Wednesday, December 29, 2004

Meulaboh Nyaris Terkubur

Puluhan Ribu Warga Belum Diketahui Hidup atau Mati

TIDAK ADA KEHIDUPAN: Situasi Kota Meulaboh dilihat dari udara. Di kota di pesisir selatan Aceh itu, sebagian besar bangunan rusak berat dan masih tergenang air. Selain itu, tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan hingga Selasa (28/12), setelah iterjang gelombang Tsunami. Di kota itu sedikitnya tinggal 40.000 jiwa. (55a)

ACEH - Kota Meulaboh dilukiskan seperti tidak ada kehidupan lagi setelah diamuk gempa dan badai tsunami. Sementara itu, 76.000 warga yang mendiami Pulau Simeuleu belum diketahui nasibnya, apakah masih ada yang tersisa atau habis semua. Karena pulau yang terletak di Samudera Hindia, tepatnya barat Kabupaten Aceh Barat Daya dan Aceh
Selatan ini, berdekatan dengan pusat gempa.

Wartawan Suara Merdeka Rukardi dari Aceh Selasa kemarin melaporkan belum ada keterangan detail tentang kondisi terakhir pulau tersebut. Menurut keterangan Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irjen Pol Bahrumsyah, Pulau Simeuleu sudah tidak berbentuk lagi.

Kini sedang diupayakan untuk mendata jumlah korban di pulau tersebut. Luas Pulau Simeuleu 2.052 km2 yang terbagi menjadi delapan kecamatan dan 81 desa. Berdasarkan hasil Pendaftaran Pemilih dan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang diselenggarakan KPU dan BPS pada 2003, jumlah penduduknya 76.000 jiwa.

Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla memerintahkan KRI Sibolga segera berangkat ke kota Meulaboh di pesisir selatan Aceh untuk meninjau situasi di ibu kota Kabupatan Aceh Barat itu yang sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kota ini berpenduduk sekitar 40.000 jiwa, sedangkan total penduduk Aceh Barat lebih kurang 195.000 jiwa.

Kalla yang juga Kepala Badan Koordinasi Nasional untuk Penanggulangan Bencana Alam dan Pengungsi melakukan pemantauan dengan menggunakan pesawat Boeing-737.

Melihat situasi Meulaboh yang terlihat tidak ada tanda-tanda kehidupan dan semua bangunan rusak parah, Kalla meminta KRI Sibolga segera merapat ke Meulaboh untuk memastikan jumlah korban serta mengupayakan evakuasi jenazah yang belum tertangani.

Penjabat Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring mengatakan, jalur komunikasi dari dan menuju ke Meulaboh benar-benar terputus. Dia melihat masalah utama yang saat ini dihadapi adalah bagaimana mengevakuasi jenazah yang masih berserakan di jalan-jalan untuk diangkut dan segera dikuburkan. Sembiring mengemukakan, karena jalur komunikasi yang terputus maka proses evakuasi jenazah akan
mengalami kesulitan.

Dia menggambarkan, kalaupun 10.000 sukarelawan dikerahkan, evakuasi jenazah baru dapat diselesaikan paling cepat dalam satu minggu.

Mengenai nasib ribuan jenazah yang diangkut dari beberapa tempat di Banda Aceh dan kini menumpuk di pinggir jalan sepanjang 500 meter di wilayah Lambaro, 25 km barat Banda Aceh, jenazah akan dimakamkan secara massal.

Pemda setempat telah menyiapkan satu lubang besar di Aceh Besar yang tidak jauh dari Kecamatan Lambaro untuk menguburkan jenazah-jenazah tersebut.

Puluhan ribu warga di Ulele di dekat Banda Aceh juga belum diketahui nasibnya. Ulele adalah kota pelabuhan yang sehari-harinya ramai dengan kegiatan ekonomi karena menjadi salah satu titik penting lalu lintas perdagangan dari Aceh ke Sabang dan sebaliknya. Kota tersebut padat dengan penduduk dan jumlahnya diperkirakan 40.000 orang.

Di Medan, Sumatera Utara, arus pengungsi besar-besaran dari wilayah-wilayah di Provinsi NAD masih berlangsung. Hingga kemarin, setidaknya sudah dua rombongan besar pengungsi -masing-masing berjumlah ratusan- tiba di Medan dari Aceh.

Mereka diangkut dengan pesawat Hercules. Banyak di antara warga Aceh yang mengungsi merasa khawatir soal kemungkinan gempa susulan akan terjadi. Karena itu, mereka berupaya menyelamatkan diri. Di Propinsi NAD, kegiatan pengungsian masih terlihat di berbagai tempat.

Banyak penduduk yang bahkan pergi ke hutan-hutan untuk mengungsi.

Kekurangan Makan

Dua hari setelah gempa dan gelombang tsunami memorak-porandakan Aceh,
masyarakat sangat membutuhkan bahan makanan. Meski bantuan sudah
mulai datang, jumlahnya masih terlalu sedikit. Banyak warga yang
histeris berteriak, "Makan, makan!"

Kondisi seperti ini betul-betul membuat hati trenyuh bagi siapa saja yang melihatnya. Mereka berteriak seperti itu karena sudah tiga hari ini tidak makan. Bila ada makanan, mereka mementingkan anak-anak mereka.

Pemandangan ini dapat dilihat di lokasi penampungan pengungsi di Masjid Baiturrahman di jantung kota Banda Aceh. Ribuan orang dikumpulkan di sini. Suasana masjid bersejarah itu juga tampak tidak keruan. Mayat-mayat masih berserakan di halaman dan sekitar masjid.

Para pengungsi di masjid tampak memprihatinkan. Selain belum ada bantuan bahan makanan, mereka juga tidak mendapatkan pasokan air bersih. Mereka buang hajat di mana saja karena fasilitasnya betul-betul tidak ada. Listrik pun masih padam.

Situasi seperti ini tidak hanya terjadi di Masjid Baiturrahman. Di tempat-tempat penampungan, pengungsi juga bernasib sama. Mereka betul-betul memerlukan bantuan pangan, obat-obatan, dan air bersih.

Jehinda Ingan Muhuli Ketaren (41), warga Kampung Mulia Kota Banda Aceh mengatakan belum menerima bantuan apa pun. Selama ini, Jehinda dan ribuan pengungsi lain hanya makan mi instan bantuan warga sekitar Aceh. Itu pun tanpa dimasak karena tidak ada posko-posko dan dapur umum.

Dalam situasi kekurangan bahan makanan, para korban gempa melakukan penjarahan di sejumlah kompleks pertokoan untuk mengambil bahan makanan, obat-obatan, dan pakaian.

Bendahara PMI Cabang Aceh Besar, Rahmawati menyebutkan, sedikitnya 1.200 mayat korban dikuburkan secara massal oleh PMI, TNI, dan Polri, di Desa Bada, Kecamatan Inginjaya, Kabupaten Aceh Besar. Mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam lubang besar. Sebagian mayat dibungkus kafan namun sebagian lainnya dikuburkan dalam kondisi seadanya. Mayat-mayat
itu tampak sudah menggelembung dan mengeluarkan bau busuk. Di depan kantor PMI ratusan mayat masih dikumpulkan untuk segera dimakamkan. Tiga buah tenda besar yang disediakan tak mampu menampung ratusan mayat tersebut. PMI mengaku kesulitan menangani mayat karena keterbatasan armada serta kurangnya relawan.

''Saat ini kami masih berkonsentrasi untuk mengevakuasi dan menguburkan semua mayat agar tidak menebarkan penyakit. Namun peralatan seperti sarung tangan, masker, dan alat berat masih sangat kurang,''kata Rahmawati.

Sementara itu, bantuan mulai berdatangan ke Bandara Iskandar Muda. Bantuan dibawa dengan pesawat Hercules dari Jakarta dan Medan. Namun bantuan ini juga belum banyak, masih sangat terbatas. Menurut rencana, bantuan dalam jumlah besar tiba pada hari ini.

Di Banda Aceh juga kekurangan pasokan BBM. Dari sekian SPBU yang masih berdiri, hanya satu yang memiliki pasokan BBM. Itu pun sudah diserbu masyarakat pada Senin (27/12) malam. Antrean sepanjang satu kilometer sebelum premium habis.

Akibat tidak ada pasokan BBM, kini di Banda Aceh minim transportasi. Hanya sedikit mobil pribadi yang melewati jalan raya. Yang sering terlihat hanya mobil ambulans dan mobil TNI dan SAR.

Para wartawan yang meliput juga harus berjalan kaki.

Hingga pukul 12.00, aparat TNI, tim SAR, tim relawan, dan masyarakat masih terus mengevakuasi mayat-mayat yang berada di pinggir jalan. Evakuasi berjalan lambat karena keminiman peralatan dan transportasi.
(H6,dtc-33j)

Gunung Jangan Pula Meletus

Oleh Emha Ainun Nadjib

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan
kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.

"Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.

"Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.

"Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?"

"Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."

"Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?"

"Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."

"Termasuk Kiai...."

Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.

"Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan?"

Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.

"Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?" katanya.

Aku menjawab tegas, "Ya."

"Kalau Tuhan diam saja bagaimana?"

"Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan."

"Sampai kapan?"

"Sampai kapan pun!"

"Sampai mati?"

"Ya!"

"Kapan kamu mati?"

"Gila!"

"Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!"

""Aku ini, Kiai!" teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter...."

Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.

"Kamu jahat," katanya, "karena ingin menghindar dari kewajiban."

"Kewajiban apa?"

"Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini..." ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."

"Apa maksud Kiai?," aku tidak paham.

"Pakailah sesukamu."

"Emang untuk apa?"

"Misalnya untuk membenturkan kepalamu...."

"Sinting!"

"Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh."

Ia membawaku duduk kembali.

"Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.

"Kamu tahu Muhammad?", ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan?"

Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang.

"Kiai," kata saya agak pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."

"Sangat benar demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"

"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh.... Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."

"Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi."

"Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu...."

"Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"

"Aceh, Kiai, Aceh."

"Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak".

"Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan."

"Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan? berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati."

"Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?"

"Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?"

"Gusti Gung Binathoro!," saya mengeluh, "Kami semua dan saya sendiri, Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan."

"Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup."

"Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."

"Alangkah dungunya kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."

"Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"

"Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."

"Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun.

"Bilang sendiri sana sama gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.

"Kiai!" aku meloncat mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam...."

"Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?"

Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Emha Ainun Nadjib Budayawan

Wednesday, December 15, 2004

Belajar Menyikapi Masalah

Malam telah larut saat saya meninggalkan kantor. Telah lewat pukul 11 malam. Pekerjaan yang menumpuk, membuat saya harus pulang selarut ini.

Ah, hari yang menjemukan saat itu. Terlebih, setelah beberapa saat berjalan, warna langit tampak memerah. Rintik hujan mulai turun. Lengkap sudah, badan yang lelah ditambah dengan "acara" kehujanan.

Setengah berlari saya mencari tempat berlindung. Untunglah, penjual nasi goreng yang mangkal di pojok jalan, mempunyai tenda sederhana.

Lumayan, pikir saya. Segera saya berteduh, menjumpai bapak penjual yang sendirian, ditemani rokok dan lampu petromak yang masih menyala.

Dia menyilahkan saya duduk. "Disini saja dik,daripada kehujanan...," begitu katanya saat saya meminta ijin berteduh.

Benar saja, hujan mulai deras, dan kami makin terlihat dalam kesunyian yang pekat. Karena merasa tak nyaman atas kebaikan bapak penjual dan tendanya, saya berkata, "tolong bikin mie goreng pak, di makan disini saja. Sang Bapak tersenyum, dan mulai menyiapkan tungku apinya. Dia tampak sibuk.

Bumbu dan penggorengan pun telah siap untuk di racik. Tampaklah pertunjukkan sebuah pengalaman yang tak dapat diraih dalam waktu sebentar.

Tangannya cekatan sekali meraih botol kecap dan segenap bumbu. Segera saja, mie goreng yang mengepul telah terhidang. Keadaan yang semula canggung mulai hilang. Basa-basi saya bertanya, "Wah hujannya tambah deras nih, orang-orang makin jarang yang keluar ya Pak?" Bapak itu menoleh kearah saya, dan berkata, "Iya dik, jadi sepi nih dagangan saya.." katanya sambil menghisap rokok dalam-dalam.

"Kalau hujan begini, jadi sedikit yang beli ya Pak?" kata saya, "Wah, rezekinya jadi berkurang dong ya?" Duh. Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja, tak banyak yang membeli kalau hujan begini. Tentu, pertanyaan itu hanya akan membuat Bapak itu tambah sedih. Namun, agaknya saya keliru...

"Gusti Allah, ora sare dik, (Allah itu tidak pernah istirahat), begitu katanya. "Rezeki saya ada dimana-mana. Saya malah senang kalau hujan begini. Istri sama anak saya di kampung pasti dapat air buat sawah. Yah, walaupun nggak lebar, tapi lumayan lah tanahnya." Bapak itu melanjutkan, "Anak saya yang disini pasti bisa ngojek payung kalau besok masih hujan..."

Degh. Dduh, hati saya tergetar. Bapak itu benar, "Gusti Allah ora sare".

Allah Memang Maha Kuasa, yang tak pernah istirahat buat hamba-hamba-Nya.

Saya rupanya telah keliru memaknai hidup. Filsafat hidup yang saya punya, tampak tak ada artinya di depan perkataan sederhana itu. Makna nya terlampau dalam, membuat saya banyak berpikir dan menyadari kekerdilan saya di hadapan Tuhan.

Saya selalu berpikiran, bahwa hujan adalah bencana, adalah petaka bagi banyak hal. Saya selalu berpendapat, bahwa rezeki itu selalu berupa materi, dan hal nyata yang bisa digenggam dan dirasakan. Dan saya juga berpendapat, bahwa saat ada ujian yang menimpa, maka itu artinya saya cuma harus bersabar. Namun saya keliru. Hujan, memang bisa menjadi bencana, namun rintiknya bisa menjadi anugerah bagi setiap petani. Derasnya juga adalah berkah bagi sawah-sawah yang perlu diairi. Derai hujan mungkin bisa menjadi petaka, namun derai itu pula yang menjadi harapan bagi sebagian orang yang mengojek payung, atau mendorong mobil yang mogok.

Hmm...saya makin bergegas untuk menyelesaikan mie goreng itu. Beribu pikiran tampak seperti lintasan-lintasan cahaya yang bergerak di benak saya. "Ya Allah, Engkau Memang Maha yang Tak Pernah Beristirahat"

Untunglah,hujan telah reda, dan sayapun telah selesai makan. Dalam perjalanan pulang, hanya kata itu yang teringat, Gusti Allah Ora Sare..... Gusti Allah Ora Sare.....

Begitulah, saya sering takjub pada hal-hal kecil yang ada di depan saya. Allah memang selalu punya banyak rahasia, dan mengingatkan kita dengan cara-caraNya.

Saturday, December 04, 2004

Susahnya Bertamu di Rumah Orang Kaya

Seorang pria (T) berkunjung ke rumah seorang jutawan yang sangat kaya-raya. Sembari menunggu sang tuan rumah, sang pembantu (P) menawarinya minum.

P : "Tuan mau minum apa, teh, kopi, susu atau soda?"

T : "Teh saja."

P : "Teh hijau, teh madu, teh ceylon, teh celup atau teh seduh?"

T : "Teh ceylon."

P : "Yang hitam atau bening?"

T : "Bening."

P : "Dengan susu, krim atau madu?"

T : "Dengan susu."

P : "Susu sapi, susu unta atau susu kuda?"

T : "Susu sapi saja."

P : "Sapi dari Freezeland atau Afrika?"

T : "Hmm yang pertama saja."

P : "Dengan gula atau tanpa gula?"

T : "dengan gula."

P : "Gula pasir atau gula batu?"

T : "Gula pasir."

P : "Gula tebu atau gula pemanis?"

T : "Arghhhhhhhhh, berikan aku air mineral saja."

P : "Air mineral dingin atau biasa?"

T : "Yang dingin."

P : "Yang tawar atau yang rasa buah?"

T : " Sudahlah, aku tidak jadi minum deh."

SIAPA YANG TAK MATI?

Suatu ketika ada seorang janda yang sangat berduka karena anak satu-satunya mati. Sembari membawa jenasah anaknya, wanita ini menghadap Sang Guru untuk meminta mantra atau ramuan sakti yang bisa menghidupkan kembali anaknya.

Sang Guru mengamati bahwa wanita di hadapannya ini tengah tenggelam dalam kesedihan yang sangat mendalam, bahkan sesekali ia meratap histeris. Alih-alih memberinya kata-kata penghiburan atau penjelasan yang dirasa masuk akal, Sang Guru berujar:

"Aku akan menghidupkan kembali anakmu, tapi aku membutuhkan sebutir biji lada."

"Itu saja syaratnya?" tanya wanita itu dengan keheranan.

"Oh, ya, biji lada itu harus berasal dari rumah yang anggota penghuninya belum pernah ada yang mati."

Dengan "semangat 45", wanita itu langsung beranjak dari tempat itu, hatinya sangat entusias, "Guru ini memang sakti dan baik sekali, dia akan menghidupkan anakku!"

Dia mendatangi sebuah rumah, mengetuk pintunya, dan bertanya: "Tolonglah saya. Saya sangat membutuhkan satu butir biji lada. Maukah Anda memberikannya?" "Oh, boleh saja," jawab tuan rumah. "Anda baik sekali Tuan, tapi maaf, apakah anggota rumah ini belum pernah ada yang mati?" "Oh, ada, paman kami meninggal tahun lalu." Wanita itu segera berpamitan karena dia tahu bahwa ini bukan rumah yang tepat untuk meminta biji lada yang dibutuhkannya.

Ia mengetuk rumah-rumah berikutnya, semua penghuni rumah dengan senang hati bersedia memberikan biji lada untuknya, tetapi ternyata tak satu pun rumah yang terhindar dari peristiwa kematian sanak saudaranya. "Ayah kami barusan wafat…," "Kakek kami sudah meninggal…," "Ipar kami tewas dalam kecelakaan minggu lalu…," dan sebagainya.

Ke mana pun dia pergi, dari gubuk sampai istana, tak satu tempat pun yang memenuhi syarat tidak pernah kehilangan anggotanya. Dia malah terlibat dalam mendengarkan cerita duka orang lain. Berangsur-angsur dia menyadari bahwa dia tidak sendirian dalam penderitaan ini; tak seorang pun yang terlepas dari penderitaan. Pada penghujung hari, wanita ini kembali menghadap Sang Guru dalam keadaan batin yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Dia mengucap lirih, "Guru, saya akan menguburkan anak saya." Sang Guru hanya mengangguk seraya tersenyum lembut.

Mungkin saja Sang Guru bisa mengerahkan kesaktian dan menghidupkan kembali anak yang telah mati itu, tetapi kalau pun bisa demikian, apa hikmahnya? Bukankah anak tersebut suatu hari akan mati lagi juga? Alih-alih berbuat demikian Sang Guru membuat wanita yang tengah berduka itu mengalami pembelajaran langsung dan menyadari suatu kenyataan hidup yang tak terelakkan bagi siapa pun: siapa yang tak mati?

Penghiburan sementara belaka bukanlah solusi sejati terhadap peristiwa dukacita mendalam seperti dalam cerita di atas. Penderitaan hanya benar-benar bisa diatasi dengan pengertian yang benar akan dua hal: (1) kenyataan hidup sebagaimana adanya, bukan sebagaimana maunya kita, dan (2) bahwasanya pada dasarnya penderitaan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang bersumber dari dalam diri kita sendiri.

Priiit... Ce Ban, dan Denda Damai

Kepolisian RI saat ini bener-bener dalam sorotan. Begitu banyak kritik pedas dilontarkan masyarakat kepada institusi tersebut. Lebih-lebih sejak peristiwa kekerasan di Tempat Pembungan Sampah Terpadu (TPST) Bojong, Kabupaten Bogor, pekan lalu. Bukan hanya itu. Ada berita lain yang bisa membuat merah muka aparat kepolisian, yakni pengakuan Rois, alias Irwan Darmawan, anak buah Azahari yang berhasil dibekuk pekan lalu. Menurut ceritanya, Azahari itu tokoh teroris yang sedang diuber-uber dan diudak-udak aparat keamanan. Dia pernah beberapa kali tertangkap Polisi Lalu Lintas (Polantas) karena melanggar lalu lintas. Termasuk kendaraannya pernah ditahan di Kuningan beberapa saat setelah pemboman Kedubes Australia.

Pernyataan anak buah Azahari ini mengusik sebuah harian Ibu Kota untuk membuat karikatur. Di tengah uang Rp 10 ribu terdapat gambar Azahari. Dengan kata-kata pantesan Azahari lolos terus. Kapolri Jenderal Pol Dai Bachtiar menyatakan, Rais memang bercerita panjang lebar soal Azahari yang berkali-kali kendaraannya ditilang. Namun, dia lolos karena memberi uang pada anggota Polantas. Agar peristiwa memalukan ini tidak terulang, para petugas Polantas wajib mengantongi foto Dr Azahari dan Noordin M Top. Tentu tujuannya agar polisi hafal wajah mereka bila tertangkap di jalan.

Tapi, entah kalau keduanya saat ditangkap tengah menyamar. Maklum, 'denda damai' alias pungli dan entah apalagi namanya sudah bukan rahasia umum di negeri ini. Sudah terjadi puluhan tahun dan sering dilakukan secara terang-terangan. Tidak mengherankan bila aparat Polantas dan DLLAJ saat merazia kendaraan banyak yang mengaitkan kegiatan mereka dengan pungli.

Pada 1950-an ketika semangat nasionalisme masih tinggi dan rakyat sama-sama susah belum begitu dikenal pungli di jalan-jalan. Polantas tiap saat, baik pagi, petang, maupun malam berjaga-jaga di perempatan jalan. Kala itu belum ada lampu lalu lintas seperti sekarang. Polisi Lalu Lintas berdiri di perempatan jalan raya. Mereka memutar-mutar tanda lalu lintas dari besi setinggi kurang lebih dua setengah meter.

Tanda lalu lintas itu bercat hijau berbunyi: 'JALAN'. Warna merah bertuliskan: 'STOP'. Sungguh kasihan nasib Polantas ketika itu. Kalau terik matahari kepanasan dan saat hujan basah kuyup. Baru pada 1960-an dikenal istilah priit ji-go. Maksudnya, kalau kendaraan salah jalan kena tilang polisi dapat diajak 'denda damai' dengan membayar 25 perak atau ji-go.

Pada masa Demokrasi Terpimpin itu inflasi kelewat tinggi dan harga-harga melonjak drastis. Ji-go yang sebelumnya bisa membeli lima liter beras nilainya turun drastis. Kemudian, dikenal istilah priiit seceng (Rp 1.000). Saat ini untuk 'denda damai' kita harus mengeluarkan uang ce-ban (Rp 10 ribu) untuk sepeda motor dan no-ban atau Rp 20 ribu untuk mobil. Bahkan, kadang-kadang no-ban-go alias Rp 25 ribu.

Bagi para pengendara cing-cai atau denda damai lebih baik daripada kena tilang. Mengurusnya berbelit-belit dan memakan waktu di pengadilan. Biayanya pun bisa mencapai go-ban (Rp 50 ribu). Ada cerita menarik tentang tata kehidupan masyarakat Kota Batavia serta jalannya peraturan kepolisian pada akhir abad ke-19. Saat itu kota tersebut banyak didatangi para pendatang dari Eropa dengan dibukanya Terusan Suez, Pelabuhan Tanjung Priok, mulai banyaknya kendaraan bermotor, termasuk kereta api, trem uap, dan kemudian trem listrik.

Peraturan kepolisian dijalankan dengan keras dan cermat. Semua perkara dan persoalan diselesaikan dengan cepat dan tidak memungut biaya satu sen pun. Tidak dikenal istilah pungli, uang semir, atau uang rokok. Pengendara kendaraan dengan tertib memenuhi peraturan lalu lintas. Mereka tidak ada yang berani berhenti di tempat terlarang. Para sopir dengan tertib mengendarai kendaraan dan hampir tidak ada yang ugal-ugalan seperti sekarang.

Rumah-rumah penduduk diatur dengan rapi, berjejer berderet-deret menghadap ke jalan. Tidak seperti sekarang ini, kala itu sampah tidak menjadi persoalan bagi gementee (Pemda Batavia). Tidak ada yang membuang sampah sembarangan. Peraturan kepolisian begitu keras. Berjudi adalah salah satu perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi berat. Hingga tidak perlu Front Pembela Islam (FPI) menggeladah tempat-tempat perjudian dan hiburan. Perbuatan zina juga terlarang. Pejabat yang paling ditakuti penduduk Batavia adalah Tuan Schaut atau sekaut, kata orang Betawi. ''Itu tuan macannya di negeri Betawi,'' kata mereka.

