Thursday, September 30, 2004

Tanah Abang ku dulu dan Sekarang

Bagi warga Jakarta, tempat ini sungguh tidak asing lagi. Di pasar grosir untuk tekstil dan garmen terbesar di Asia Tenggara ini, milyaran rupiah transaksi terjadi setiap hari. Menurut sejarah, pasar Tanah Abang dulunya di zaman Belanda adalah tempat pengrajin batik menjual dagangannya, juga tempat pedagang kambing.

Sekarang, jenis perdagangan tersebut masih ada, tetapi sudah jauh lebih luas dari pada itu. Yang menyedihkan adalah kesemrawutan lalu lintas dan ketidakjelasan landplan Pemda DKI. Lihat saja, jalan2 di persimpangan KHM. Mansyur dan jalan yang menuju ke "Bongkaran" (istilah penduduk setempat atas lokasi yang sering dipergunakan untuk pelacuran kelas teri). Kendaraan tidak dapat atau sangat lambat (kalau tidak mau disebut merangkak) lalu lalang secara kacau disana.

Kapan yah Tanah Abang seperti, misalnya di Singapura?

Saturday, September 25, 2004

Evil Does not Exist!

The professor of a university challenged his students with this question : "Did God create everything that exists?". A student answered bravely: "Yes, He did".

The professor then asked, "If God created everything then He created evil. Since evil exist, so God is evil". The student respond to that statement causing the professor to conclude that he had "proven" that "Belief in God" was a fairy tale and therefore worthless.

Another student raised his hand and asked the professor, "May I pose a question?" "Of course," answered the professor. The young student stood up and asked: "Professor, does cold exist?" The professor answered, "What kind of question is that? Of course cold exists ....... haven't you ever been cold?".

The young student answered, "In fact Sir, cold does not exist. According to the laws of Physics, what we consider cold, in fact is the absence of heat. Anything can be studied as long as it transmits energy (heat). Absolute zero is the total absence of heat, but cold does not exist.
What we have done is to create a term to describe how we feel if we don't have body heat or we are not hot"."And does dark exist"? he continued. The professor answered, "Of course".
This time the student responded, "Again, you're wrong, Sir. Darkness does not exist either. Darkness is, in fact simple, the absence of light. Light can be studied, darkness cannot. Darkness cannot be broken down. A simple ray of light tears the darkness and illuminates the surface where the light beam finishes. Dark is a term that we humans have created to describe what happens when there's lack of light".

Finally, the student asked the professor, " Sir, does evil exist?' The professor replied: "Of course it exists, as I mentioned at the beginning, we see violations, crimes and violence anywhere in the world and those things are evil". The student responded, "Sir, evil does not exist. Just as in the previous cases, evil is a term in which man has created to describe the result of the absence of God's presence in the hearts of men.

After this, the professor bowed down his head and didn't answer back. The young man's name was Albert AEinstein.

Thursday, September 23, 2004

Analogi Tukang Cukur

Seperti biasanya, seorang laki-laki, sebut saja Steve, datang ke sebuah salon untuk memotong rambut dan jenggotnya. Ia pun memulai pembicaraan yang hangat dengan tukang cukur yang melayaninya.

Berbagai macam topik pun akhirnya jadi pilihan, hingga akhirnya Tuhan jadi subyek pembicaraan."Hai Tuan, saya ini tidak percaya kalau Tuhan itu ada seperti yang andakatakan tadi,"ujar si tukang cukur.

Mendengar ungkapan itu, Steve terkejut dan bertanya, "Mengapa anda berkata demikian?"..

"Mudah saja, anda tinggal menengok ke luar jendela itu dan sadarlah bahwa Tuhan itu memang tidak ada. Tolong jelaskan pada saya, jika Tuhan itu ada, mengapa banyak orang yang sakit? mengapa banyak anak yang terlantar? Jika Tuhan itu ada, tentu tidak ada sakit dan penderitaan. Tuhan apa yang mengijinkan semua itu terjadi", ungkapnya dengan nada yang tinggi.

Steve pun berpikir tentang apa yang baru saja dikatakan sang tukang cukur. Namun, ia sama sekali tidak memberi respon agar argumen tersebut tidak lebih meluas lagi.

Ketika sang tukang cukur selesai melakukan pekerjaannya, Steve pun berjalan keluar dari salon. Baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan seorang laki-laki berambut panjang dan jenggotnya pun lebat. Sepertinya ia sudah lama tidak pergi ke tukang cukur dan itu membuatnya terlihat tidak rapi.

Steve kembali masuk ke dalam salon dan kemudian berkata pada sang tukang cukur, "Tukang cukur itu tidak ada!"...

Sang tukang cukur pun terkejut dengan perkataan Steve tersebut. "Bagaimana mungkin mereka tidak ada? Buktinya adalah saya. Saya ada di sini dan saya adalah seorang tukang cukur," sanggahnya. Steve kembali berkata tegas, Tidak, mereka tidak ada. kalau mereka ada, tidak mungkin ada orang yang berambut panjang dan berjenggot lebat seperti contohnya pria di luar
itu."

"Ah, anda bisa saja...Tukang cukur itu selalu ada dimana-mana. Yang terjadi pada pria itu adalah bahwa dia tidak mau datang ke salon saya untuk dicukur, jawabnya tenang sambil tersenyum.

"Tepat!" tegas Steve. "Itulah poinnya. Tuhan itu ada. Yang terjadi pada umat manusia itu adalah karena mereka tidak mau datang mencari dan menemui-Nya. Itulah sebabnya mengapa tampak begitu banyak penderitaan di seluruh dunia ini...."

Saturday, September 11, 2004

Membangun Kembali Rumah Bung Karno

Laporan: ALWI SHAHAB

Pada masa Gubernur DKI Jakarta dijabat Henk Ngantung (28 Agustus 1964 -24 Juli 1965) Bung Karno membongkar rumahnya. Wartawan senior Rosihan Anwar mengatakan tak ada keterangan jelas tentang motivasi presiden pertama RI ini membongkar rumah di Jl Pegangsaan Timur (kini Jl Proklamasi) 56, Jakarta Pusat. Rosihan yang ketika proklamasi sudah aktif sebagai wartawan menyatakan hal ini saat ditanya wartawan sebuah stasiun televisi. Dengan dibongkar rumah tersebut, maka bangsa Indonesia kehilangan satu tempat yang paling bersejarah di negeri ini. Bung Karno kemudian menjadikannya sebagai Gedung Pola (semacam Bappenas) hingga sekarang ini. Tak heran kalau sebagian besar rakyat apalagi generasi kini tidak mengetahui bentuk rumah Bung Karno yang digunakannya bersama Bung Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan RI ke seluruh jagad pada 17 Agustus 1945.

Bung Karno tinggal di rumah yang memiliki pekarangan luas dan merupakan kawasan elit di Jakarta tersebut sejak masa pendudukan Jepang (1942). Dari putra-putrinya hanya putra sulungnya, Guntur, yang dilahirkan di tempat ini. Ketika Januari 1946 saat kota Jakarta dikepung NICA dan muncul perlawanan bersenjata dari rakyat, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur yang masih bayi hijrah ke Yogyakarta. Bung Karno dan rombongan berangkat ke Yogyakarta naik kereta api di malam hari yang dipadamkan lampunya untuk menghindari kepungan NICA yang ingin berkuasa kembali di negeri ini. Bagian belakang dari kediamannya adalah Stasiun kereta api Pegangsaan ini terletak di bagian belakang rumah Bung Karno dan masih terpakai sampai sekarang. Kita memang dapat membangun duplikat gedung proklamasi yang sama dan serupa, bahkan mungkin jauh lebih bagus dari aslinya.

Namun, nilai sejarahnya tak akan sama seperti aslinya. Tapi, demi kepentingan sejarah jauh lebih baik dibangun kembali daripada tak ada sama sekali. Karenanya sejak empat tahun lalu, Pemda DKI melalui Dinas Kebudayaan dan Permusiuman telah menjajaki pembangunan kembali rumah Bung Karno itu. Sebuah tim telah merampungkan berbagai telaah untuk membangun rumah yang serupa seperti 59 tahun lalu. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Permusiuman kala itu, Nurhadi, pembangunan rumah Bung Karno kemungkinan akan dibangun sesuai aslinya. Ini dimaksudkan agar tiap generasi dapat lebih menghayati situasi saat kemerdekaan diproklamasikan. Tidak disebutkan apakah pembangunan ini akan membongkar Gedung Pola yang kini jadi Gedung Perintis Kemerdekaan berlantai lima. Mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, sejak lama ikut mendorong dibangunnya kembali rumah Bung Karno itu. Menurut Bang Ali, ketika menjadi gubernur ia sudah merencanakan hal ini. ''Bahkan saya sudah siapkan dananya.

Tapi, tidak disetujui Pak Harto yang waktu itu akan membangun patung proklamator.'' Dulu di bagian depan rumah Bung Karno ini terdapat Tugu Proklamasi yang diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Gubernur Suwiryo saat Bung Karno masih di Yogyakarta. Tugu Proklamasi yang tingginya tidak lebih dari dua meter ini pernah menjadi lambang kota Jakarta. Pada 1957 menjelang pemberlakuan demokrasi terpimpin di tempat ini diselenggarakan musyawarah nasional untuk meredam gejolak perpecahan kala itu. Gejala perpecahan ini ditandai dengan keputusan Bung Hatta untuk meletakkan jabatannya (1956) justru setelah suksesnya pemilu pertama (1955) dan pemilu konstituante pada 1956. Munas diikuti Bung Karno, Bung Hatta, tokoh-tokoh masyarakat baik militer dan sipil. Bung Karno dan Bung Hatta menandatangani piagam yang melambangkan kerukunan nasional. Kemudian keduanya ke Yogyakarta bersama dan berziarah ke makam Jenderal Besar Soedirman.

Sayangnya, semua itu termasuk janji-janji dan piagam yang ditandatangi dalam munas di Gedung Proklamasi jadi sia-sia belaka. Hingga kemudian oleh pers ide kerukuman nasional itu dipelesetkan jadi keruk nasi. Dan beberapa waktu kemudian meletuslah pemberontakan PRRI/Permesta yang merupakan lembaran hitam dalam sejarah bangsa Indonesia. Kembali tentang pembongkaran rumah Bung Karno, dalam bukunya Kenang-kenangan sebagai Kepala Daerah, Henk Ngantung menulis, ''Ide pembangunan Gedung Pola memang baik. Tapi, dengan membongkar dan mengorbankan Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 saya rasa sayang dan aneh.'' Henk memaparkan kisahnya mendatangi Bung Karno ke istana untuk meminta agar gedung bersejarah itu tidak dibongkar. Ia mengajukan pertanyaan, ''Apakah keputusan Bung Karno tidak bisa ditinjau lagi?'' Sebelumnya tak sedikit juga yang menanyakan hal itu pada Bung Karno.

Bung Karno menjawab singkat, ''Apakah kamu juga ingin memamer celana kolornya (di dalam rumah itu).'' Tak ada sedikit pun rasa ragu dan sesal dari sikap dan kata-kata Bung Karno. Agar pembicaraan tidak terputus begitu saja Henk kembali membangun suasana. ''Apakah saya boleh buat duplikat dari gedung Pegangsaan Timur 56 sebelum dibongkar?'' tanya Henk. Bung Karno menyatakan setuju. ''Baru sekarang, sementara saya mengenangkan kembali pertemuan dengan Bung Karno tentang pembuatan duplikat bisa juga diartikan, membangun kembali Gedung Pegangsaan Timur 56 itu dalam keadaan maupun ukuran yang sama, kecuali di atas tanah dan tempat yang sama karena akan dibangun Gedung Pola.''

Tanpa Busana di Ciliwung

Laporan: ALWI SHAHAB, WARTAWAN REPUBLIKA

Bang Yos memiliki program 'menata dan menormalisasi' 13 sungai besar di Jakarta. Program ini untuk mengendalikan dan menjinakkan banjir yang hampir tiap tahun membuat malapetaka besar di Jakarta.

Semua juga tahu, banyak hunian di bantaran sungai. Mereka para pendatang yang terus merangsek dan mengalir ke Ibu Kota. Tidak heran sungai berubah fungsi menjadi selokan besar. Sudah tidak ada satu ikan pun yang muncul seperti tahun 1950-an. Yang tersisa tinggal kecebong, jentrik nyamuk, sampah, dan kotoran yang dibuang tanpa mengenal malu dan adab.

Pernah seorang kakek mengajak cucunya ke sebuah kampung tempat ia dibesarkan. Kepada sang cucu ia mengatakan, di Kali Ciliwung inilah ketika kecil ia berenang, menyelam, dan terjun tiap hari. Tentu saja si cucu yang berusia belasan tahun jadi melongo. Ia tidak dapat membayangkan Ciliwung pada tahun 1950-an airnya agak jernih, lebar, dan dalam.

Pada pagi hari di sepanjang Jl Pasar Baru, Jl Gajah Mada, dan Jl Hayam Wuruk hingga ke kawasan Glodok ratusan ibu dan bapak mencuci pakaian, mandi, dan memenuhi keperluan hajat lainnya. Kala itu di kampung-kampung banyak yang berprofesi sebagai penatuWaktu itu belum ada sabun colek seperti sekarang. Saat itu hanya berbentuk sabun batangan yang terkenal dengan 'saboen tjap tangan'.

Sebelum disetrika, baju diberi tajin supaya agak kaku. Dalam sebuah buku mantan petugas kompeni menceritakan kesan-kesannya tentang Batavia pada awal abad ke-20, termasuk Ciliwung sebagai tempat mandi umum. Di Kanal Risywik-Noordwijk (kini Jl Veteran depan Istana dan Jl Juanda) kami melihat sesuatu yang tidak mengikuti kesopanan, yaitu tempat mandi laki-laki dan perempuan yang berada di samping jalan umum.

Mereka berendam di air yang berwarna kecokelakan. Para pria yang berusia 8- 16 tahun telanjang bulat bermain di air dan teriak-teriak. Sementara, ibu-ibu dan para gadis agak lebih sopan. Bukan lagi di awal abad ke-20, pada 1950-an di sekitar Jl Gajah Mada dan Hayam Wuruk masih dapat dijumpai mereka yang mandi 'berbugil ria'.

Beberapa pengunjung asing di Batavia pada abad ke-19 mengungkapkan bahwa kala itu justru wanita Belanda yang mandi di Ciliwung dan sejumlah kanal sodetannya tanpa busana. Pihak gemeente (kota praja) mengeluarkan larangan kepada orang-orang Eropa, khususnya bagi para wanitanya, agar tidak mandi di sungai atau kanal tanpa busana. Alasannya, perbuatan tersebut sangat tercela bagi pribumi.

Belanda juga sangat memerhatikan kebersihan sungai-sungai dalam upaya mencegah banjir. Untuk itu, para anggota Dewan Kota Batavia mempersiapkan kerbau-kerbau dengan kelompok-kelompok kuli serta sampan-sampan yang meluncur tiap hari untuk membersihkan Ciliwung dan kanal-kanal dari sampah dan bangkai binatang. Salah satu tugas rutin yang harus dikerjakan penduduk dua kali seminggu di bawah pimpinan kepala wijk (lurah) adalah pemeriksaan dan perbaikan saluran got dari rumah-rumah, terutama yang mengarah ke jalan besar.

Pada 1921 di Batavia terdapat 15 mobil pengangkut sampah. Selain dipakai untuk membantu memudahkan membersihkan kota, mobil itu juga beroperasi hingga ke kampung-kampung. Untuk kampung yang tidak dapat dilalui truk, dipergunakan gerobak.

