Sunday, November 21, 2004

Casingkem, TKW, dan Sanksi Arab Saudi

Alwi ShahabCasingkem dan Istiqomah, dua TKW dari Indonesia, pekan lalu menjadi pemberitaan internasional. Pers dunia, termasuk siaran televisinya, memberitakan tragedi kedua TKW asal Banyuwangi dan Indramayu itu, saat-saat mereka disandera di Irak.


Saya mendengar tentang penyanderaan mereka ketika berada di Arab Saudi, saat umrah. Waktu itu belum disebutkan dalam pemberitaan nama kedua sandera dari Indonesia. Begitu mereka tiba kembali di Tanah Air setelah dibebaskan, ternyata dokumen kedua TKW palsu.


Masalah pemalsuan identitas, seperti KTP, tidak sesuai nama dam alamat asli. Paspor dan visa atas nama orang lain, bukan terjadi sekarang ini. Tapi, sudah terjadi belasan tahun sejak pertama kita mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri, khususnya ke Arab Saudi. Kalau mau disalahkan, banyak sekali yang terlibat. Akibat adanya 'kongkalikong' mulai dari tingkat kelurahan sampai rekomendasi Kantor Nakertrans.


Ketika bertolak menuju Jeddah dari Bandara Soekarno-Hatta, pesawat berbadan lebar Boeing SV (Saudi Arabia Airlines), sebagian besar dari ratusan penumpamng adalah TKW. Hal yang sama terjadi pada saat kembalinya ke Jakarta. Hampir seluruh tempat duduk diisi para TKW yang hendak kembali ke Tanah Air.


Saudi Arabia Airlines tiap pekan lima kali bertolak dari Jakarta ke Arab Saudi. Garuda Indonesia Airlines enam kali per minggu, sedangkan Yemen Airlines tiga kali seminggu. Belum lagi sejumlah perusahaan penerbangan lainnya.


Dari banyaknya perusahaan penerbangan dengan rute Jakarta-Jeddah-Riyadh ini, dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencari nafkah di Timur Tengah. Sekaligus menunjukkan bahwa jalur ini termasuk rute gemuk. Padahal, seperti yang saya alami dalam penerbangan Jeddah-Jakarta, tidak tampak banyak warga Arab Saudi yang bepergian ke Indonesia. Dapat dibayangkan bagaimana terpukulnya perusahaan-perusahaan penerbangan ini bila pengiriman TKI ke luar negeri dihentikan.


Berdasarkan keterangan, tenaga kerja Indonesia, khususnya tenaga kerja wanita, sangat dibutuhkan di Arab Saudi. Hampir tidak ada rumah tangga di Arab Saudi yang menggunakan tenaga kerja wanita dari Bangladesh, Pakistan, India, atau Filipina. Mereka lebih banyak bekerja di sektor perhotelan.


TKW kita selama berada di Arab Saudi banyak yang jadi korban pemerasan dan perlakuan yang sewenang-wenang. Tidak terhitung banyaknya dari mereka yang mengadu ke KBRI di Riyadh maupun KJRI di Jeddah. Seperti ketika dalam penerbangan dari Jeddah-Jakarta, banyak yang menceritakan penderitaannya yang buruk. Bahkan, terkesan sadistis. Tidak sedikit yang mengaku diperlakukan seperti budak, kerja dari Shubuh hingga larut malam.



Rupanya Pemerintah Kerajaan Arab Saudi menyadari banyaknya kasus perlakuan yang tidak manusiawi para majikan maupun pengerah tenaga kerja kepada TKW. Harian The Saudi Gazette 5 Oktober 2004 dalam berita utamanya menulis pernyataan Menteri Tenaga Kerja Arab Saudi. Melalui Wakil Menterinya, Ahmad Al-Mansour, ia menegaskan, ''Perusahaan yang menunda-nunda gaji para buruh, apalagi tidak membayarnya akan ditindak tegas.''


Juga disebutkan sanksi yang akan diberikan kepada perusahaan yang tidak mematuhi peraturan ini. Harian berbahasa Inggris ini juga menyebutkan sanksi-sanksi berupa penutupan dan pencabutan izin terhadap sejumlah perusahaan di Arab Saudi yang merekrut tenaga kerja. Kerajaan Arab Saudi meminta pada para buruh yang mendapat perlakuan tidak adil dari majikannya segera melaporkan kepada Kementerian Perburuhan.


Rakyat Saudi sendiri saat ini menghadapi masalah pengangguran. Karenanya, selama satu tahun terakhir ini banyak sekali TKI yang terpaksa terkena PHK dan dipulangkan ke Tanah Air. Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak mendapatkan pesangon. Di sini tidak dikenal pesangon.


Dalam upaya memberikan pekerjaaan kepada rakyatnya, Pemerintah Saudi mengharuskan perusahaan-perusahaan menggunakan tenaga kerja warganya. Karenanya, tidak heran saat ini hotel-hotel di Jeddah, Makkah, Madinah, dan Riyadh para penerima tamunya yang dulu didominasi tenaga kerja India, Bangladesh, dan Pakistan kini beralih kepada warga Saudi. Tidak peduli SDM mereka memadai atau tidak.


Rupanya, masalah tenaga kerja yang dihadapi Saudi ini cukup besar. Hingga mereka tidak malu-malu lagi menjadi office boy yang dulu mereka tidak mau menjalani karena gengsi.


Seorang petugas sebuah travel biro menceritakan, dulunya ia bekerja di toko emas di Jeddah. Tapi, sejak tahun 2000-an, ada peraturan dari Pemerintah Saudi bahwa 20 persen dari tenaga kerjanya haruslah warga Saudi. Setahun kemudian dinaikkan menjadi 50 persen dan kemudian 70 persen. Dia akhirnya tersingkir dan beralih pekerjaaan.



Ketentuan ini juga diwajibkan di berbagai perusahaan dengan tujuan menampung tenaga kerja warga Saudi. Ia sudah berada di Arab Saudi sejak masa ayahnya yang kala itu menjadi syekh haji. Setelah sistem syekh dihapus dan diganti muasasah, ayahnya menjadi saudagar emas yang merupakan keahlian orang-orang Banjarmasin. Kini kecuali di tempat pertukangan yang masih tersisa warga non-Saudi, sebagian lainnya sudah digantikan warga Saudi.

No comments: