiliki 4-5 ekor.

Setiap pagi dan sore, ratusan warga Karet Kuningan, Kuningan Timur, Karet Pedurenan, dan Setiabudi (Kampung Duku) dengan mengendari sepeda, membawa susu yang dikemas dalam botol kepada pelanggan di berbagai tempat di Jakarta, serta dijualbelikan.

Industri tahu juga berkembang di tempat-tempat tersebut. Banyak pula yang jadi anemer (pemborong rumah). Kini rumah-rumah mereka sudah hampir tidak tersisa. Digantikan hotel berbintang, mal, apartemen, rumah sakit, wisma dan imperium.

(Alwi Shahab )

Hotel Des Indes Jelang Digusur

Inilah Hotel des Indes saat dikosongkan menjelang digusur pada 1971. Kemudian di lokasi hotel termegah di Jakarta sebelum dibangun Hotel Indonesia dalam rangka menyambut Asian Games 1963, didirikan pertokoan Duta Merlin. Yang berarti Kota Jakarta kehilangan satu gedung beriwayat yang telah menyaksikan perkembangan kota ini dari akhir abad ke-18 sampai 1970-an. Tidak heran, kalau banyak pemerhati sejarah dan tata kota menyesalkan penggusuran ini. Apalagi Duta Merlin yang menggantikan keberadaannya, kini dikalahkan puluhan mal dan pertokoan yang jauh lebih modern. Penggusuran Hotel des Indes membuktikan bahwa kepentingan sejarah bisa dikalahkan oleh kepentingan ekonomi dan bisnis. Sementara Singapura tetap melestarikan Raffles Hotel yang usianya hampir bersamaan.

Sejarah hotel ini dimulai tahun 1828, ketika dua kontraktor Prancis membeli persil tanah Moenswijk yang kala itu merupakan salah satu rumah peristirahatan 'jauh' di luar kota. Moenswijk berasal dari nama pemilik pertamanya, Adriaan Moens, seorang direktur jenderal VOC kaya raya. Dua pengusaha Prancis itu bernama Surleon Antoine Chaulan dan JJ Didero. Nama Chaulan kemudian diabadikan untuk nama Jl Kemakmuran yang berdekatan dengan hotel tersebut. Dan kini menjadi Jl Hasyim Ashari, itu pendiri NU kakeknya Gus Dur.

Hotel des Indes, mula-mula dikenal dengan Hotel Chaulan, kemudian Hotel de Provence (1835) untuk menghormati daerah pemiliknya. Kemudian Rotterdamsch Hotel (1854). Nama Hotel des Indes yang membawanya ke puncak ketenaran diresmikan 1 Mei 1856. Menurut Dr de Haan, penulis buku Oud Batavia nama baru itu merupakan kasak kusuk penulis Multatuli dengan pemilik hotel.

Pada abad ke-18 dan 19 banyak orang kaya terutama para pejabat Kompeni yang membangun rumah-rumah peristirahatan (landhuis) disepanjang Molenvliet. Termasuk rumah peristirahatan Reinier de Klerek (sekarang Gedung Arsip Nasional) yang letaknya tidak lebih tiga kilometer dari Glodok. Kala itu, untuk menempuh jarak tersebut dari pusat kota (Pasar Ikan) ditempuh selama tiga jam dengan kereta kuda.

Ketika penyerahan kedaulatan, Bung Karno mengganti nama Hotel des Indes jadi Hotel Duta Indonesian (HDI). Hotel ini pada masa akhir pendudukan Jepang, pernah menjadi tempat menginap para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang dalam sidangnya pada 18 Agustus 1945 di Pejambon, menetapkan UUD 1945, memilih Bung Karno dan Bung Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

Di samping terkenal dengan makanannya terutama rijstafel dan berbagai masakan Eropa lainnya, hotel setiap malam menampilkan artis tahun 1950-an dan 60-an dalam berbagai acara hiburan. Pada tahun tersebut, beberapa diplomat asing yang menghadapi kesulitan perumahan di Jakarta, tinggal dan berkantor di Hotel des Indes.

Hotel ini letaknya berdekatan dengan gedung BTN dan Jl Jaga Monyet (kini Jl Suryopranoto). Dulu di sini terdapat benteng penjagaan. Konon, karena lebih sering menjaga monyet-monyet yang berkeliaran katimbang musuh, dinamakan Jaga Monyet. Maklum pada abad ke-18 daerah ini masih hutan belukar. Banyak yang menyayangkan kenapa nama Jaga Monyet diganti. Sampai kini mereka yang berusia lanjut lebih masih mengenal Jaga Monyet katimbang Jl Suryopranoto.

(Alwi Shahab, wartawan Republika)

Jenderal Coen Digusur Jepang

Untuk mengenang Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, pemerintah kolonial Belanda telah mendirikan sebuah monumen dan patung pendiri Kota Batavia itu. Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629) ini, dibuat patungnya pada 1869, bertepatan dengan 250 tahun usia kota Batavia oleh gubernur jenderal Pieter Mijer (1866-1872). Patung Coen yang berdiri dengan angkuh sambil menunjuk jari telunjuknya dengan mottonya yang terkenal: Despereet Niet (jangan putus asa).

Setelah berdiri selama 74 tahun di depan White House (Gedung Putih) yang kini jadi Departemen Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, patung dari tembaga ini pun digusur dan dihancurkan pada 7 Maret 1943 selama pendudukan Jepang. Dimasa kolonial, ulang tahun Jakarta selalu diperingati pada 30 Mei, ketika di tanggal tersebut tahun 1619, Coen menghancurkan Jayakarta. Kemudian di atas puing dan reruntuhan kota yang diberi nama oleh pejuang Islam, Falatehan, ia membangun Batavia.

Coen yang meninggal 20 September 1629, hanya tiga hari setelah balatentara Islam Mataram untuk kedua kalinya menyerbu Batavia. Menurut pihak Belanda, Coden meninggal karena kolera yang kini lebih dikenal dengan muntaber (muntah berak). Dia kemudian dimakamkan di Balai Kota (kini Museum Sejarah Jakarta), kemudian setelah balaikota diperbarui jenazahnya dipindahkan di de Oude Hollandsch Kedrk (Gereja Tua Belanda) yang kini menjadi Museum Wayang, Jl Pintu Besar Utara, Jakarta Barat. Di sini dapat ditemui prasastinya, bersama sejumlah gubernur jenderal lainnya, yang meninggal di Batavia.

Sejarawan Sugiman, meyakini bahwa kematian Coen akibat serangan balatentara Mataram. Menurut dia, yang ditunjuk sebagai makam Coen sebenarnya bukan tempat jenazahnya dikebumikan, tapi jenazah orang lain. Sedangkan menurut Chandrian Attahiyat, dari Dinas Kebudayaan dan Permusiuman DKI Jakarta, pada 1939 telah dilakukan penggalian di makam Coen, untuk mencari jenazahnya. Tapi tidak diketemukan apa-apa. Meskipun pakar arkeologi itu lebih mempercayai versi Babat Jawa, ia berpendapat untuk mencari kebenaran perlu dilakukan penggalian jenazah Coen berupa kepalanya di Imogiri (pemakaman raja-raja Jawa). Konon, kepala Coen diletakkan ditangga paling bawah Imogiri, sehingga mereka yang hendak ke tempat pemakaman ini terlebih dulu menginjak kepalanya, sebagai penghinaan.

''Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkeologi kebenaran 'Babad Jawa' tentang pembunuhan Coen,'' ujar Chandrian. Seorang petugas di Museum Wayang, tempat prasasti Coen berada, membenarkan adanya dua versi tentang kematiannya. Pesta peringatan 250 tahun kota Batavia dilangsungkan waktu perang Aceh memasuki tahun ketiga. Di saat-saat rakyat Aceh dan tentara Belanda banyak yang cedera. Sementara tuan-tuan besar di Jakarta berpesta pora dengan penuh kagumbiraan.

Dengan dihancurkannya patung Coen oleh Jepang, kaum nasionalis tidak perlu bersusah payah melenyapkan lambang kolonial yang tidak diinginkan itu. Setelah Indonesia merdeka, tidak satu pun yang menjunjung Coen, di kota yang dibangunnya di bekas puing-puing kota Jayakarta lama. Dan, Bung Karno sendiri tampaknya ingin menjadikan Jakarta, sebagai kota yang berlainan dengan Batavia. Pada tahun 1960-an Bung Karno membangun Hotel Banteng di Lapangan Banteng. Kini jadi Hotel Borobudur. Dia juga membangun Masjid Istiqlal yang megah, di bekas benteng kolonial Wilhelmina Park. Untuk itu di dinamit monumen Michiels, guna memperingati Mayor Jenderal Andreas Victor Michiels, komandan militer Belanda yang memimpin peperangan di Sumatera Barat dan meninggal ketika berhadapan dengan pejuang Bali (1849).

(Alwi Shahab, wartawan Republika)

Kerak Telor dari Buncit

Memasuki Jl Buncit Raya dari arah Jl Rasuna Said, terdapat Madrasah Saadutdarain. Madrasah yang diapit oleh Jl Mampang XIV dan Jl Mampang Parapatan XIII itu juga merupakan salah satu tempat kuliah Universitas Islam Az-Zahrah, yang rektornya mantan Menteri Agama Tarmizi Taher dan ketua yayasannya DR Sechan Shahab.

''Kira-kira di tempat inilah dulu terletak Warung Buncit, yang kini diabadikan jadi nama jalan dan kampung,'' ujar HA Mas'ud Mardani (51), warga setempat. Dinamakan demikian, karena Cina pemilik warung tersebut perutnya buncit. Sekalipun warung dan pemiliknya sudah lenyap, nama Warung Buncit sampai kini tetap melekat.

Kala itu, warung-warung milik warga Tionghoa yang tersebar di berbagai pelosok Jakarta tidak satupun memakai papan nama. Warung mereka lebih dikenal berdasarkan postur tubuh pemiliknya. Seperti warung si jangkung (pemiliknya bertubuh jangkung), atau warung si gemuk, dan ada yang dinamakan warung si kurus.

Di Kwitang, Jakarta Pusat, ada yang disebut warung andil, letaknya berdekatan dengan majelis taklim Habib Ali. Karena, warung itu didirikan secara patungan (andil). Masih di Kwitang, ada yang disebut warung asuk, karena anak-anaknya memanggil bapaknya dengan sebutan asuk yang dalam bahasa Cina berarti bapak. Hingga kini warung tersebut masih berdiri, menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga, mulai dari beras sampai bahan-bahan pokok lainnya. Cuma tidak ada lagi arang dan kayu bakar seperti tahun 1950-an dan 60-an.

Jl Warung Buncit, terutama pagi dan sore, menjadi salah satu pusat kemacetan di Jakarta. Keadaan ini seperti langit dan bumi dibanding tahun 1960-an dan bahkan 1970-an. Waktu itu, kata Mas'ud, Jl Buncit Raya masih lengang. Jalan raya memang sudah ada, tapi belum diaspal. Bahkan pada 1950-an dan juga 1960-an, kawasan Warung Buncit sebagian masih merupakan hutan. Sementara para penduduknya, warga Betawi, dengan bergairah menanam pohon belimbing. Buah belimbing dari daerah ini, yang disebut belimbing semarang, terkenal sekali manis dan besar-besar. ''Kini sudah punah, tak satu pun yang tinggal,'' kata H Mas'ud dan adiknya, H Mustafa.

Bukan hanya pemilik rumah yang berpekarangan besar yang terlibat dalam perdagangan belimbing, tapi juga sebagian besar penduduk Mampang dan Buncit. Hasil panen belimbing dibagi tiga. Sepertiga untuk pemilik rumah, sepertiga untuk para buruh yang sejak buahnya masih kecil dengan teliti membungkusnya dengan daun pisang. Dan sisanya untuk biaya operasional, seperti daun pisang dan tali untuk pengikat.

Lalu bagaimana situasi di perapatan Republika kala itu? Sampai tahun 1975, masih berupa persawahan dengan rumput dan alang-alang. Sebagian lagi terdiri dari empang. Banyak warga Betawi beternak ikan di sini. Kala itu, para penduduk juga punya penghasilan dari ternak sapi. Mereka yang berpunya memelihara puluhan ekor sapi. Kala itu, jumlah sapi di Buncit mencapaim ribuan ekor. Kini, kata Mas'ud, hanya sekitar 300-an ekor sapi. Sedangkan peternaknya bisa dihitung dengan jari.

Lalu bagaimana masa depan para peternak itu? Mas'ud yang ayahnya memiliki peternakan kecil-kecilan pesimis akan masa depan mereka. Seperti juga nasib perkebunan belimbing yang sudah punah, usaha ternak sapi juga akan mengalami nasib sama. Dulu, kata Mas'ud, orang yang memiliki 10 ekor sapi bisa menutup biaya hidup keluarganya. Sekarang sudah tidak bisa lagi. ''Dulu punya sapi 15 ekor sapi sudah bisa beli tanah. Sekarang malah jual tanah,'' katanya pesimis.

Tak heran kalau sekarang banyak kandang-kandang sapi yang telah berubah fungsi jadi rumah kontrakan. Oleh mereka sapinya dijual dengan harga sekitar Rp 5-10 juta. Hasil penjualan sapi itu cukup untuk membuat rumah kontrakan. Seperti kandang sapi berukuran 400 meter, misalnya bisa jadi rumah kontrakan 15 unit. ''Satu unit dikontrak Rp 400 ribu per bulan. Kan hasilnya lumayan,'' katanya.

Yang cukup merisaukan peternak sapi di Buncit, dan peternak sapi di Kuningan yang jumlahnya jauh lebih banyak, pakan ternak kini harganya sudah sangat mahal. Kalau dulu kita bisa mengambil rumput dari Buncit, sekarang harus ke Cengkareng dan Kapuk Muara.

Di tengah-tengah membanjirnya pendatang, yang tetap masih eksis di Buncit adalah kerak telor. Mashud berani menjamin, di antara para penjual kerak telor yang banyak mangkal di mal, pertokoan, dan pusat-pusat keramaian, 99 persen dari Warung Buncit. Mereka berdagang turun menurun sejak kakak mereka berjualan di Pasar Gambir tahun 1940-an. Yang menggembirakan, ujar Mas'hud, kerak telor kini sudah masuk pertokoan mewah. Bahkan sudah sampai ke Bandung, dan sedikit waktu lagi ke Manado.

Di antara para pedagang kerak telor itu adalah warga Betawi yang masih tersisa di Buncit. Kalau di pinggir-pinggir 90 persen dihuni pendatang, tapi kalau agak ke dalam masih sekitar 60-70 persen. Mereka dikenal sebagai warga yang agamis, setiap hari Ahad pagi menghadiri pengajian di Majelis Taklim Kwitang. ''Saya sendiri sejak masa kakek saya sampai kini masih tetap ke pengajian Habib Ali,'' ujar Mas'ud.

Salah satu kegemaran warga Betawi di Buncit adalah orkes gambus, kemudian orkes Melayu, dan kini dangdut. Pada tahun 1950-an, warga sering patungan menumpang oplet menonton film Mesir di Alhambra, Sawah Besar. Tidak heran, di Buncit sampai kini berdiri Orkes Gambus Arominia pimpinan H Ahmad Sukendi, putra asli Mampang Perapatan.

Di Buncit juga dikenal sejumlah ulama yang namanya kesolhor di Jakarta, seperti KH Salam Djaelani, Kh Abdcullah Musa, dan KH Tohir. Seperti kebanyakan ulama Betawi, mereka belajar agama di Mesir dan Arab Saudi. Di samping almarhum Habib Ali, almarhum KH Abdullah Sjafii juga merupakan ulama yang dihormati di Buncit.

Di kawasan ini juga terdapat sejumlah pemain rebana burdah, rebana yang berukuran 50 Cm. Rebana ini dikembangkan oleh Sayid Abdullah Ba'mar, yang dulu merupakan orang terkaya di kawasan Kuningan dan Buncit. Wan Dulloh, panggilan tuan tanah ini, kata Mas'ud, pada 1950-an punya tanah yang kini dikenal sebagai kawasan segi tiga emas, antara Jl Gatot Subroto dan Jl Tendean.

(Alwi Shahab )

Onrust dan Hukuman Tembak Kartosuwiryo

Pulau Onrust salah satu pulau terdekat dengan Jakarta di antara pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Menuju ke Pulau Onrust dari Pelabuhan Muara Kamal Jakarta Utara dengan perahu tradisional hanya perlu waktu 10-15 menit saja.

Pulau yang luasnya 12 hektar dan kini akibat abrasi tinggal 8 hektar, jaraknya hanya 14 km dari Jakarta. Tidak heran kalau pulau di Teluk Jakarta ini, kini banyak dikunjungi wisatawan, khususnya para mahasiswa dan pelajar, terutama di masa liburan. Karena di pulau yang memiliki sejarah panjang ini, oleh Dinas Museum dan Kebudayaan DKI Jakarta dijadikan sebagai Taman Arkeologi Nasional. Ini berkaitan dengan banyaknya peristiwa penting di Pulau Onrust.

Kata Onrust berasal dari bahasa Belanda : ''tanpa istirahat'' atau ''sibuk''. Nama ini dikenal sejak abad ke-17, terutama oleh orang Belanda. Sedangkan penduduk setempat mengenalnya sebagai Pulau Kapal. Pulau yang pernah disengketakan antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemprov Banten, pada sekitar 1613 VOC mendirikan galangan kapal. James Cook, sebelum menemukan Benua Australia terlebih dulu kapalnya diperbaiki di pulau ini. Dia kemudian memujinya sebagai galangan kapal terbaik. Sebelumnya pulau ini pernah menjadi tempat peristirahatan para keluarga kesultanan Banten.

Dari pulau inilah VOC menyiapkan armadanya untuk menyerang Jayakarta, ketika sebelumnya pada 10-13 November 1610 mengadakan perjanjian dengan Pangeran Jayakarta. Pangeran mengizinkan VOC membangun sebuah galangan kapal di Onrust. Yang akhirnya justru jadi bumerang bagi Jayakarta. Karena dibalik perjanjian itu, JP Coen berencana ingin menjadikannya sebagai koloni Belanda. Onrust kemudian semakin kuat sebagai pertahanan dan depot logistik VOC. Di sini dipekerjakan 148 abdi kompeni dan 200 orang budak, yang diperlakukan tidak manusiawi. Kemudian ratusan warga Tionghoa disuruh bekerja di sini.

Pulau ini dua kali digembur dan diluluhlantakkan Inggris ketika melakukan blokade terhadap Batavia. Yaitu pada 1800 dan 1806. Inggris baru angkat kaki 1816. Pulau Onrust pernah menjadi karantina haji hingga 1911 sampai 1940. Kemudian dijadikan tawanan para pemberontak yang terlibat dalam ''Peristiwa Kapal Tujuh'' (Zeven Provincien). Pada 1940 dijadikan sebagai tawanan warga Jerman, yang pada masa berkuasanya Hitler jadi musuh Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Onrust dijadikan penjara bagi para penjahat kriminal kelas berat.

Setelah kemerdekaan Onrust dimanfaatkan sebagai Rumah Sakit Karantina bagi penderita penyakit menular hingga 1960-an. Kala itu, mereka yang menderita penyakit cacar tanpa ampun dikarantina di Onrust. Kalau saja rumah sakit karantina itu masih berdiri mungkin saja mereka yang terinfeksi penyakit flu burung ditempatkan di sini. Bukan hanya mereka yang menderita penyakit menular, para gelandangan dan pengemis juga ditampung di Pulau Onrust. Maklum kala itu, banyak tamu negara berdatangan ke Jakarta. Dan Bung Karno memerintahkan agar para pengemis dan gelandangan yang dapat menjelekkan citra Jakarta harus dibersihkan.

Pada masa itu, tokoh pemberontak DI/TII, Maridjan Kartosuwiryo, yang tertangkap di Leles, Garut, setelah dijatuhi hukuman mati juga ditembak di Pulau Onrust. Menurut Bung Karno seperti diceritakannya pada penulis Solichin Salam, sebelum menjatuhi hukuman itu, dia terlebih dahulu shalat meminta petunjuk Allah. Sejumlah tokoh Liga Demokrasi seperti Haji Princen dkk yang menentang Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno juga pernah diasingkan di pulau ini.

Di Onrust kita masih menjumpai kuburan orang-orang Belanda, barak tempat karantina haji, rumah dokter haji dan petugas kesehatan yang masih terpelihara utuh. Pokoknya Onrust pantas didatangi, yang kini tengah disiapkan jadi Museum Arkeologi.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

'Dukun Pateh' dari Cikini

Berhadapan dengan stasion kereta api Cikini, Jakarta Pusat, terletak sebuah pasar yang dikelilingi pertokoan dan gedung modern. Seperti juga nama stasion, Pasar Cikini dulunya hanya merupakan pasar tradisional seperti yang banyak terdapat di Jakarta. Entah sudah berapa lama keberadaan pasar ini. Tapi, jelas lebih tua dari gedung bioskop Metropore (kini Megaria) yang berada di dekatnya. Bioskop yang pernah menjadi bioskop termegah di Jakarta itu dibangun tahun 1950.

Memasuki pasar Cikini, yang juga menampung puluhan pedagang kembang warga Betawi yang sudah turun menurun berjualan di sini, terdapat Gang Ampiun, terletak di sebuah gang kecil. Di Gang Ampiun No 10 terdapat sebuah rumah yang banyak didatangi orang -- dari pagi hingga malam. Mereka datang untuk pengobatan patah tulang atau keseleo. Di rumah inilah dulu Haji Asmawi bin H Jasim membuka prakteknya. Karena banyak mengobati mereka yang menderita patah tulang, dia lebih dikenal sebagai 'dukun patah'. Sedang orang Betawi menyebutnya 'dukun pateh'.

Waktu itu, ketika Haji Asmawi mulai buka praktek pengobatan patah tulang, di Jakarta belum dikata belum banyak dokter spesialis tulang. Mungkin jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari. Pengobatan tulang di Cimande juga belum dikenal. Kala itu, banyak pemain bola termasuk dari klub-klub Persija, bila patah tulang dan keseleo akibat benturan, pergi ke H Asmawi.

Setelah Haji Asmawi meninggal dunia tahun 1972 dalam usia 71 tahun, praktek di Gang Ampiun, Cikini, diteruskan oleh putrinya, Ibu Nasidah, dan cucunya, H Darajatullah. Sementara, salah seorang putranya, dr Sufat, yang mendapatkan pendidikan dokter dari Jerman, membuka praktek di Jl Cirebon, Menteng, Jakarta Pusat. Tiap hari banyak pasien termasuk penderita patah tulang yang datang ke prakteknya.

Seperti dikemukakan putranya, H Paisal Kamal (70 tahun) yang kini menjabat Ketua Yayasan STIE (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi) di Rawamangun, keahlian ayahnya memang diikuti para keluarga. Haji Asmawi yang memiliki 18 putra-putri dari tiga istri, kata dokter Paisal, semuanya bisa mengobati penderita patah tulang. Bahkan para istrinya juga bisa mengobati mereka yang patah tulang dan keseleo.

Saya sendiri, sekitar tahun 1950 saat bermain sepakbola 'Anak-anak Gawang' di Gambir (kini Monas), menderita patah tulang tangan kiri setelah bertubrukan dengan lawan. Oleh kawan-kawan saya langsung di gotong ke Cikini. Alhamdulillah, setelah berobat selama sebulan dan datang tiap minggu, tulang tangan saya yang patah nyambung kembali.

Sekitar tahun 1969 ketika mengendarai skuter Vespa dari kantor berita Antara, saat hendak membelok ke Jl Pintu Air depan Istiqlal, tiba-tiba diserempet sebuah mobil. Sayapun terjatuh, dan Vespa menimpa dengkul saya hingga retak. Oleh kawan-kawan Antara, saya pun digotong dan dibawa ke Haji Asmawi. Setelah sekitar dua bulan, tulang knee (dengkul) yang retak itu sembuh. Untuk beberapa lama saya dianjurkan untuk memakai knee decker seperti yang biasa dipakai pemain volley dan basket.

Memang, dalam pengobatan terhadap mereka yang menderita patah tulang, oleh Haji Asnawi, tidak ada yang di-gips seperti di rumah-rumah sakait. Cukup diperban setelah sebelumnya diurut dengan minyak (tradisional). Kemudian diberikan jamu yang menurut cucunya, drg Azizah, ramuannya dibuat oleh kakeknya sendiri.

Lalu para pasiennya diharuskan melakukan sejumlah pantangan yang benar-benar harus dihindari. Seperti kacang-kacangan, nanas, telur, cumi, udang, rajungan dan sejumlah makanan lainnya. Menurut putranya, dr Paisal Kamal, pantangan dimaksudkan agar penderita tidak gatal-gatal dan batuk-batuk. Karena, bisa berakibat buruk.

Dalam melaksanakan pengobatan, seperti yang saya alami, Haji Asmawi yang selalu berpeci hitam, kadang-kadang bersuara keras, seperti memarahi pasiennya. Dalam hal ini dia tidak pandang bulu, apakah pasiennya tukang becak atau pejabat tinggi dan orang kaya. Pasien, setelah diurut, dipaksa jalan serta mengangkat kaki yang sakit. Kecuali pasien yang patah tulang, baru setelah tiga minggu berobat dipaksa berjalan atau mengangkat tangan yang patah.

Menurut dr Paisal, itu untuk mempercepat penyembuhan. ''Karena itulah ayah berbicara keras, guna mendorong keberanian si pasien,'' ujarnya. Dan, umumnya yang berobat kepadanaya, hampir semuanya sembuh. Di samping menularkan pengobatan patah tulang kepada putra-putri dan para cucu, Haji Asmawi juga berhasil dalam mendidik mereka. Seperti H Paisal, disamping mengajar di perguruan tinggi, juga membuka pondok pesantren di Ciawi, Bogor. Beberapa putranya juga jadi sarjana dalam berbagai disiplin ilmu. Sedangkan cucunya ada yang jadi sarjana hukum, sarjana ekonomi, dan lulusan AKABRI.

Haji Asmawi membuka praktek sejak 1948, saat ia berusia 47 tahun. Seperti juga kebanyakan warga Betawi yang keadaannya cukup mampu kala itu, Haji Asmawi pernah bermukim di kota suci Makkah selama dua tahun. Di sini dia banyak belajar dari sejumlah ulama di Masjidil Haram. Sepulang dari tanah suci, dia tidak langsung membuka pengobatan patah tulang, tapi selama beberapa waktu memberikan pelajaran agama. ''Terutama dalam ilmu nahwu (tatabahasa),'' kata Paisal.

Baru setelah buka praktek pada 1948, dia lebih banyak mengabdikan diri pada pengobatan patah tulang. Maklum begitu banyak yang berobat, hingga ia buka praktek dari pagi sampai malam. Yang unik, seperti dituturkan putranya, almarhum memiliki keahlian mengobati penyakit patah tulang sudah tujuh turunan. Jadi kemungkinan keluarga ini memiliki keahlian demikian sejak abad ke-18. Mungkin hampir sama dengan usia kota Batavia (Betawi).

(Alwi Shahab )

Tersindir Surah Al-Maidah

Usianya sudah 75 tahun (lahir 22 September 1930 di Jakarta). Tapi badannya masih tampak gagah. Bahkan ia masih dapat membaca tanpa harus menggunakan kaca mata. Jalannya masih cukup gesit untuk manula yang berusia tiga perempat abad. Itulah Haji Irwan Sjafi'ie, tokoh Betawi yang turut mendirikan Lembaga Kesenian Betawi (LKB).

Bahkan kakek enam orang anak dan 12 cucu ini, sampai tahun lalu masih aktif sebagai Ketua LKB yang bertujuan untuk melestarikan budaya Betawi ditengah maraknya budaya asing. Kepada Republika yang berkunjung ke kediamannya di Jl Setiabudi, Jakarta Pusat, Pak Haji -- demikian ia kerap dipanggil -- tanpa sungkan ia mengaku pernah menjadi "jagoan" atau istilah sekarang, preman.

Ia menceritakan penggalan hidupnya di tahun 1950-an, ketika ia masih berusia 20 tahun. Sebagai anak Betawi, ia mahir maen pukulan (silat). Kepandaiannya bermain pencak silat, ditambah lagi dengan tubuhnya yang tinggi dan tegap, menjadikannya pemuda yang disegani. Dia pun menjadi jagoan dan 'menguasai' seputar daerah Guntur, Menteng, tepatnya di bioskop Ratna di Menteng dan bioskop Gembira di Jl Kawi (kini keduanya sudah dibongkar dan dibangun pertokoan dan perkantoran). ''Tiap bulan mereka nyetor sama saya,'' ujarnya.

Para preman di kawasan itu, sampai di bioskop-bioskop Metropole (kini Megaria), Menteng dan Garden Hall (kini merupakan bagian dari Taman Ismail Marzuki-TIM) tidak ada yang berani dengan dia. Sebagai jagoan, ia memiliki anak buah tidak kurang 120 orang. Mereka siap melaksanakan apa yang diperintahkannya. ''Terhadap anak buah saya yang penakut saya pukul dengan buntut ikan pari yang ujungnya runcing dan bergerigi. Hukuman ini sangat ditakuti. Karena disamping sangat sakit, kulit bisa berkelupas,'' ujarnya.

Di bioskop Ratna dan Gembira yang terletak antara di Jl Kawi dan Jl Papandyan, Menteng, merupakan posnya sehari-hari. Toko-toko di Pasar Rumput dan Guntur di kawasan Manggarai, setiap bulan 'wajib' menggulirkan upeti baginya. Telat memberi setoran, tanggung sendiri akibatnya, begitu "hukum" yang ditetapkan olehnya.

Kadang-kadang, kalau bioskop lagi sepi sedangkan duit sudah tipis, ia dan kawan-kawan sengaja mencari keributan. ''Seperti ada orang yang memakai jam tangan yang cukup mahal harganya, kebetulan ia bertolak pinggang. Kita sengaja mencari keributan, dan saat ribut, tahu-tahu jam tangannya sudah digasak anak buah saya,'' ujarnya.

Irwan juga mengaku hidup dari hasil judi, bahkan minuman keras. Saya dan teman-teman membuka perjudian di berbagai tempat di Jakarta, seperti di Glodok, Tanah Tinggi, dan di Jatinegara. ''Kadang-kadang untuk menghindari razia oleh pihak kepolisian dan tentara, kita membuka tempat perjudian di Tugu, Puncak,'' tambahnya.

Lama menekuni "jalan" haram membuatnya bosan dan risih. Puncaknya, tahun 1965, ketika terjadi peristiwa G30S/PKI. Entah karena alasan apa, ia dipercaya sebagai Ketua BP (Badan Pembantu) Pengganyangan G30S/PKI, dibawah binaan Markas Daerah Pertahanan Sipil dibawah pimpinan Letkol Obrien Sacakusumah.

''Dalam masa-masa itu, mulai timbul kesadaran dalam diri saya. Firaun yang mengaku dirinya sebagai Tuhan, akhirnya tidak berdaya menghadapi kematian dan ia pun kembali ke kubur,'' ujarnya.

Dalam keadaan demikian, suatu ketika saya diundang untuk menghadiri peringatan Isra'Mi'raj Nabi Muhammad SAW di Pasar Rumput. Salah seorang penceramahnya mengutip ayat Alquran dalam surah Al-Maidah ayat 90 yang berbunyi : ''Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum minuman keras, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu dapat keberuntungan...''

Mendengar ayat tersebut, saya marah dan merasa disindir. Saya keluar dari tempat perayaan. Kemudian saya ambil batu, dan menimpuk tenda tempat peringatan Isra Mi'raj yang terbuat dari seng. Saya berlalu dan kidak ada yang berani menegur saya.

Hanya sang ayah, Haji Murtado, satu-satunya orang yang berani berhadap-hadapan dengannya. ''Itu bukannye nyindir. Siapapun yang baca ayat itu, ya artinya begitu. Itu adalah wahyu Allah. Ini perigatan dari Allah. Mudah-mudahan elu perhatikan dan segera bertobat.''

Lama Irwan mencerna dan merenungi kata-kata ayahnya. Ia menemukan kebenaran di balik ucapan itu. Ia pun bertekad untuk "melawan" dirinya sendiri. Tiap hari ia bangun pukul 03.00 pagi, lalu jalan kaki ke Masjid Attaqwa yang lokasinya lumayan jauh dari rumahnya untuk mendengarkan kulih subuh.

Jalannya menuju tobat tidak selamanya mulus. Kerap kali teman-temannya mengejeknya. Misalnya, sepulang mengaji, ia ditegur dengan bahasa plesetan, ''Baru kuliah susu, nih.'' Namun sebisa mungkin, amarah dibuangnya jauh-jauh.

Tahun 1967, ketika Jakarta Fair dibuka di Monas, ia kembali didatangi rekan-rekan dan kolega bisnisnya. Ia diminta menjaga stan judi dengan bayaran cukup besar. Saat itu, Irwan sudah bisa menjawab tegas, ''Jangankan jaga judi. Bapak menang maen judi sekarang, lalu memberi saya uang, haram bagi saya menerimanya.''

Irwan merayakan 'kemenangan' melawan dirinya dengan mengajak masyarakat membangun mushala kecil di Jl Muria, Ujung Menteng, yang hingga kini masih berdiri. Setahun kemudian ia dikukuhkan sebagai wakil lurah Guntur. Kemudian menjadi lurah Karet. Ia sempat mendapat penghargaan Satyalencana dari Presisen.

Pada 1981, ia jadi Lurah di Petukangan Utara, dan mengajak masyarakat membangun jalan, masjid dan mushola, disamping menyantuni yatim piatu. Melarang segala bentuk judi termasuk biliar, dan pada tiap bulan Ramadhan mengadakan tarawih keliling.

Tahun 1990 ditugaskan di kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama. Tahun 1992 ia berhenti dari aktivitasnya di pemerintahan dan mengabdikan diri pada LKB sampai Desember 2004.

Ia menunaikan rukun Islam 1974. Yang menarik, ia selalu datang ke Tanah Suci atas sponsor seseorang. ''Pada 28 April 2004 saya dan istri diberangkatkan umroh oleh seorang dermawan,'' ujarnya.

Tawaran umroh kembali datang pada saya dan istri. Kali ini dari H Biem Benyamin, putra tokoh Betawi almarhum Benyamin Suaeb. Sebenarnya bulan Mei lalu juga ada yang ingin membiayainya berumroh, tapi ditunda pada bulan ini. ''Jadi kalau Allah mengizinkan tiga kali saya umroh dibiayai orang,'' ujarnya.

Ia mengaku selalu ada semangat baru sepulangnya dari Tanah Suci. Favoritnya di sana adalah berdoa di Multazam. ''Ya Allah jangan Engkau akhiri kedatanganku di masjidMu ini, dan jangan Engkau jadikan kedatanganku untuk terakhir kali: doa itu yang selalu saya baca.''

(alwi shahab )

Tersindir Surah Al-Maidah

Usianya sudah 75 tahun (lahir 22 September 1930 di Jakarta). Tapi badannya masih tampak gagah. Bahkan ia masih dapat membaca tanpa harus menggunakan kaca mata. Jalannya masih cukup gesit untuk manula yang berusia tiga perempat abad. Itulah Haji Irwan Sjafi'ie, tokoh Betawi yang turut mendirikan Lembaga Kesenian Betawi (LKB).

Bahkan kakek enam orang anak dan 12 cucu ini, sampai tahun lalu masih aktif sebagai Ketua LKB yang bertujuan untuk melestarikan budaya Betawi ditengah maraknya budaya asing. Kepada Republika yang berkunjung ke kediamannya di Jl Setiabudi, Jakarta Pusat, Pak Haji -- demikian ia kerap dipanggil -- tanpa sungkan ia mengaku pernah menjadi "jagoan" atau istilah sekarang, preman.

Ia menceritakan penggalan hidupnya di tahun 1950-an, ketika ia masih berusia 20 tahun. Sebagai anak Betawi, ia mahir maen pukulan (silat). Kepandaiannya bermain pencak silat, ditambah lagi dengan tubuhnya yang tinggi dan tegap, menjadikannya pemuda yang disegani. Dia pun menjadi jagoan dan 'menguasai' seputar daerah Guntur, Menteng, tepatnya di bioskop Ratna di Menteng dan bioskop Gembira di Jl Kawi (kini keduanya sudah dibongkar dan dibangun pertokoan dan perkantoran). ''Tiap bulan mereka nyetor sama saya,'' ujarnya.

Para preman di kawasan itu, sampai di bioskop-bioskop Metropole (kini Megaria), Menteng dan Garden Hall (kini merupakan bagian dari Taman Ismail Marzuki-TIM) tidak ada yang berani dengan dia. Sebagai jagoan, ia memiliki anak buah tidak kurang 120 orang. Mereka siap melaksanakan apa yang diperintahkannya. ''Terhadap anak buah saya yang penakut saya pukul dengan buntut ikan pari yang ujungnya runcing dan bergerigi. Hukuman ini sangat ditakuti. Karena disamping sangat sakit, kulit bisa berkelupas,'' ujarnya.

Di bioskop Ratna dan Gembira yang terletak antara di Jl Kawi dan Jl Papandyan, Menteng, merupakan posnya sehari-hari. Toko-toko di Pasar Rumput dan Guntur di kawasan Manggarai, setiap bulan 'wajib' menggulirkan upeti baginya. Telat memberi setoran, tanggung sendiri akibatnya, begitu "hukum" yang ditetapkan olehnya.

Kadang-kadang, kalau bioskop lagi sepi sedangkan duit sudah tipis, ia dan kawan-kawan sengaja mencari keributan. ''Seperti ada orang yang memakai jam tangan yang cukup mahal harganya, kebetulan ia bertolak pinggang. Kita sengaja mencari keributan, dan saat ribut, tahu-tahu jam tangannya sudah digasak anak buah saya,'' ujarnya.

Irwan juga mengaku hidup dari hasil judi, bahkan minuman keras. Saya dan teman-teman membuka perjudian di berbagai tempat di Jakarta, seperti di Glodok, Tanah Tinggi, dan di Jatinegara. ''Kadang-kadang untuk menghindari razia oleh pihak kepolisian dan tentara, kita membuka tempat perjudian di Tugu, Puncak,'' tambahnya.

Lama menekuni "jalan" haram membuatnya bosan dan risih. Puncaknya, tahun 1965, ketika terjadi peristiwa G30S/PKI. Entah karena alasan apa, ia dipercaya sebagai Ketua BP (Badan Pembantu) Pengganyangan G30S/PKI, dibawah binaan Markas Daerah Pertahanan Sipil dibawah pimpinan Letkol Obrien Sacakusumah.

''Dalam masa-masa itu, mulai timbul kesadaran dalam diri saya. Firaun yang mengaku dirinya sebagai Tuhan, akhirnya tidak berdaya menghadapi kematian dan ia pun kembali ke kubur,'' ujarnya.

Dalam keadaan demikian, suatu ketika saya diundang untuk menghadiri peringatan Isra'Mi'raj Nabi Muhammad SAW di Pasar Rumput. Salah seorang penceramahnya mengutip ayat Alquran dalam surah Al-Maidah ayat 90 yang berbunyi : ''Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum minuman keras, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji, termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu dapat keberuntungan...''

Mendengar ayat tersebut, saya marah dan merasa disindir. Saya keluar dari tempat perayaan. Kemudian saya ambil batu, dan menimpuk tenda tempat peringatan Isra Mi'raj yang terbuat dari seng. Saya berlalu dan kidak ada yang berani menegur saya.

Hanya sang ayah, Haji Murtado, satu-satunya orang yang berani berhadap-hadapan dengannya. ''Itu bukannye nyindir. Siapapun yang baca ayat itu, ya artinya begitu. Itu adalah wahyu Allah. Ini perigatan dari Allah. Mudah-mudahan elu perhatikan dan segera bertobat.''

Lama Irwan mencerna dan merenungi kata-kata ayahnya. Ia menemukan kebenaran di balik ucapan itu. Ia pun bertekad untuk "melawan" dirinya sendiri. Tiap hari ia bangun pukul 03.00 pagi, lalu jalan kaki ke Masjid Attaqwa yang lokasinya lumayan jauh dari rumahnya untuk mendengarkan kulih subuh.

Jalannya menuju tobat tidak selamanya mulus. Kerap kali teman-temannya mengejeknya. Misalnya, sepulang mengaji, ia ditegur dengan bahasa plesetan, ''Baru kuliah susu, nih.'' Namun sebisa mungkin, amarah dibuangnya jauh-jauh.

Tahun 1967, ketika Jakarta Fair dibuka di Monas, ia kembali didatangi rekan-rekan dan kolega bisnisnya. Ia diminta menjaga stan judi dengan bayaran cukup besar. Saat itu, Irwan sudah bisa menjawab tegas, ''Jangankan jaga judi. Bapak menang maen judi sekarang, lalu memberi saya uang, haram bagi saya menerimanya.''

Irwan merayakan 'kemenangan' melawan dirinya dengan mengajak masyarakat membangun mushala kecil di Jl Muria, Ujung Menteng, yang hingga kini masih berdiri. Setahun kemudian ia dikukuhkan sebagai wakil lurah Guntur. Kemudian menjadi lurah Karet. Ia sempat mendapat penghargaan Satyalencana dari Presisen.

Pada 1981, ia jadi Lurah di Petukangan Utara, dan mengajak masyarakat membangun jalan, masjid dan mushola, disamping menyantuni yatim piatu. Melarang segala bentuk judi termasuk biliar, dan pada tiap bulan Ramadhan mengadakan tarawih keliling.

Tahun 1990 ditugaskan di kelurahan Cipulir, Kebayoran Lama. Tahun 1992 ia berhenti dari aktivitasnya di pemerintahan dan mengabdikan diri pada LKB sampai Desember 2004.

Ia menunaikan rukun Islam 1974. Yang menarik, ia selalu datang ke Tanah Suci atas sponsor seseorang. ''Pada 28 April 2004 saya dan istri diberangkatkan umroh oleh seorang dermawan,'' ujarnya.

Tawaran umroh kembali datang pada saya dan istri. Kali ini dari H Biem Benyamin, putra tokoh Betawi almarhum Benyamin Suaeb. Sebenarnya bulan Mei lalu juga ada yang ingin membiayainya berumroh, tapi ditunda pada bulan ini. ''Jadi kalau Allah mengizinkan tiga kali saya umroh dibiayai orang,'' ujarnya.

Ia mengaku selalu ada semangat baru sepulangnya dari Tanah Suci. Favoritnya di sana adalah berdoa di Multazam. ''Ya Allah jangan Engkau akhiri kedatanganku di masjidMu ini, dan jangan Engkau jadikan kedatanganku untuk terakhir kali: doa itu yang selalu saya baca.''

(alwi shahab )

'Istana' Raden Saleh, Cikini

Memasuki Rumah Sakit DGI 'Cikini', Jakarta Pusat, melalui pintu gerbangnya di Jl Raden Saleh terdapat sebuah gedung besar seperti layaknya sebuah istana. Gedung berlantai dua yang sebagian temboknya bercat putih, merupakan barang langka di Ibukota karena keantikan dan kekunoannya. Gedung tersebut bekas kediaman pelukis Raden Saleh (1811-1880).

Hampir tidak ada yang tahu gedung yang jadi tempat para pemimpin RS DGI Cikini ini, adalah tiruan dari satu istana kecil di Jerman. Yakni Istana Callenburg yang sering dikunjungi Raden Saleh. Ternyata Raden Saleh bukan hanya pelukis kondang tapi juga seorang arsitek handal. Pelukis kelahiran Semarang (1811) dari keluarga Syarif Bustaman inilah yang merancang gedung ini untuk tempat tinggalnya.

Raden Saleh pada 1829 dikirim ke Belanda, di samping untuk melukis juga akan dijadikan pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1839 setelah 10 tahun di Negeri Kincir Angin ia minta agar diberi kesempatan melakukan perjalanan keliling Eropa sebelum kembali ke Indonesia. Anak muda ini berkelana dengan kapal menyusuri sungai Rhein hingga ke Dusseldorf. Untuk kemudian mendatangi berbagai tempat di Jerman, dan Eropa. Dalam buku Napas Tilas Hubungan Jerman - Indonesia, Rd Saleh dilukiskan sebagai penyayang binatang. Dengan postur tubuhnya yang kecil dia dikenal sebagai pengendara kuda yang handal dan pemancing ikan yang kreatif.

Sekembalinya ke Indonesia, di atas tanah yang ia beli dari istrinya Winckelmann, seorang Jerman kelahiran Batavia, ia pun membangun istananya di Cikini: tiruan dari Istana Callemburg. Di Batavia, Raden Saleh menolak masuk dalam dinas penguasa kolonial Belanda. Beberapa karya lukisannya sangat digemari Bung Karno, dan masuk dalam koleksi Istana Kepresidenan.

Di antara lukisannya yang menonjol adalah 'Penangkapan Diponegoro' yang diselesaikan 1858. Bertentangan dengan pelukis kolonial, Raden Saleh yang bersimpati pada Diponegoro dengan penuh keberanian melukiskan bahwa pangeran dari Kesultanan Mataram ini sebagai pemenang bermoral, yang berjalan ke tahanan dengan muka menantang. Merupakan karya lukis revolusioner dan anti kolonial. Lukisan ini dibawa kembali ke Jakarta setelah kemerdekaan, setelah bertahun-tahun berada di Belanda. Diponegoro yang pernah dipenjara di Stadhuis (kini Museum Sejarah DKI Jakarta) sebelum dibuang ke Makassar, adalah korban kelicikan Belanda. Yang menangkapnya dengan tipuan untuk berunding.

Sebagai cicit Sayid Abdullah Bustam dan putra Sayid Husein bin Yahya, Raden Saleh selama di Maxem, Jerman mendirikan sebuah mushola bertuliskan basmalah dalam bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini ia juga membangun sebuah surau (1860). Setelah beberapa kali tergusur surau tersebut kini menjadi masjid Cikini, yang dapat menampung lebih 1000 jamaah.

Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh mendirikan kebon binatang pertama di Cikini, yang masih merupakan bagian dari tanah kediamannya. Kebon Binatang ini pada masa gubernur Ali Sadikin akhir 1960-an dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Kediamannya di Cikini terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang Cikini, SMP I Cikini, yang dulunya merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kediamannya. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Kemudian rumah dan tanah yang luas itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Belanda Emma), dengan harga 100 ribu gulden. Mengetahui rumah dan tanah akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden. Ketika Indonesia merdeka, yayasan ini menyerahkannya kepada RS DGI Cikini.

Ketika terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Saleh dituduh turut mendalanginya. Kediamannya di geledah, setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor (1880) dan dimakamkan di Jl Bondongan (kini Jl Pahlawan). Bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari kesultan Mataram. Setelah sebelumnya pelukis ini bercerai dengan istrinya dari Jerman.

(Alwi Shahab, wartawan Republika )

'Istana' Raden Saleh, Cikini

Memasuki Rumah Sakit DGI 'Cikini', Jakarta Pusat, melalui pintu gerbangnya di Jl Raden Saleh terdapat sebuah gedung besar seperti layaknya sebuah istana. Gedung berlantai dua yang sebagian temboknya bercat putih, merupakan barang langka di Ibukota karena keantikan dan kekunoannya. Gedung tersebut bekas kediaman pelukis Raden Saleh (1811-1880).

Hampir tidak ada yang tahu gedung yang jadi tempat para pemimpin RS DGI Cikini ini, adalah tiruan dari satu istana kecil di Jerman. Yakni Istana Callenburg yang sering dikunjungi Raden Saleh. Ternyata Raden Saleh bukan hanya pelukis kondang tapi juga seorang arsitek handal. Pelukis kelahiran Semarang (1811) dari keluarga Syarif Bustaman inilah yang merancang gedung ini untuk tempat tinggalnya.

Raden Saleh pada 1829 dikirim ke Belanda, di samping untuk melukis juga akan dijadikan pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Pada 1839 setelah 10 tahun di Negeri Kincir Angin ia minta agar diberi kesempatan melakukan perjalanan keliling Eropa sebelum kembali ke Indonesia. Anak muda ini berkelana dengan kapal menyusuri sungai Rhein hingga ke Dusseldorf. Untuk kemudian mendatangi berbagai tempat di Jerman, dan Eropa. Dalam buku Napas Tilas Hubungan Jerman - Indonesia, Rd Saleh dilukiskan sebagai penyayang binatang. Dengan postur tubuhnya yang kecil dia dikenal sebagai pengendara kuda yang handal dan pemancing ikan yang kreatif.

Sekembalinya ke Indonesia, di atas tanah yang ia beli dari istrinya Winckelmann, seorang Jerman kelahiran Batavia, ia pun membangun istananya di Cikini: tiruan dari Istana Callemburg. Di Batavia, Raden Saleh menolak masuk dalam dinas penguasa kolonial Belanda. Beberapa karya lukisannya sangat digemari Bung Karno, dan masuk dalam koleksi Istana Kepresidenan.

Di antara lukisannya yang menonjol adalah 'Penangkapan Diponegoro' yang diselesaikan 1858. Bertentangan dengan pelukis kolonial, Raden Saleh yang bersimpati pada Diponegoro dengan penuh keberanian melukiskan bahwa pangeran dari Kesultanan Mataram ini sebagai pemenang bermoral, yang berjalan ke tahanan dengan muka menantang. Merupakan karya lukis revolusioner dan anti kolonial. Lukisan ini dibawa kembali ke Jakarta setelah kemerdekaan, setelah bertahun-tahun berada di Belanda. Diponegoro yang pernah dipenjara di Stadhuis (kini Museum Sejarah DKI Jakarta) sebelum dibuang ke Makassar, adalah korban kelicikan Belanda. Yang menangkapnya dengan tipuan untuk berunding.

Sebagai cicit Sayid Abdullah Bustam dan putra Sayid Husein bin Yahya, Raden Saleh selama di Maxem, Jerman mendirikan sebuah mushola bertuliskan basmalah dalam bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini ia juga membangun sebuah surau (1860). Setelah beberapa kali tergusur surau tersebut kini menjadi masjid Cikini, yang dapat menampung lebih 1000 jamaah.

Sebagai penyayang binatang, Raden Saleh mendirikan kebon binatang pertama di Cikini, yang masih merupakan bagian dari tanah kediamannya. Kebon Binatang ini pada masa gubernur Ali Sadikin akhir 1960-an dipindahkan ke Ragunan, Jakarta Selatan. Kediamannya di Cikini terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden Hall dan Podium), kolam renang Cikini, SMP I Cikini, yang dulunya merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kediamannya. Ketika pindah ke Bogor, pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Kemudian rumah dan tanah yang luas itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Belanda Emma), dengan harga 100 ribu gulden. Mengetahui rumah dan tanah akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga penjualan jadi 50 ribu gulden. Ketika Indonesia merdeka, yayasan ini menyerahkannya kepada RS DGI Cikini.

Ketika terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Saleh dituduh turut mendalanginya. Kediamannya di geledah, setelah dikepung 50 serdadu bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor (1880) dan dimakamkan di Jl Bondongan (kini Jl Pahlawan). Bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari kesultan Mataram. Setelah sebelumnya pelukis ini bercerai dengan istrinya dari Jerman.

(Alwi Shahab, wartawan Republika)