Pada akhir abad ke-18 sudah dibuka permakaman umum di Tanah Abang I (yang dulu bernama Kerhoff Laan), Jakarta Pusat, yang kini menjadi Museum Taman Prasasti. Ahad lalu di museum ini digelar Prosesi Pemakaman Batavia 1820: Sebuah Rekonstruksi Sejarah. Di tempat inilah para pejabat Belanda yang kala itu tinggal di kawasan Jakarta Kota dimakamkan.

Karena letaknya jauh dari pusat kota, jenazah yang akan dimakamkan diangkut dengan perahu melalui Kali Krukut (di Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruki). Setelah jenazah sampai sungai di depan Jl Tanah Abang I, kemudian diangkut dengan kereta ke tempat permakaman yang jaraknya sekitar 200-an meter. Sekarang ini kita sering menyaksikan iring-iringan jenazah dengan menggunakan mobil, tapi kala itu jenazah dan iringan pengantar menggunakan perahu.

Museum Taman Prasasti yang juga dikenal dengan sebutan Kebon Jahe Kober merupakan lahan peninggalan Belanda. Lahan ini dihibahkan oleh WF Helvetus Van Riemsdijk, putra Gubernur Jenderal Jaremias Van Riemsdijk, pada tahun 1795. Secara khusus diperuntukkan bagi warga Belanda dan keturunannya serta warga Eropa lainnya.

Induk bangunannya dibangun dengan gaya Doria pada 1844. Di lokasi ini juga ditemukan berbagai nisan yang diberi tanda HK yang berarti nisan-nisan ini merupakan pindahan dari gereja lama di Kota (kini Museum Tekstil) yang sudah dibongkar. Setelah kemerdekaan, lahan permakaman ini masih digunakan bagi mereka yang beragama Nasrani. Sejak 1975 lahan permakaman ditutup karena tidak ada lagi lahan yang dapat digunakan dan kemudian oleh Bang Ali ditetapkan sebagai Museum Prasasti.

Raffles vs Daendels

Laporan: ALWI SHAHAB

Hanya beberapa meter memasuki pintu gerbang Kebun Raya Bogor kita akan mendapati sebuah bangunan berbentuk bundar. Bangunan ini merupakan tugu peringatan Olivia Mariamne Raffles, istri tercinta Sir Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris untuk Jawa dan daerah sekitarnya. Tapi, tugu peringatan ini bukan merupakan makam Olivia yang meninggal 26 Nopember 1814 dalam usia 43 tahun. Olivia sangat berjasa dalam mengembangkan Kebun Raya Bogor. Ia dimakamkan di Gereja Lama di Jakarta Kota yang kini jadi Museum Wayang. Kemudian pemakaman Kristen ini dipindahkan ke Kebun Jahe Kober (Jl Tanah Abang I). Kala itu letaknya jauh di luar kota Batavia. Jenazah dan iring-iringannya harus diangkut ke pemakaman dengan perahu melalui kali Krukut. Kemudian dari tepi sungai ini (di belakang Departemen Informasi dan Komunikasi yang sebelumnya gedung Deppen), jenazah dijemput kereta jenazah berkuda untuk diangkut ke pemakaman yang jaraknya sekitar 100 meter.

Thomas Jefferson dalam bukunya Raffles Sang Pejuang melukiskan Olivia Raffles adalah seorang perempuan pintar dan mengagumkan. Tidak heran walau usia istri Raffles ini terpaut 10 tahun lebih tua dari suaminya ini, tapi Raffles sangat mengagumi dan menyayanginya. Kematian Olivia dituliskan membawa duka mendalam bagi Raffles. Raffles sendiri (1811-1816) selama di Jawa lebih menyukai tinggal di Istana Buintenzorg (Bogor) yang berhawa sejuk ketimbang di Batavia. Meskipun ia membangun rumah di Rijswijk (Jl Veteran) yang kini menjadi Bina Graha, tempat kerja kepala negara. Raffles sangat berminat pada sastra dan budaya. Ia pandai berbahasa Melayu dan jauh sebelum invasi Inggris ke Batavia ia lebih dulu mempelajari karakter para sultan dan ningrat pulau Jawa dan Melayu. Raffles ditugaskan (1810) oleh Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Timur yang bermarkas di Kalkutta (India) untuk memberikan laporan sampai sejauh mana kekuatan Marsekal Herman Willem Daendels.

Apakah kebangsawanan Jawa, pangeran atau keraton akan mendukungnya bila Inggris melakukan invasi ke Jawa? Demikian ia membuat analisis sebelum datang ke Jawa. Sifat Raffles berlainan dengan Daendels yang bertangan besi dan sangat dibenci bukan saja oleh kalangan pribumi, tapi juga Belanda sendiri. Oleh sekretarisnya, Abdullah, Raffles dilukiskan sebagai pria yang paling santun dalam pergaulan dengan orang lain. Atas penugasan yang sangat rahasia itu Raffles menyarankan kekuatan 3000 pasukan Eropa, 6000 perajurit India, 500 kavaleri, dan artileri kereta kuda sebagai jumlah yang sudah memadai untuk menaklukkan Jawa. Walaupun ia memperkirakan kekuatan Prancis dan Belanda sekitar 14 ribu pasukan. Ia mengusulkan bulan Mei waktu yang tepat untuk mulai invasi ke Jawa. Namun, peta perjalanan kapal tidak melalui garis lurus dari Malaka ke Batavia yang jaraknya sekitar 650 mil.

Ia memilih lewat rute Borneo (Kalimantan) yang berjarak lebih dari seribu mil dari Penang. Dari sini ia kemudian menyusuri pantai barat Borneo dan menyeberangi kanal yang memisahkannya dari Jawa berjarak 1300 mil. Panjang seluruh rute menjadi 2450 mil dibandingkan dari Malaka yang cuma sejauh 650 mil. Ekspedisi pasukan Inggris ini berlangsung dari 18 Juni 1811 hingga minggu pertama Agustus atau sekitar satu setengah bulan. Yang menarik dalam perjalanan ini mereka menemukan Singapura yang kala itu masih bernama Tumasek. Pulau yang penuh rawa dengan populasi Melayu yang sangat sedikit ini kelak dibangun Raffles hingga kemudian menyaingi Batavia. Pada 4 Agustus seluruh pasukan sudah mendarat di Batavia (melalui Cilincing, Jakarta Utara). Pasukan ini mendarat tanpa adanya perlawanan dan dapat merangsek kekuatan Prancis dan Belanda hingga ke benteng Meester Cornelis (Jatinegara). Tentara Inggris dan tentara India yang bernaung dibawah Inggris diinstruksikan untuk tidak menyakiti penduduk dan mengambil secara paksa harta mereka. Peraturan ini dipatuhi pasukan Inggris.

Dan pada 11 September 1811 Raffles ditunjuk jadi Letnan Gubernur di Hindia. Sebetulnya ketika Daendels tiba di Batavia pada 1 Januari 1808 ia mendapat tugas dari Napoleon untuk mempertahanakan Jawa dari invasi Inggris. Waktu itu keadaan Batavia tidak sehat. Ia bukannya memindahkan ibukota ke daerah pegunungan yang lebih nyaman, malah membangun istana, tempat tinggalnya yang baru di di Bogor yang kala itu merupakan daerah pegunungan yang indah dan berhawa sejuk. Untuk itu Daendels melakukan perjalanan pulang pergi dari Bogor ke Batavia dengan kereta berkuda. Istana Bogor yang juga dinikmati oleh Raffles ini dulu terletak di perbatasan sebuah perkebunan kopi. Selama masa jabatannya yang singkat di Hindia, Daendels disibukkan persiapan untuk menghadapi invasi Inggris yang kedatangan angkatan bersenjatanya telah ditunggu-tunggu sejak ia tiba di Batavia.

Kecintaannya pada Napoleon (Prancis) telah dibuktikan dengan tiga hari setelah Belanda ditaklukkan Napolen ia memintakan pemasangan bendera Prancis di seluruh kota Batavia. Kebengisannya masih tersisa hingga sekarang ini berupa puing-puing bekas Istana Surosowan di Banten yang telah dihancurkannya. Hanya karena Sultan Banten menolak permintaannya untuk mengerahkan rakyat kerja rodi membangun jalan pertahanan di Ujung Kulon. Tapi, ia berjasa dalam membangun kawasan Weltevreden yang peninggalannya hingga sekarang masih berdiri tegak. Di samping Istana Bogor, ia juga membangun sebuah istana di Lapangan Banteng yang kini menjadi gedung Departemen Keuangan. Bahkan, berkat Daendels kini kita memiliki lapangan terbesar di dunia yang kini bernama Monas.

Bom di Kuningan

Bom meledak lagi di kota Jakarta. Setelah beberapa waktu lalu terjadi pemboman di hotel Marriott, sekarang muncul lagi pemboman baru di depan kedubes Australia di kawasan Kuningan, Jakarta (Kamis, 9 September 2004).

Indonesiaku, mau kemana engkau? Korupsi dan suap dimana-mana, keamanan makin tidak keruan, ekonomi menthok, lupakanlah apa yang namanya mau mengejar ketertinggalan terhadap negara jiran. Urusan perut dan sandang saja masih susah. Gaji guru hampir nggak masuk akal, biaya kuliah melejit terus, sementara gaji dan lapangan kerja tidak bertambah-tambah.

Wah, sepertinya makin banyak saja tenaga terdidik yang tergiur akan kerja di luar negeri. Biarkan saja lah, toh mereka juga punya hak untuk hidup yang layak.

Ismail Marzuki, Korupsi, dan Sistem Konco

Laporan: ALWI SHAHAB, WARTAWAN REPUBLIKA

Kalau Bung pemimpin sejati
Jangan Bung hanya cari kursi
Hilangkan hatimu yang dengki
Enyahkan hawa nafsu korupsi

Bait-bait syair di atas salah satu dari lebih 200 lagu yang diciptakan oleh Ismail Marzuki. Komponis pejuang kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat (1914), meninggal dalam usia muda (44 tahun) pada 1958 atau 48 tahun lalu. Jadi, ia masih mengikuti Pemilu 1955 yang diikuti lebih dari 170 partai politik. Seperti juga pemilu sesudahnya, pemilu pertama ini berlangsung sengit. Pemilu waktu itu diramaikan dengan saling debat, saling caci-maki, dan saling menjatuhkan antarparpol. Momen tersebut telah direkam Ismail Marzuki yang oleh orang Betawi disebut 'Bang Maing' melalui lagu ciptaannya. Sebagai seniman yang lahir di tengah-tengah kampung dan dikenal antipenjajahan, Ismail melalui lagu-lagu ciptaannya sangat jeli dalam memotret kehidupan di zamannya.

Termasuk masalah korupsi. Ini menunjukkan bahwa perbuatan haram sudah dikenal sejak lama di Indonesia. Bung Hatta yang dikenal sebagai pemimpin yang bersih pernah menyatakan 'korupsi sudah membudaya di Indonesia.' Kala itu surat kabar banyak mengungkap kasus korupsi di berbagai departemen dan badan usaha milik negara. Sekalipun jauh tidak sedahsyat Almarhum Muchtar Lubis pada pertengahan 1950-an melalui koran Indonesia Raya-nya, dia menyatakan, ''Jihad terhadap korupsi.'' Meskipun untuk itu ia pernah dipenjara dan korannya diberangus. Hampir dalam waktu bersamaan, seorang penulis yang mengaku bernama Rajendra membuat serial Naga Mas yang memuat serial tentang seorang patriot yang membasmi para koruptor.