Di seluruh Karesidenan Batavia terdapat delapan schaut (semacam kapolres sekarang ini). Di dalam kota empat schaut dan di luar kota empat schaut. Masing-masing di Meester Cornelis (Jatinegara), Bekasi, Mauk, dan Curuk. Dua nama terakhir berada di Tangerang. Salah seorang di antaranya mengepalai penduduk Selam (sebutan Islam oleh penduduk kala itu) dan seolah-olah menjadi momok.

Musibah

Akhir-akhir ini musibah secara beruntun melanda negeri kita. Baik berupa gempa bumi di Alor dan Nabire, maupun kecelakaan pesawat terbang di Solo dan lalu lintas di berbagai tempat, yang kesemuanya menelan korban jiwa cukup besar. Tentu saja kita turut berduka kepada para korban dan keluarga yang tertimpa musibah ini.

Musibah baik fisik maupun nonfisik datang jalin-menjalin kepada umat manusia di dunia ini. Ia selalu hadir berupa ''tamparan'' atau ''cubitan'' yang tidak enak untuk dirasakan. Dalam menghadapi musibah ini, kita diingatkan oleh firman Allah, ''Sungguh akan Kuberikan kepadamu kecemasan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa serta buah-buahan, tetapi berbahagialah orang yang bersabar, yaitu orang-orang yang ditimpa musibah mereka mengucapkan, 'Sungguh kita kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita akan kembali'.'' (QS 2: 155-156).

Melalui ayat tersebut, orang yang biasa bersabar diuji kualitas kesabarannya. Sedangkan orang yang belum bersabar diberi peluang untuk mendapatkan kesabaran lantaran musibah itu. Di samping musibah karena faktor alam (takdir), kita pun sangat prihatin dengan maraknya musibah yang penyebabnya justru karena ulah dan keteledoran manusia sendiri. Angka-angka kecelakaan di jalan raya di negeri kita sungguh mengerikan. Berdasarkan data, sekitar 12 ribu jiwa melayang percuma setiap tahun atau 34 orang per hari akibat kecelakaan lalu lintas.

Dengan tingkat kecelakaan lalu lintas yang tinggi dan menelan banyak korban itu, kita jelas memerlukan manusia-manusia yang mau menjaga ketertiban di jalan raya. Mereka yang mau menghormati dan bersopan santun pada pengguna jalan. Kita menjadi sangat prihatin, karena para pengendara tampaknya kini sudah tidak lagi mengenal sopan santun lalu lintas.

Dalam Alquran surat Al-Naml ayat 18-19, Allah SWT memberikan contoh bagaimana Nabi Sulaiman beserta tentaranya telah membagi jalan kepada barisan semut. Dalam surat tersebut Allah juga memerintahkan umat manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperhatikan kepentingan bersama. Karena, salah satu prinsip dari ajaran Islam adalah kebersamaan dan ia harus mewarnai segala aktivitas kita, termasuk para pengendara untuk berdisiplin.

Dalam memelihara sopan santun di jalan, kita juga dapat mencontoh Sayidina Ali bin Abi Thalib. Dikisahkan, suatu hari ketika Ali dalam perjalanan menuju masjid, ia melihat di hadapannya seorang tua yang jalannya terseok-seok menuju ke tempat yang sama. Serta-merta Ali menghentikan dan memperlambat jalannya, sampai orang tua itu lebih dulu memasuki masjid.

Kalau saja teladan tersebut kita jalankan, alangkah nyamannya berkendaraan di jalan raya. Bukan saja akan mengurangi kemacetan, tapi juga korban jiwa. Bukankah agama telah memperingatkan 'agar kita jangan berjalan di muka bumi dengan sombong alias semau gue. Karena, ia merupakan salah satu perbuatan yang amat dibenci oleh Allah'. (Al-Isra ayat 37-38). Wallahu a'lam bis-shawab.