Ada seorang pejabat tinggi yang ditangkap karena dituduh membawa 11 ribu dolar AS ketika hendak bepergian ke suatu negara. Dia dianggap menyalahi peraturan. Banyak juga terjadi jual-beli alokasi devisa otomatis (ADO). Sistem konco seperti sekarang juga terjadi ketika itu. Yang menikmati umumnya rekan partai dari sang menteri bidang ekonomi. Banyak juga berkeliaran apa yang dikenal 'importer aktentas' yang menjualbelikan DO (delivery order). Mereka adalah para calo yang mengaku dapat mengurus surat berharga untuk menebus barang di pelabuhan-pelabuhan. Sejumlah pengusaha di Era Orba yang menjadi konglomerat hingga kini konon dulunya melakukan jual-beli DO.

Di antaranya, untuk benang tenun dan tekstil. Kala itu ada perusahaan yang mendapat julukan Ali-Baba. Tapi, bukan Ali- Baba itu tokoh legendaris dari Irak, negeri 1001 malam yang kini tanpa rasa kemanusiaan diinvasi imperialis AS hingga babak belur dan tanpa bukti kesalahan. Istilah Ali-Baba kala itu dimaksudkan untuk perusahaan. Yang muncul adalah si Ali (pribumi), tapi sebetulnya yang jadi pemilik modalnya si Baba (tauke). Kala itu dalam keadaan ekonomi yang buruk banyak terjadi manipulasi barang, seperti semen, besi beton, dan tekstil. Karena para pedagang lebih baik menimbunnya, harga-harga dengan cepat bergerak naik.

Seperti tekstil yang kini melimpah-ruah dan menjadi salah satu penghasil devisa yang besar, sampai pertengahan 1960-an pada saat-saat menjelang Idul Fitri tidak cukup tersedia untuk rakyat. Maklum, pabrik tekstil baru terkonsentrasi di Majalaya, Solo, dan Gresik. Sementara, pabrik semen baru ada di Indarung (Sumatera Barat) dan Gresik. Pabrik baja belum muncul. Cilegon yang kini dijuluki 'kota baja' masih sebuah desa. Kala itu yang paling banyak dipakai adalah kain lurik buatan Yogya. Bahkan, lurik sampai dijadikan mode. Sementara, anak-anak muda menyenangi celana CP Drill. Tapi awas! Jangan dijadikan celana 'jengki' karena bisa terkena operasi oleh polisi. Bagian bawah celana karena tidak muat botol kecap terpaksa digunting polisi. Bung Karno melarang orang berpakaian ketat.

Bukan kepribadian bangsa Indonesia, katanya. Celana 'tropicana wool' yang kini sudah jarang muncul juga banyak terdapat ketika itu meski hanya dikota-kota besar. Maklum, bahan impor ini cukup mahal harganya. Padahal, tidak cocok dipakai di Indonesia yang beriklim tropis. Kala itu di kalangan elite pada saat-saat menghadiri resepsi menggunakan pakaian lengkap hitam-putih dengan dasi 'kupu-kupu'. Celana yang juga banyak dipakai saat itu adalah 'gabardine' dan 'sharks-skin' yang oleh masyarakat disebut 'seskin' yang kini juga sudah menghilang. Baju yang banyak dipakai pria dan wanita adalah belacu.

Sekarang ini sudah jarang untuk dijadikan pakaian. Kalaupun ada relatif harganya mahal karena modelnya jadi baju etnis dan bukan lagi baju kodian. Bahan-bahan kebutuhan pokok ketika itu juga sulit didapat. Contohnya, beras yang menjadi makanan utama bangsa Indonesia harganya terus naik. Untuk menghemat, banyak yang terpaksa harus makan bubur. Kemudian, burgur yang konon di AS untuk mekanan kuda juga menjadi makanan sehari-hari. Karena banyak yang tidak tahu cara memasak bulgur, terutama di pedesaan, yang perut yang makan menjadi mules-mules. Mereka mengira memasaknya seperti beras. Karena itu bulgur menjadi mekar di perut setelah dimakan.